Logo
>

Soal Harga Obat RI yang Tinggi: Apa Dampaknya ke Emiten?

Ditulis oleh KabarBursa.com
Soal Harga Obat RI yang Tinggi: Apa Dampaknya ke Emiten?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, meminta masyarakat bersabar tentang tingginya harga obat dalam negeri. Diketahui sebelumnya, Budi sempat menyebut harga obat di Indonesia lebih tinggi hingga 500 persen ketimbang Malaysia.

    Budi mengaku, Kementerian Kesehatan tengah mencari solusi bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menekan harga obat dalam negeri. Dia juga mengaku telah menemukan tolok ukur atau benchmark harga obat untuk disesuaikan di Indonesia.

    "Itu sabar tuh, ini sedang bikin sama Bapak Presiden, kita nyiapin. Tapi satu yang sudah kita lihat, sudah kita benchmark. Memang harga obat di Indonesia lebih tinggi," kata Budi kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2024.

    Budi menyebut, benchmarking akan disesuaikan dengan harga obat anggota G20 dan negara-negara di Asia. Dia menilai, proses itu akan membantu menemukan titik persoalan mahalnya harga obat dalam negeri.

    Di sisi lain, Budi juga mengaku telah menemukan data penyebab tingginya harga obat dalam negeri. Meski begitu, dia mengaku tengah mencari kontribusi dari tiap-tiap penyebab meningkatnya harga obat.

    "Karena ada banyak, gara-gara pajak, gara-gara distribusi, gara-gara tata kelola, itu banyak kan. Nah sekarang kita mau coba rapihkan berapa sih kontribusi masing-masing penyebab itu," jelasnya.

    Kendati begitu, Budi menilai analisa penyebab harga obat masih bersifat hipotesa. Setelah melakukan penelusuran mendalam, kata dia, pemerintah akan menentukan langkah konkret untuk menekan harga obat.

    "Itu kan masih hipotesa. Dan yang ketiga, (setelah kajian mendalam) nanti bisa action-nya (untuk menekan harga obat) apa," tutupnya.

    Sebelumnya, Budi juga sempat mengungkap hal yang menyebabkan tingginya harga obat di Indonesia. Hal itu terjadi karena inefisiensi dalam sistem perdagangan dan distribusi obat serta alat kesehatan, bukan semata-mata karena pajak.

    Menurut Budi, yang akrab disapa BGS, pajak hanya berkontribusi sekitar 20 persen hingga 30 persen terhadap harga obat. Oleh karena itu, pajak tidak bisa sepenuhnya menjelaskan perbedaan harga yang mencapai 300 persen hingga 500 persen.

    Budi pun mencontohkan, impor alat kesehatan seperti mesin USG dikenakan bea masuk 0 persen, sementara impor komponennya seperti layar USG dikenakan bea masuk hingga 15 persen. Perbedaan bea masuk ini menjadi hambatan bagi pertumbuhan industri farmasi domestik.

    “Mahalnya harga obat di Indonesia bukan hanya karena pajak, tetapi juga karena inefisiensi dalam perdagangan dan jual beli obat serta alat kesehatan,” kata Budi di Jakarta, 2 Juli 2024.

    Masalah mahalnya harga obat dan alat kesehatan juga menjadi perhatian Jokowi. Melalui Budi, Jokowi memerintahkan kementerian dan lembaga terkait untuk segera melakukan perbaikan tata kelola dan pembelian obat serta alat kesehatan untuk mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu.

    "Ada biaya-biaya yang mungkin harusnya tidak dikeluarkan karena ujungnya kan yang beli pemerintah juga,” terang Budi.

    Dampaknya Terhadap Emiten?

    Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, tak menampik bahan baku produksi obat masih mengandalkan impor. Bahkan, dia menyebut 90 persen bahan obat yang diproduksi dalam negeri diperoleh secara impor.

    "Industri farmasi memang masih mengandalkan bahan baku impor, bahkan hingga 90 persen,” kata Nico, kepada KabarBursa.

    Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah, kata Nico, harga bahan baku produksi obat dalam negeri yang didominasi impor akan terkerek naik. Hal ini yang menyebabkan tingginya harga obat dalam negeri.

    Mengutip data Google Finance pukul 12.20 WIB pada Senin, 8 Juli 2024, nilai tukar rupiah menguat di angka Rp16.253 per dolar Amerika Serikat. Angka itu menjanjikan baik jika dibandingkan beberapa minggu lalu yang sempat menyentuh angka Rp16.400 per dolar Amerika Serikat.

    “Ketika pelemahan Rupiah terjadi, hal ini akan mengakibatkan kenaikkan harga bahan baku sehingga harga jual pun pasti akan mengalami kenaikan,” jelasnya.

    Nico menuturkan, lemahnya rupiah yang berkepanjangan akan memberatkan kinerja emiten farmasi. Sementara emiten tersebut, katanya, harus menerapkan mitigasi risiko yang baik untuk mengatasi lemahnya rupiah.

    “Hal ini tentu akan memberatkan kinerja keuangan dari emiten farmasi, dan diharapkan masing-masing emiten dapat melakukan mitigasi risiko terkait dengan nilai tukar, mungkin dari hedging kurs misalnya,” ungkapnya.

    Harga Obat Melangit

    Komite Ahli PB IDI, Dr. Husniah Rubiana Thamrin Akib, MS, M.Kes, SpFK memberikan rekomendasi strategis untuk menurunkan harga obat di Indonesia, yang dinilai jauh lebih mahal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia.

    Dr. Husniah menyarankan agar Indonesia kembali mengontrol harga obat generik dengan menetapkannya secara nasional. Langkah ini diharapkan dapat menstabilkan harga dan membuatnya lebih terjangkau.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi