Logo
>

Sektor ini Layak Dicermati di Tengah Perang Dagang Global

Beberapa sektor masih bisa bertahan di tengah perang dagang yang bakal terjadi, salah satunya adalah komoditas.

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Sektor ini Layak Dicermati di Tengah Perang Dagang Global
Sejumlah sektor dianggap layak dicermati di tengah perang dagang global imbas penerapan tarif yang diberlakukan Presiden Amerika. Foto: Abbas/KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Sejumlah sektor dianggap layak dicermati di tengah perang dagang global imbas penerapan tarif yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) , Donald Trump. 

    Diketahui, Donald Trump resmi memberlakukan tarif dasar sebesar 10 persen untuk barang impor ke Amerika Serikat pada Rabu, 2 April 2025 waktu setempat. 

    Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi memperkirakan beberapa sektor masih bisa bertahan di tengah perang dagang yang bakal terjadi, salah satunya adalah komoditas. 

    "Komoditas kita punya unggulan seperti batu bara. Kemudian kelapa sawit, ini selalu dijadikan sebagai unggulan produk di Indonesia," ujar dia kepada KabarBursa.com saat dihubungi di Jakarta pada Kamis, 3 April 2025.

    Selanjutnya ada sektor retail yang berbasis teknologi. Menurut Ibrahim, sektor ini juga bisa bertahan di tengah gempuran perang dagang global. 

    Selain itu, dia memandang perbankan masih menjadi sektor layak diperhitungkan dalam kondisi sekarang ini. Di bilang, sektor perbankan merupakan penggerak dari Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG. 

    Ibrahim mengatakan kebijakan tarif Trump  bisa berdampak negatif terhadap pergerakan IHSG. Dia memprediksi, IHSG akan bergerak fluktuatif cenderung melemah begitu perdagangan dibuka kembali usai libur panjang Idulfitri 2025.

    "Walaupun banyak pejabat mengatakan IHSG dibuka menguat (pasca Lebaran), tapi saya masih pesimis. Bahwa indeks akan terkoreksi dampak dari impor yang diterapkan,” ujarnya.

    China Jadi Sasaran Utama 

    Seperti diketahui, China menjadi salah satu sasaran AS yang terdampak pengenaan tarif. Menurut Ibrahim, kebijakan ini berimbas signifikan bagi pasar dalam negeri. Mengingat, Indonesia merupakan mitra dagang dari China. 

    "Pada saat China mengalami satu permasalahan ya biasanya akan berdampak terhadap Indonesia," jelasnya. 

    Selain tarif Trump, masalah geopolitik di Timur Tengah bisa memicu pelemahan IHSG pasca lebaran. Ibrahim menyebut, Amerika Serikat sudah mengancam Iran menyelesaikan rektor nuklir. 

    "Ultimatum ini cukup menarik sebenarnya dan Amerika pun juga sudah mempersiapkan pesawat-pesawat pengebom. Ini yang dipersiapkan adalah untuk melakukan penyerangan terhadap Iran," ungkap dia. 

    Kendati demikian, Ibrahim memprediksi penurunan IHSG tidak lebih dari 3 persen. Sebab, penurunan tajam indeks sudah terjadi beberapa waktu lalu. 

    "Biasanya kalau sudah kejadian tidak akan terjadi lagi. 1 sampai 3 persen lah untuk penurunan IHSG," pungkas Ibrahim. 

    Indonesia Kena Tarif Impor Trump

    Adapun, Indonesia turut masuk dalam daftar negara yang terdampak kebijakan tarif Trump. AS menyebut Indonesia menerapkan tarif sebesar 64 persen terhadap barang-barang dari AS. Sebagai respons, AS kini mengenakan tarif sebesar 32 persen untuk barang-barang asal Indonesia yang masuk ke pasar mereka.

    Menanggapi kebijakan ini, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Mohamad Fadhil Hasan, menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang dituduh melakukan manipulasi mata uang. Padahal, menurut Bank Indonesia (BI), pelemahan rupiah terjadi akibat penguatan dolar AS.

    "Sekarang pertanyaannya, apa respons Indonesia? Apakah kita akan membalas atau memilih jalur negosiasi? AS adalah negara dengan surplus perdagangan terbesar bagi Indonesia, mencapai USD18 miliar,” ujar Fadhil dalam keterangannya dikutip Kamis, 3 April 2025.

    Ia menilai bahwa dampak langsung dari kebijakan ini akan terasa di AS sendiri. Kenaikan tarif yang mulai berlaku segera setelah diumumkan akan menyebabkan lonjakan harga barang impor, yang berpotensi mendorong inflasi dan menekan daya beli masyarakat kelas menengah bawah di AS. 

    Jika inflasi meningkat, The Federal Reserve (The Fed) kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga, yang pada akhirnya akan memperkuat dolar AS dan semakin melemahkan nilai tukar mata uang lainnya.

    Terkait langkah yang sebaiknya diambil Indonesia, Fadhil menyarankan agar pemerintah lebih mengutamakan jalur negosiasi bilateral dengan AS ketimbang menerapkan tarif balasan yang bisa memperburuk situasi. 

    “Saran saya, lebih baik melakukan negosiasi bilateral daripada menerapkan tarif balasan,” katanya.

    Trump sendiri mengklaim bahwa kebijakan tarif ini bertujuan menciptakan perdagangan yang lebih adil. Ia menantang negara-negara yang terdampak untuk menurunkan tarif dan hambatan dagang mereka agar AS juga melakukan hal yang sama. 

    Namun, Fadhil meragukan apakah benar tarif yang diterapkan Indonesia termasuk dalam kategori manipulasi mata uang atau hambatan perdagangan yang dimaksud Trump.

    Dalam jangka menengah hingga panjang, dampak kebijakan ini terhadap perdagangan global dan Indonesia masih sulit diprediksi. 

    Menurut Fadhil, ada dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, jika negara-negara yang terkena tarif tidak membalas dengan kebijakan serupa dan memilih jalur negosiasi, maka perdagangan global bisa menjadi lebih adil dan efisien. 

    Kedua, jika negara-negara tersebut membalas dengan kebijakan serupa, perang dagang tak terhindarkan, yang pada akhirnya merugikan semua pihak dan berisiko memicu stagflasi atau bahkan resesi global.

    “Jika negara-negara lebih memilih negosiasi, mungkin akan tercipta perdagangan yang lebih adil. Trump sendiri menggunakan tarif ini sebagai alat tawar agar perdagangan lebih seimbang, karena ia percaya AS selama ini diperlakukan tidak adil oleh berbagai negara,” pungkasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.