KABARBURSA.COM - Industri alas kaki Tanah Air sedang menjadi sorotan, khususnya setelah keputusan PT Sepatu Baka Tbk untuk menutup pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat pada akhir April 2024.
Para pengusaha menganggap salah satu penyebab tutupnya pabrik merek sepatu legendaris tersebut adalah karena semakin masifnya impor sepatu ke Indonesia, sehingga mengakibatkan permintaan terhadap sepatu produksi dalam negeri menurun.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor alas kaki ke Indonesia per April 2024 mencapai USD52 juta atau sekitar Rp837,2 miliar (dengan asumsi kurs Rp16.100 per dolar AS).
"Nilai ini mengalami penurunan sebesar 1,53 persen secara bulanan (month to month/mtm)," kata Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu, 15 Mei 2024.
Pudji juga menjelaskan bahwa impor terbesar berasal dari China. Berdasarkan data BPS, nilai impor alas kaki dari Negeri Tirai Bambu itu mencapai USD25 juta atau sekitar Rp402,5 miliar, atau sekitar 48,08 persen dari total impor alas kaki.
Seperti diketahui, PT Sepatu Bata Tbk memutuskan untuk menutup pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat, pada tanggal 30 April lalu.
Direktur dan Sekretaris Bata, Hatta Tutuko menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil untuk menjaga kelangsungan bisnis jangka panjang perusahaan.
"Perusahaan sedang melakukan transformasi untuk melayani konsumen dengan lebih baik melalui pemasok lokal dan mitra lainnya," kata Hatta Tutuko.
Permasalahan yang dihadapi produsen sepatu
Sementara, Founder & CEO PT Sumber Kreasi Fumiko, Yongki Komaladi mengungkapkan berbagai masalah yang juga dihadapi perusahaan-perusahaan pembuat alas kaki lainnya. Salah satunya adalah ketersediaan bahan baku yang sebagian besar diimpor dari luar negeri.
"Menurut saya, bahan baku merupakan salah satu hal yang sulit ditemukan jika diproduksi secara lokal. Hampir 90 persen produk alas kaki berasal dari luar negeri, terutama China," kata Yongki, Rabu, 15 Mei 2024.
Selain itu, lanjut Yongki, produktivitas pekerja dalam negeri dalam industri alas kaki dinilai belum cukup efisien, yang secara langsung memengaruhi produktivitas pabrik-pabrik tersebut.
"Sekarang, sebagian besar produk berbahan dari luar, tetapi seberapa besar potensi tenaga kerja dalam negeri? Apakah mereka seprofesional dengan pekerja dari negara lain? Hal ini perlu dipertimbangkan ulang dalam hal efisiensi dan berbagai aspek lainnya," ujarnya.
Kondisi semakin tidak menguntungkan yaitu banyaknya produk alas kaki alias produk impor di Indonesia, sehingga produsen dalam negeri kesulitan menjual produknya dan mengalami kerugian.
Menurutnya, situasi ini membutuhkan perhatian dan dukungan regulasi khusus dari pemerintah.
Ia menggarisbawahi bahwa perusahaan besar seperti Bata saja mengalami kerugian hingga menutup pabrik, apalagi UMKM yang lebih kecil.
"UMKM di Indonesia pasti menghadapi kesulitan yang lebih besar. Ini menjadi PR bersama kita untuk memikirkan industri ini, apakah cukup memiliki kepadatan tenaga kerja yang luar biasa," jelas Yongki.
Dia memprediksikan bahwa jika situasi ini berlanjut, fenomena penutupan pabrik dan PHK massal akan meluas ke merek lainnya, bukan hanya Bata. Banyak UMKM yang tidak mampu bersaing di dalam negeri.
"Contohnya, banyak UMKM ingin mem-branding produk mereka tetapi kalah dengan merek-merek luar negeri. Mengapa mereka tidak difasilitasi untuk masuk ke mal atau pusat perbelanjaan? Produk lokal harus diberi tempat agar dicintai oleh masyarakat," ungkapnya.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.