KABARBURSA.COM - Peran sektor ritel dalam mendorong konsumsi masyarakat semakin vital dalam perekonomian Indonesia, terutama dengan fokus pada digitalisasi dan kemajuan teknologi. Transformasi digital ini tidak hanya mendukung pertumbuhan bisnis tetapi juga memacu inovasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar, menjadikannya kunci utama untuk meningkatkan daya beli dan efisiensi sektor ritel di Indonesia.
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ekspansi pasar ritel melalui e-commerce memungkinkan jangkauan konsumen yang lebih luas dan menciptakan sinergi antara saluran penjualan online dan offline. Direktur Perdagangan, Investasi, dan Kerja Sama Ekonomi Internasional Bappenas, Laksmi Kusumawati, menegaskan, "Digitalisasi teknologi harus menjadi perhatian utama para pelaku ritel. Kemajuan teknologi harus didorong untuk meningkatkan efisiensi operasional."
Laksmi menambahkan bahwa teknologi memainkan peran krusial dalam transformasi industri ritel. Dengan teknologi, toko-toko dapat memantau stok secara real-time, melakukan pemesanan ulang sebelum barang habis, serta mengurangi risiko kekurangan stok. Ini memungkinkan pengelolaan inventaris yang lebih efisien dan meningkatkan pengalaman pelanggan melalui rekomendasi produk yang relevan serta optimasi rantai pasokan, keamanan, dan pencegahan kerugian.
"Ekspansi pasar melalui e-commerce mencakup jangkauan konsumen di berbagai wilayah dan menyinergikan penjualan baik online maupun offline yang selama ini telah berkembang," jelasnya.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad. Ia menilai bahwa peningkatan sektor ritel tidak hanya memperluas pilihan bagi konsumen tetapi juga mendorong produsen untuk berinovasi dan menghadirkan produk terbaik mereka di pasar digital.
Pertumbuhan sektor ritel juga memberikan dampak positif, seperti terciptanya lapangan kerja baru yang membuka peluang bagi pelaku sektor informal dan mendorong konsumsi melalui peningkatan pendapatan mereka. "Sektor ritel mendorong konsumsi dengan cepat dan menawarkan alternatif yang lebih baik karena produsen akan menampilkan produk terbaik dan memberikan lebih banyak pilihan," kata Ahmad.
Para pelaku sektor informal yang sebelumnya tidak terjangkau pasar formal kini memiliki kesempatan untuk terlibat, meningkatkan daya beli masyarakat secara keseluruhan. "Hal ini menantang industri untuk berinovasi agar produk mereka laku di pasar digital," tambahnya.
Meskipun Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan perlambatan pada kuartal kedua tahun ini dengan pertumbuhan di bawah 5 persen, sektor perdagangan, industri pengolahan, dan pertanian tetap memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian. Nilai ekonomi e-commerce yang mencapai USD82 miliar atau sekitar Rp1.200 triliun menegaskan peran besar konsumsi dalam perekonomian nasional.
"Namun, sektor perdagangan, industri pengolahan, dan pertanian masih memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian kita," jelas Ahmad.
Namun, untuk pertumbuhan jangka panjang, penting untuk diingat bahwa konsumsi yang terlalu tinggi tanpa didukung investasi atau ekspor dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Para pemangku kepentingan diharapkan dapat mengalihkan fokus dari ekonomi berbasis konsumsi ke investasi dan perdagangan internasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan berkelanjutan di masa depan.
"Kita harus bergeser dari ekonomi berbasis konsumsi ke investasi dan perdagangan internasional. Ini menjadi PR bersama agar kita tidak terlalu bergantung pada konsumsi," tukasnya.
Hambatan Industri Ritel
Stagnasi dan penurunan daya beli masyarakat kini menjadi perhatian utama bagi pelaku usaha ritel di Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, mengungkapkan bahwa penurunan daya beli sudah mulai terasa sejak akhir Mei 2024 dan diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun. Tingginya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) yang masih berada di level 6,25 persen dianggap sebagai faktor utama yang menghambat permintaan dan konsumsi.
Roy juga menyoroti tren deflasi yang telah terjadi selama tiga bulan berturut-turut sebagai tanda bahwa masyarakat mulai mengurangi pengeluaran. Hal ini diperkirakan akan membuat kinerja bisnis ritel pada semester II 2024 stagnan, dengan pertumbuhan yang diperkirakan berada di kisaran 4,8 persen–4,9 persen, mirip dengan pertumbuhan semester II 2023.
Untuk menghadapi tantangan ini, Roy mengusulkan sejumlah langkah stimulus dari pemerintah. Ia menyarankan agar bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan sosial lainnya tetap dilanjutkan, terutama untuk masyarakat bawah yang terdampak oleh kenaikan harga kebutuhan pokok. Untuk kelas menengah, Roy merekomendasikan subsidi tarif listrik guna menjaga daya beli mereka, mengingat banyak di antara mereka telah menguras tabungan untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, masyarakat atas memerlukan kepastian ekonomi untuk mendukung stabilitas keuangan mereka.
Dari sisi pelaku usaha, Roy meminta insentif fiskal seperti keringanan pajak, subsidi tarif listrik, dan bantuan upah bagi pekerja ritel. Hal ini penting karena 65 persen pekerja di sektor ritel adalah lulusan sekolah menengah atas (SMA) yang sangat membutuhkan dukungan tersebut.
Jika daya beli dan permintaan tidak segera membaik, Roy memperingatkan bahwa para pengusaha ritel mungkin harus mengambil langkah-langkah efisiensi, seperti menunda ekspansi gerai, relokasi, atau bahkan mengurangi tenaga kerja.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menambahkan bahwa terhambatnya ekspansi ritel akan berdampak langsung pada kinerja pusat perbelanjaan. Banyak ritel besar seperti Matahari Department Store dan Hypermart terpaksa menahan diri untuk membuka gerai baru, bahkan ada yang menutup gerai yang sudah ada.
Kondisi ini mencerminkan tantangan signifikan yang dihadapi sektor ritel dan pusat perbelanjaan di tengah daya beli masyarakat yang lemah dan suku bunga yang tinggi. Tanpa stimulus yang efektif dari pemerintah, baik konsumen maupun pengusaha ritel akan terus berada dalam tekanan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Tantangan di IKN
Seiring dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitas di Ibu Kota Nusantara (IKN), pertanyaan penting muncul mengenai perkembangan sektor ritel modern di kawasan tersebut. Kapan sektor ritel di IKN akan terealisasi?
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan, mempertanyakan kesiapan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengenai status dan kesiapan ritel modern di IKN. Meskipun IKN telah memulai operasional berbagai fasilitas penting seperti hotel, rumah sakit, dan pusat pendidikan, kehadiran ritel modern di IKN masih menjadi perhatian banyak pihak.
“Nah, ini kan orang di IKN perlu makan, perlu minum, dan sebagainya. Tapi, bagaimana dengan fasilitas ini di IKN? Apakah sudah ada rencana atau persiapan?” ujar Kasan, menambahkan bahwa hal ini juga merupakan bagian dari menciptakan pertumbuhan baru.
Kasan mengungkapkan bahwa kinerja sektor ritel di Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang menjanjikan. Berdasarkan survei terbaru mengenai penjualan eceren oleh Bank Indonesia (BI), diperkirakan bahwa penjualan eceren pada bulan Juli 2024 akan mengalami peningkatan yang signifikan. (*)