KABARBURSA.COM - Bitcoin kembali mencuri perhatian pasar aset kripto dengan performa teknikal yang sangat mengesankan. Berdasarkan pembacaan indikator per 4 Mei 2025 pukul 01:39 GMT, sinyal pasar jelas menunjukkan dominasi kekuatan beli.
Baik dari sisi indikator teknikal maupun rata-rata pergerakan harga (moving average), semua indikator kompak memberikan sinyal “Sangat Beli”. Ini menjadi bukti bahwa tren bullish Bitcoin masih sangat kuat dan belum menunjukkan tanda-tanda kehilangan momentum.
Dari sisi indikator momentum, RSI (Relative Strength Index) berada di angka 69,13, sangat dekat dengan batas overbought di level 70. Ini menandakan bahwa meskipun Bitcoin belum sepenuhnya masuk ke zona jenuh beli, tekanan beli yang besar sudah mulai terlihat.
Di sisi lain, indikator STOCH (Stochastic Oscillator) dan Williams %R sudah berada di zona overbought, yang menunjukkan bahwa pasar saat ini sangat antusias terhadap Bitcoin, meskipun ada potensi koreksi minor jangka pendek.
Indikator teknikal lainnya seperti MACD, CCI, ROC, dan Ultimate Oscillator semuanya memberikan sinyal beli yang konsisten. MACD misalnya, mencetak nilai tinggi di angka 13.260,6, menunjukkan bahwa perbedaan antara garis cepat dan lambat sangat lebar, yang menjadi indikasi momentum bullish yang solid.
ROC (Rate of Change) berada di angka 34,37, menggambarkan laju kenaikan harga yang sangat tajam dalam waktu singkat.
Sementara itu, ATR (Average True Range) yang menyentuh angka 16.161 mencerminkan volatilitas pasar yang tinggi, yang biasanya menjadi magnet bagi trader jangka pendek yang mencari peluang dari pergerakan tajam.
Dari sudut pandang moving average, semua periode MA—baik MA5, MA10, MA20, MA50, MA100, hingga MA200—masih berada dalam sinyal beli.
Harga Bitcoin saat ini diperdagangkan jauh di atas semua rata-rata tersebut, yang berarti bahwa tren naik masih sangat kuat secara jangka pendek maupun panjang.
Fakta bahwa MA200 menunjukkan nilai 14.569,9 sementara harga sudah berada jauh di atasnya menunjukkan bahwa Bitcoin telah berada dalam fase bullish selama waktu yang panjang, dan belum ada tanda-tanda pembalikan arah signifikan.
Analisis Pivot Points juga memperkuat optimisme ini. Dengan level pivot utama di kisaran 88.142, harga Bitcoin saat ini masih memiliki ruang besar untuk bergerak menuju level resistance berikutnya yang berada di antara 101.760 hingga 109.336.
Bahkan dalam skenario ekstrem, titik resistance tertinggi yang tercatat dalam pendekatan klasik dan Woodie’s menyentuh level psikologis 125.000 USD. Area support pun terbentuk kuat di bawah level 80.000, memberikan bantalan teknikal yang solid jika terjadi koreksi sehat.
Secara keseluruhan, analisis teknikal Bitcoin menunjukkan bahwa pasar saat ini berada dalam kondisi yang sangat menguntungkan untuk investor dan trader.
Momentum naik yang didukung oleh indikator kuat, volume tinggi, dan tren jangka panjang yang masih utuh membuat Bitcoin menjadi salah satu aset paling menarik di awal kuartal kedua 2025.
Dengan volatilitas yang masih tinggi, potensi profit tetap besar—baik untuk jangka pendek maupun strategi hold jangka panjang.
Bagi para pelaku pasar yang tengah menimbang langkah, fase ini bisa menjadi peluang emas untuk mempertahankan atau bahkan menambah posisi. Namun, penting juga untuk tetap waspada terhadap potensi koreksi jangka pendek, mengingat beberapa indikator sudah mendekati atau bahkan memasuki zona overbought.
Dengan demikian, disiplin dalam manajemen risiko tetap menjadi kunci utama di tengah euforia pasar kripto yang sedang memanas. Jika tren ini terus berlanjut, Bitcoin bisa jadi akan membuka jalan menuju rekor harga baru yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Bitcoin tampaknya mulai bergerak menjauh dari citra lamanya sebagai aset berisiko tinggi. Dalam laporan terbaru yang dirilis oleh Citi Research, para analis melihat adanya perubahan perilaku signifikan dari aset kripto terbesar ini, terutama dalam merespons kondisi makroekonomi global.
Jika sebelumnya Bitcoin dikenal memiliki korelasi kuat dengan pasar saham dan sering jatuh bersama aset-aset berisiko lainnya, kini muncul pola yang berbeda—lebih mirip dengan cara kerja aset keras seperti logam dasar atau bahkan energi.
Citi mencatat bahwa Bitcoin justru menunjukkan performa unggul selama periode kenaikan suku bunga dan peningkatan premi jangka panjang, dua kondisi yang biasanya menjadi kabar buruk bagi emas.
Secara historis, emas cemerlang ketika suku bunga dan premi jangka panjang menurun, karena aset ini tidak memberikan imbal hasil dan sangat bergantung pada kondisi likuiditas global.
Namun, Bitcoin justru bersinar dalam iklim moneter yang ketat, seperti ketika suku bunga riil melonjak dan tekanan inflasi meningkat.
Temuan ini cukup mencengangkan karena mengindikasikan bahwa Bitcoin mungkin bertransformasi menjadi jenis aset yang lebih tangguh secara makroekonomi.
Alih-alih menjadi sekadar alat spekulasi digital, Bitcoin kini mulai menunjukkan karakteristik yang menyerupai komoditas terbatas pasokan—seperti tembaga atau minyak—yang biasanya berkinerja baik saat ekonomi mengalami pemanasan berlebihan.
Fenomena ini diperkuat oleh fakta bahwa minat investor terhadap Bitcoin terus meningkat selama periode gejolak makro, termasuk saat banyak aset tradisional mengalami penurunan tajam.
Salah satu momen paling menonjol adalah saat keruntuhan Silicon Valley Bank dan gejolak pasar obligasi di akhir 2023. Dalam situasi yang membuat pasar saham limbung dan emas pun kurang bertenaga, Bitcoin justru melonjak.
Ini memperlihatkan bahwa perilaku pasar terhadap Bitcoin tidak lagi bisa disederhanakan sebagai aset berisiko tinggi. Sebaliknya, ia menunjukkan resiliensi tinggi terhadap guncangan dan sensitivitas makro yang makin kompleks.
Meski begitu, Citi belum siap melabeli Bitcoin sebagai safe haven sejati seperti emas. Volatilitas harga yang masih tinggi dan rekam jejak yang belum panjang membuatnya belum bisa disejajarkan secara penuh.
Namun, performanya yang solid di lingkungan ekonomi yang biasanya tidak bersahabat bagi emas—yakni saat suku bunga dan premi jangka panjang naik—membuka ruang interpretasi baru. Bisa jadi, Bitcoin kini dilihat oleh sebagian investor sebagai instrumen lindung nilai alternatif, terutama karena sifat pasokannya yang terbatas dan semakin diterima dalam arus utama keuangan.
Yang juga menarik, analisis Citi menyebut bahwa Bitcoin menunjukkan kinerja kuat dalam skenario yang sangat langka: ketika imbal hasil turun tetapi premi jangka panjang naik. Ini adalah kondisi pasar yang umumnya justru menguntungkan emas, namun kali ini Bitcoin tampil menonjol.
Hal ini menegaskan bahwa Bitcoin bukanlah aset yang bisa dikategorikan secara kaku. Ia tidak selalu menjadi pelindung nilai seperti emas, tapi juga tidak sepenuhnya tunduk pada pola pasar saham.
Singkatnya, laporan Citi memperlihatkan bahwa peran Bitcoin dalam portofolio investor semakin berkembang. Ia bukan lagi sekadar aset digital spekulatif, tetapi mulai dipandang sebagai instrumen strategis dalam menghadapi ketidakpastian moneter global.
Di tengah naik turunnya inflasi, suku bunga, dan risiko geopolitik, Bitcoin kini menjelma menjadi elemen penting dalam strategi diversifikasi aset.
Mungkin kita belum bisa menyebutnya sebagai “emas digital” dalam pengertian konvensional, tapi tak diragukan lagi bahwa Bitcoin telah mengambil tempat tersendiri sebagai aset keras era baru.(*)