Logo
>

Sektor Perbankan di Jalur Pemulihan yang Sehat, Analisisnya?

Dalam hal posisi investor asing, terdapat penurunan kepemilikan saham di empat bank besar dari 59,9 persen pada akhir 2023 menjadi 59,1 persen saat ini.

Ditulis oleh Yunila Wati
Sektor Perbankan di Jalur Pemulihan yang Sehat, Analisisnya?
Ilustrasi potensi pertumbuhan sektor perbankan Indonesia. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kinerja sektor perbankan Indonesia pada kuartal pertama 2025 saat ini sedang menjadi fokus utama investor, khususnya investor asing, untuk menilai daya tarik investasi ke depan. 

    Salah satu perhatian besar adalah kemungkinan revisi turun terhadap panduan kinerja (guidance) oleh manajemen baru, terutama pada dua bank milik negara yakni BBRI dan BBNI. Ekspektasi pasar saat ini mengarah pada potensi terjadinya "kitchen sinking", yaitu pengungkapan secara serentak atas potensi kerugian atau masalah kinerja yang sebelumnya belum dicatatkan. 

    Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya diamini oleh beberapa pelaku pasar domestik yang menilai bahwa kondisi saat ini justru lebih terkendali.

    Mengutip riset Indo Premier Sekuritas, Rabu, 23 April 2025, dalam hal posisi investor asing, terdapat penurunan kepemilikan saham di empat bank besar dari 59,9 persen pada akhir 2023 menjadi 59,1 persen saat ini. 

    BBRI mengalami penurunan paling signifikan, dengan penurunan sebesar 480 basis poin dari puncaknya pada 2023. Sementara itu, BBCA menunjukkan ketahanan dengan hanya mengalami penurunan sebesar 30 basis poin sejak awal tahun, menjadikannya yang paling stabil di antara kelompok ini. 

    Tekanan terhadap BBRI dan BBNI dipengaruhi oleh kombinasi faktor seperti perubahan manajemen, isu pembentukan entitas baru seperti Danantara, tarif ekspor-impor, dan laporan keuangan Januari yang relatif lemah.

    Meski ekspektasi pasar mengarah pada revisi panduan dan tindakan kitchen sinking oleh bank-bank BUMN, hasil pemantauan kanal internal menunjukkan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi. 

    Penunjukan CEO baru seperti pada BBRI dan BBNI baru dilakukan pada akhir Maret, sehingga dianggap belum cukup waktu untuk melakukan penilaian menyeluruh terhadap kondisi internal yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan revisi panduan secara besar-besaran. 

    Dalam kasus BBRI, manajemen sebelumnya telah melakukan pembersihan neraca secara komprehensif, dan sejauh ini tidak ada sinyal memburuknya kualitas aset.

    Laporan keuangan kuartal pertama 2025 diperkirakan akan sesuai ekspektasi (in-line), meskipun tetap menjadi titik terendah (trough) dalam tahun berjalan. Pertumbuhan pinjaman diprediksi kuat, melampaui 10 persen untuk keseluruhan sektor perbankan, namun BBRI diperkirakan mencatat pertumbuhan lebih lambat, di bawah 5 persen. 

    Margin bunga bersih (NIM) diprediksi mengalami tekanan di hampir semua bank kecuali BBCA, disebabkan oleh meningkatnya biaya dana (cost of fund) yang masih tinggi. Kondisi likuiditas yang ketat diperparah oleh berkurangnya penerbitan SRBI dan kebutuhan persiapan likuiditas untuk perayaan Idul Fitri dan pembayaran dividen. 

    Sementara itu, beban operasional diperkirakan akan membengkak pada kuartal pertama namun cenderung normal kembali pada kuartal-kuartal berikutnya. Cost of Credit (CoC) diperkirakan tetap stabil, termasuk pada BBRI yang diproyeksikan mencatat CoC di bawah 4 persen pada kuartal ini.

    Rekomendasi investasi tetap berada pada posisi "Overweight" dengan BMRI dan BBRI sebagai saham pilihan utama. Sebelumnya, pergantian CEO sempat memicu pelemahan harga saham, seperti yang terjadi pada BBRI (-7 persen satu bulan setelah pengangkatan Sunarso) dan BBNI (-14 persen setelah pengangkatan Royke). 

    Namun, BMRI justru mencatatkan penguatan 16 persen setelah Darmawan Junaidi menjabat sebagai CEO. Kali ini, kondisi diyakini berbeda karena BBRI telah menyelesaikan proses kitchen sinking sebelum pergantian CEO dan BBNI telah mengurangi risiko dengan memperbesar portofolio ke segmen korporasi swasta dan pinjaman konsumer.

    Kehadiran Hery Gunardi sebagai CEO baru BBRI dinilai membawa peluang pembaruan strategi terutama dalam hal pengelolaan dana pihak ketiga dan pengembangan motor pertumbuhan baru di luar sektor mikro, yakni konsumer dan UMKM. 

    Di sisi lain, BMRI diharapkan terus mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata industri. Risiko utama yang dapat mengganggu prospek sektor ini adalah tekanan eksternal yang memburuk dan intervensi pemerintah terhadap kebijakan penugasan layanan publik (public service obligation/PSO).

    Secara keseluruhan, posisi sektor perbankan Indonesia masih berada pada jalur pemulihan yang sehat, meski tantangan likuiditas dan tekanan margin tetap membayangi. Investor yang fokus pada pertumbuhan jangka menengah dan stabilitas fundamental akan terus melihat BMRI dan BBRI sebagai peluang menarik di tengah dinamika sektor yang sedang berlangsung.

    Siapa Paling Menjanjikan di 2025?

    Untuk menilai mana di antara keempat emiten perbankan besar - BBRI (Bank Rakyat Indonesia), BBNI (Bank Negara Indonesia), BMRI (Bank Mandiri), dan BBCA (Bank Central Asia) - yang paling menjanjikan di tahun 2025, hal yang perlu dipertimbangkan adalah kombinasi antara kinerja historis, proyeksi keuangan, sentimen pasar, dan risiko manajerial atau struktural. 

    Berdasarkan data dan analisis terkini, berikut ini pemetaan dan kesimpulan menyeluruhnya:

    1. BBRI (Bank Rakyat Indonesia)

    BBRI menghadapi tantangan manajerial akibat pergantian CEO pada akhir Maret 2025, yang sempat menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya “kitchen sinking” atau penyesuaian besar pada panduan kinerja. Namun, sejumlah kanal pasar memperkirakan hal tersebut tidak akan terjadi karena pembersihan neraca (clean-up) telah dilakukan oleh manajemen sebelumnya. 

    Meski pertumbuhan pinjaman diproyeksi melambat di bawah 5 persen pada Q1 2025, BBRI diperkirakan akan bangkit dengan strategi baru, khususnya melalui pengembangan segmen konsumer dan UMKM sebagai pelengkap portofolio mikro yang dominan. 

    Dengan kapitalisasi kuat, reputasi luas, dan potensi turnaround, BBRI tetap dianggap prospektif untuk jangka menengah-panjang.

    Kelebihan: Potensi rebound pasca manajemen baru, kekuatan di sektor mikro, likuiditas kuat.
    Risiko: Pertumbuhan awal lambat, tekanan biaya dana (CoF) tinggi, sentimen negatif pasca pergantian manajemen.

    2. BBNI (Bank Negara Indonesia)

    BBNI juga mengalami perubahan CEO, yang diikuti koreksi harga saham pada awal tahun. Namun, bank ini telah melakukan de-risiko besar-besaran dengan fokus pada pinjaman korporasi swasta dan ritel berkualitas. Tidak banyak sinyal negatif dari sisi fundamental, tetapi ekspektasi pasar terhadap performa masih moderat.

    Kelebihan: Portofolio lebih solid, diversifikasi risiko membaik.
    Risiko: Belum banyak katalis pertumbuhan yang kuat, investor asing relatif wait and see.

    3. BMRI (Bank Mandiri)

    BMRI menjadi emiten paling konsisten dalam hal pertumbuhan laba, ekspansi kredit, dan kinerja saham. Dengan CEO yang relatif stabil dan strategi ekspansi digital serta korporasi yang solid, BMRI diperkirakan akan terus melampaui pertumbuhan industri. Investor institusi, termasuk asing, tetap memposisikan BMRI sebagai pilihan utama karena fundamentalnya yang tangguh.

    Kelebihan: Pertumbuhan tinggi, profitabilitas kuat, ekspektasi pasar sangat positif.
    Risiko: Sensitivitas terhadap kondisi makro dan regulasi PSO tetap perlu diwaspadai.

    4. BBCA (Bank Central Asia)

    BBCA tetap menjadi bank paling defensif dengan kinerja keuangan paling stabil dan margin bunga bersih (NIM) terbaik. Meskipun tekanan biaya dana meningkat di sektor perbankan, BBCA relatif tahan banting dan memiliki loyalitas investor yang sangat tinggi. Namun, potensi pertumbuhan eksplosifnya cenderung terbatas karena valuasi yang sudah premium dan pasar yang jenuh.

    Kelebihan: Stabilitas terbaik, kualitas aset sangat baik, manajemen unggul.
    Risiko: Potensi upside terbatas, tidak terlalu atraktif untuk growth investor.

    Jadi, jika fokusnya adalah pertumbuhan agresif dengan risiko yang terukur, BMRI (Bank Mandiri) tampil sebagai pilihan paling menjanjikan di 2025. Emiten ini memiliki rekam jejak pertumbuhan yang solid, kepemimpinan stabil, serta ekspektasi yang tinggi dari analis maupun investor global.

    Namun, jika pendekatan investor lebih ke arah recovery dan turnaround, maka BBRI layak diperhitungkan untuk potensi kenaikan lebih tinggi seiring mulai normalnya arah strategi manajemen baru. BBCA cocok untuk investor defensif dengan profil risiko rendah, sementara BBNI tetap solid tetapi masih menunggu katalis pertumbuhan baru.

    Rekomendasi Analis untuk BBCA

    PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) terus mendapatkan pandangan positif dari pelaku pasar dan analis keuangan. Berdasarkan data terbaru per 21 April 2025, dari total 36 analis yang memberikan pandangan terhadap saham BBCA, sebanyak 32 di antaranya merekomendasikan "beli", sedangkan empat lainnya memberikan rekomendasi "tahan". 

    Tidak ada satupun analis yang menyarankan untuk menjual saham BBCA. Konsensus ini mencerminkan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap kinerja dan prospek jangka menengah hingga panjang bank swasta terbesar di Indonesia ini.

    Harga saham BBCA saat ini berada di level Rp8.725 per lembar, sementara target harga rata-rata yang dihimpun dari para analis berada di angka Rp11.336. Ini memberikan potensi kenaikan yang cukup menjanjikan dari posisi saat ini. 

    Estimasi tertinggi yang diberikan mencapai Rp13.100, sedangkan estimasi terendah berada di angka Rp8.000. Rentang target ini menunjukkan bahwa meskipun ekspektasi optimistis mendominasi, masih ada ruang kewaspadaan terhadap berbagai dinamika pasar.

    Dari sisi kinerja keuangan, proyeksi pendapatan BBCA menunjukkan pertumbuhan yang stabil dari tahun ke tahun. Pada tahun 2024, pendapatan diperkirakan mencapai Rp112,776 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp115,639 triliun pada tahun 2025 dan Rp124,272 triliun pada 2026. 

    Pertumbuhan yang berkelanjutan ini juga tercermin dalam laba operasional yang diproyeksikan naik dari Rp68,218 triliun pada 2024 menjadi Rp72,687 triliun pada 2025 dan Rp78,528 triliun pada 2026.

    Laba bersih pun diperkirakan terus meningkat, dari Rp54,836 triliun pada tahun 2024 menjadi Rp58,479 triliun pada 2025, dan kemudian mencapai Rp62,731 triliun pada tahun 2026. Dengan pertumbuhan laba yang stabil, BBCA juga diprediksi mencatatkan peningkatan laba per saham (EPS) yang konsisten. 

    EPS pada tahun 2024 diproyeksikan sebesar Rp444,83, kemudian naik menjadi Rp473,70 pada 2025, dan Rp505,04 pada 2026. Kenaikan EPS ini menjadi indikator bahwa potensi pengembalian bagi pemegang saham melalui dividen dan kenaikan nilai saham masih sangat terbuka.

    Dengan kombinasi antara kinerja fundamental yang solid, prospek pertumbuhan yang jelas, dan dukungan penuh dari komunitas analis, saham BBCA tetap menjadi pilihan menarik bagi investor jangka panjang yang mencari stabilitas dan pertumbuhan yang berkelanjutan.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79