KABARBURSA.COM - Polemik mengenai naik turunnya uang kuliah tunggal (UKT) dan iuran pengembangan institusi (IPI) masih menjadi sorotan di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi mahasiswa, tetapi juga mencerminkan arah kebijakan pendidikan tinggi di Tanah Air.
Persoalan kenaikan UKT menjadi isu hangat di beberapa PTN di seluruh negeri. Misalnya, di Universitas Sumatera Utara (USU), mahasiswa menolak kenaikan UKT sebesar 30-50 persen yang diterapkan secara tiba-tiba saat proses pendaftaran ulang mahasiswa baru sedang berlangsung. Kenaikan ini dianggap tidak sebanding dengan kualitas fasilitas kampus yang masih jauh dari memadai.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebelumnya sudah menginstruksikan kepada 75 PTN dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) untuk mencabut tarif UKT dan IPI tahun akademik 2024/2025. Permintaan itu diedarkan melalui surat Nomor 0511/E/PR.07.04/2024.
Namun, faktanya masih ada kampus yang memungut biaya IPI kepada mahasiswanya. Salah satu contohnya adalah Universitas Riau (Unri). Aliansi Pendidikan Gratis Riau mendapat laporan dari seorang mahasiswa baru yang dimintai pungutan IPI dan wajib menulis pernyataan jika dinyatakan lulus. Padahal, sang mahasiswa menempuh jalur pendaftaran lewat Seleksi Mandiri Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SMMPTN wilayah Barat.
Meski pemerintah meminta dicabut, tak semua kampus negeri membatalkan sepenuhnya biaya IPI kepada mahasiswanya. Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, menyatakan masih akan ada mahasiswa baru yang diterima melalui jalur Seleksi Mandiri 2024 dikenai biaya IPI.
Wakil Rektor Bidang SDM dan Keuangan UGM, Supriyadi, mengatakan IPI hanya akan dikenakan pada 10 persen dari kuota maksimal 30 persen mahasiswa yang diterima melalui jalur Seleksi Mandiri.
"IPI hanya diberlakukan kepada mahasiswa yang masuk dalam kategori UKT Pendidikan Unggul. Jika kuota maksimal mahasiswa jalur mandiri adalah 30 persen, maka hanya 10 persen dari mereka yang dikenai IPI," kata Supriyadi.
Di UGM, biaya kuliah terbagi menjadi UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi dan UKT Pendidikan Unggul yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa. Untuk 10 persen mahasiswa jalur mandiri yang masuk dalam kategori UKT Pendidikan Unggul, UGM tetap memberikan kelonggaran dalam pembayaran IPI secara bertahap.
"Mahasiswa yang dikenai IPI dan dapat membayarnya di awal dipersilakan melakukannya. Namun, jika tidak mampu, mereka bisa mengajukan permohonan untuk membayar secara bertahap, dua kali, tiga kali, atau empat kali. Kami siap memfasilitasi," katanya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji, menyoroti kebijakan pemberlakuan biaya IPI di perguruan tinggi yang dinilai tidak adil dan memberatkan mahasiswa. Menurutnya, IPI seharusnya tidak diterapkan kepada semua mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga dengan ekonomi lemah.
"IPI itu mestinya tidak diberlakukan ke semua mahasiswa, yang tidak mampu bayar karena masuk kategori ekonomi lemah ya jangan dipaksa," kata Ubaid kepada KabarBursa, Senin, 1 Juli 2024.
Ubaid menjelaskan, mengandalkan IPI untuk pembiayaan kampus merupakan konsep yang terbalik. Beban pembiayaan pendidikan tinggi seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan dialihkan kepada masyarakat.
"Tidak tepat kalau kampus mengandalkan IPI. Jika mengandalkan IPI maka beban pembiayaan kampus ditanggung oleh masyarakat. Ini konsep yang terbalik. Mestinya beban pembiayaan pendidikan tinggi itu menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan malah dialihkan bebannya ke masyarakat," jelasnya.
Ubaid juga mengusulkan agar IPI diberlakukan dengan prinsip keadilan, di mana penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) tidak perlu membayar. Besaran IPI juga seharusnya tidak disamakan untuk seluruh mahasiswa, melainkan dibayar secara sukarela sesuai dengan kemampuan masing-masing.
"Supaya IPI ini berkeadilan, ya jangan dipukul rata," katanya.
Kritik terhadap kebijakan IPI ini juga sejalan dengan pandangan banyak kalangan mengenai komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Kebijakan ini dianggap memberatkan mahasiswa dan tidak sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang ini menyatakan bahwa pemerintah harus menyediakan pendidikan yang layak untuk setiap warga negara, tanpa membedakan kaya atau miskin.
Lebih lanjut, Ubaid menekankan tanggung jawab pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa harus diperbesar, termasuk dalam hal pembiayaan dan subsidi yang meringankan beban mahasiswa.
"Karena PTN ini menjadi tanggung jawab pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dan juga menyangkut hajat hidup orang banyak," ujarnya.
Iuran Pengembangan Institusi (IPI) dianggap memberatkan bagi mahasiswa, terutama mereka yang tidak memiliki kemamuan ekonomi. Untuk itu, diharapkan pemberlakuan IPI ini dapat disesuaikan dan tidak diterapkan kepada seluruh mahasiswa baru.(pin/*)