KABARBURSA.COM - Stok baterai di dunia diprediksi akan melimpah. Meskipun banyak hal negatif dari melimpahnya stok baterai ini, namun setidaknya ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Indonesia. Gelombang pembangunan pabrik baterai di seluruh dunia diperkirakan dapat menghasilkan jumlah sel yang melebihi kebutuhan ekonomi global, seperti yang diperingatkan oleh BloombergNEF dalam laporan terbarunya.
Permintaan akan sel lithium-ion (baterai lithium) sedang meningkat pesat karena produsen mobil mengalihkan armada mereka ke listrik dan utilitas memasang baterai besar untuk menstabilkan jaringan listrik.
Namun, para produsen telah mengumumkan rencana pembangunan pabrik baru dalam jumlah yang begitu besar sehingga kapasitas produksi diperkirakan akan melampaui permintaan untuk sisa dekade ini, menurut laporan BloombergNEF.
BNEF memperkirakan bahwa pada akhir 2025, kapasitas industri baterai global akan mencapai lebih dari lima kali lipat dari jumlah sel yang diperlukan oleh pasar global pada tahun tersebut, sebagaimana tercantum dalam proyeksi terbarunya mengenai mobil listrik.
Ini merupakan berita baik bagi produsen mobil dan konsumen kendaraan listrik, namun menunjukkan tantangan bagi peserta baru dalam industri baterai. Kelebihan pasokan paling parah terjadi di China, di mana kapasitas produksi baterai diperkirakan akan melebihi permintaan tahunan setidaknya 400 persen selama sisa dekade ini.
Di AS, kekhawatiran serupa mendorong Presiden Joe Biden untuk memprioritaskan pembangunan rantai pasokan baterai domestik dalam upayanya untuk mengatasi isu perubahan iklim dan memajukan sektor industri. Salah satu langkah konkret adalah penawaran pinjaman senilai USD9,2 miliar kepada Ford Motor Co tahun lalu untuk membangun tiga pabrik baterai.
Di Eropa, meskipun menghadapi surplus kapasitas baterai, pemerintah mendorong ekspansi lebih lanjut. Nortvolt AB, produsen baterai asal Swedia, tengah membangun pabrik di Jerman, dan Menteri Ekonomi Robert Habeck aktif mendorong perusahaan untuk membangun pabrik tambahan.
Beberapa pabrik yang direncanakan di seluruh dunia mungkin ditunda atau dibatalkan karena kelebihan kapasitas industri, menurut Yayoi Sekine, kepala riset penyimpanan energi di BNEF.
Ford, sebagai contoh, telah membatalkan rencananya untuk meningkatkan produksi kendaraan listrik dengan alasan perang harga untuk mobil dan truk bertenaga baterai.
"Ini akan menjadi masalah di mana-mana, termasuk di Amerika Serikat," katanya dalam sebuah email.
Sementara itu, bahan kimia yang digunakan untuk membuat baterai sedang mengalami perubahan. Laporan menunjukkan bahwa baterai lithium iron phosphate semakin populer untuk menggerakkan mobil listrik, terutama di kalangan produsen mobil China. Bahan-bahan komponen dari baterai ini lebih ekonomis dibandingkan dengan sel lithium-ion standar yang menggunakan nikel, mangan, dan kobalt.
Pergeseran ini diperkirakan dapat secara substansial mengurangi permintaan atas logam-logam tersebut di masa depan. BNEF memperkirakan penggunaan nikel dalam baterai akan turun sebesar 25 persen tahun depan.
Dua Strategi untuk Indonesia
Indonesia dinilai memiliki setidaknya dua peluang dari proyeksi bahwa ketersediaan sel baterai akan melampaui permintaan lima kali lipat pada akhir 2025.
Pertama, kesempatan untuk memanfaatkan investasi bersih dan transfer teknologi secara optimal dalam industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Menurut Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, Indonesia dapat menjadi pasar yang menarik dengan melakukan trade-off yang menguntungkan, yaitu mengadopsi teknologi EV yang lebih terjangkau untuk mempercepat pengurangan emisi sektor transportasi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar listrik.
Yayan mengakui bahwa permintaan global untuk EV dan pangsa pasar di Asia Tenggara masih relatif kecil dibandingkan dengan negara-negara seperti China, Eropa, Amerika Serikat (AS), Jepang, Kanada, dan Korea Selatan. Meskipun demikian, Indonesia memiliki potensi untuk secara bertahap menjadi pusat regional dengan meningkatkan pangsa pasar kendaraan listrik di dalam negeri, yang tentunya membutuhkan dukungan kebijakan industri domestik yang mendorong.
Peningkatan pangsa pasar global di sektor kendaraan listrik (EV) dengan meningkatkan pangsa di Indonesia diharapkan dapat membantu mengatasi kapasitas industri global yang berlebih dalam jangka menengah," kata Yayan, seperti dikutip dari Bloomberg Technoz, Jumat, 14 Juni 2024.
Ditambahkan pula, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melebihi 5 persen dan permintaan yang tinggi di sektor otomotif, produsen baterai global diperkirakan akan tetap tertarik untuk secara perlahan mengalihkan penjualan dari China atau Eropa dengan menawarkan kompensasi industri dalam negeri.
Yayan juga menyoroti aspek kedua, yaitu pentingnya memastikan bahwa komponen-komponen yang dijual di Indonesia memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) agar Indonesia dapat menggunakan litium-ion. "Ini membuka peluang untuk transfer teknologi, riset, dan pengembangan industri baterai litium-ion dari luar negeri ke dalam negeri, menciptakan solusi yang menguntungkan baik bagi pasar maupun teknologi," katanya.
Menurut Yayan, hal ini penting karena Indonesia saat ini masih memiliki keterbatasan dalam riset dan pengembangan EV. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengembangkan proyek EV yang melibatkan baterai dan suku cadang untuk mencapai keuntungan ganda serta mendorong pengembangan industri EV di masa depan.
"Walaupun pangsa pasar Indonesia cukup besar, namun pengembangan teknologi EV masih terbatas hingga saat ini," tambahnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.