KABARBURSA.COM - Negara bagian Amerika Serikat, Arkansas, mengajukan gugatan kepada pemilik aplikasi belanja online "Temu". Mereka menyebut, Temu adalah perangkat lunak berbahaya atau malware, yang dapat mencuri data konsumen AS.
Jaksa Agung Tim Griffin mengatakan, Temu dan perusahaan induknya, PDD Holdings Inc., telah melakukan praktik perdagangan menipu dengan kebijakan pengumpulan data yang dianggap merugikan pengguna. Meskipun dikenal sebagai platform e-commerce, lanjut Griffin, Temu diduga berfungsi sebagai malware dan spyware. Begitu bunyi pernyataan Griffin pada Minggu, 30 Juni 2024.
"Temu didesain secara sengaja untuk mendapatkan akses tak terbatas ke sistem operasi ponsel pengguna, tanpa mempedulikan pengaturan privasi data pengguna, dan memanfaatkan data yang dikumpulkannya secara tidak sah," ujar Griffin.
Dia lalu merujuk pada tindakan Google yang menangguhkan sementara aplikasi Pinduoduo milik PDD setelah ditemukan versi aplikasi di luar Play Store yang mengandung malware, serta penarikan sementara Temu dari App Store iOS oleh Apple karena pelanggaran aturan privasi wajib dalam pelacakan data.
Meskipun demikian, dokumen gugatan ini tidak memberikan bukti langsung adanya kegiatan mata-mata oleh Temu. Sebaliknya, gugatan ini mengutip komentar dari pihak ketiga, termasuk perusahaan short-selling, yang mengkhawatirkan jumlah besar data yang diduga dikumpulkan oleh Temu dari ponsel pengguna.
Secara singkat, gugatan tersebut mengklaim bahwa Temu tidak hanya mengumpulkan data sensitif dalam jumlah besar yang jauh melebihi kebutuhan sebuah aplikasi belanja, tetapi juga melakukannya dengan cara yang sengaja disembunyikan dan dirancang untuk menghindari deteksi. Griffin juga mencatat bahwa perusahaan tersebut dipimpin oleh mantan pejabat Partai Komunis China, menimbulkan risiko keamanan yang signifikan bagi AS dengan potensi pemata-mataan yang tidak terdeteksi oleh pemerintah China.
Tuduhan yang dilayangkan terhadap Temu juga mencerminkan kontroversi sebelumnya terhadap TikTok, yang juga berasal dari perusahaan China, ByteDance.
Tuduhan Kurang Bukti
Pada April 2024, Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang yang melarang TikTok karena kekhawatiran akan adanya mata-mata dari China. Akibatnya, aplikasi berbagi video ini dapat secara resmi dihapus dari toko aplikasi awal tahun depan kecuali ByteDance berhasil menantang hukum tersebut atau memutuskan untuk menjual TikTok.
Saat ini, gugatan yang diajukan oleh Jaksa Agung Tim Griffin terhadap Temu hanya menuntut agar aplikasi belanja asal China tersebut menghentikan pengumpulan data dan membayar denda perdata. Namun, beberapa anggota parlemen dari Partai Republik telah meminta pemerintahan Biden untuk menyelidiki dan melarang Temu atas dugaan keterlibatan dalam kerja paksa dan pencurian kekayaan intelektual.
Temu belum memberikan tanggapan resmi terhadap gugatan tersebut. Namun, juru bicara perusahaan mengatakan bahwa gugatan Griffin dilakukan tanpa adanya pencarian fakta independen. “Tuduhan dalam gugatan ini didasarkan pada informasi salah yang beredar secara online, terutama dari short-seller, dan sama sekali tidak berdasar. Kami dengan tegas menyangkal tuduhan tersebut dan akan membela diri dengan sekuat tenaga,” ujar juru bicara tersebut.
Di Indonesia, aplikasi Temu disebut-sebut berpotensi mengganggu pasar dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri. Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengatakan bahwa aplikasi ini lebih berbahaya dibanding TikTok Shop karena selain menawarkan harga yang sangat murah, platform ini juga dapat memotong mata rantai antara produsen dan konsumen.
“Akan ada banyak lapangan kerja di sektor distribusi yang hilang. Tidak akan ada lagi reseller, affiliator, bahkan produk-produknya akan sangat murah karena diproduksi massal oleh pabrikan,” kata Teten setelah menghadiri rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senin, 10 Juni 2024.
Meskipun aplikasi ini belum masuk ke Indonesia, Teten memperingatkan semua pihak untuk berhati-hati terhadap kehadiran Temu, mengingat aplikasi ini sudah beroperasi di 58 negara dengan sekitar 80 pabrik yang langsung terhubung dengan konsumen di negara-negara tersebut.
Namun, Kementerian Perdagangan memastikan aplikasi tersebut tidak bisa diterapkan di Indonesia. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Isy Kasim, memastikan aplikasi Temu belum mengajukan pendaftaran dan perizinan apapun ke Kemendag.
"Temu itu belum masuk, mungkin di Malaysia, bukan di Indonesia. Belum ada kontak ke Kemendag," ujar Isy, Kamis, 13 Juni 2024.
Model bisnis aplikasi Temu, ujar Isy, menerapkan penjualan produk langsung dari pabrik ke konsumen. Metode ini tentu saja tidak dapat diterapkan di Indonesia. Alasannya, skema perdagangan Factory to Consumer (F to C) melanggar kebijakan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 29/2021, tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.