KABARBURSA.COM - PT Tera Data Indonusa Tbk (AXIO) memiliki strategi dalam menjaga kinerja di tengah menurunnya daya beli masyarakat.
Direktur Utama AXIO, Michael Sugiarto, pihaknya menghadirkan produk-produk inovatif dan terbaru dengan harga yang tetap terjangkau. Menurutnya, tantangannya saat ini adalah bagaimana memperluas pasar laptop di Indonesia.
"Di sini, penggunaan smartphone jauh lebih dominan dibandingkan laptop. Memang, secara global, jumlah pengguna smartphone selalu lebih banyak, tetapi di Indonesia, kesenjangannya sangat besar," ujar dia dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia dikutip, Sabtu, 7 September 2024.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Sugiarto menyatakan AXIO telah menyiapkan beberapa program bersama Intel, Microsoft, dan mitra global lainnya untuk mengedukasi pasar.
Dia mengatakan emiten yang bergerak di sektor perdagangan hingga perlengkapan komputer ini ingin menunjukkan kelebihan laptop atau komputer yang tidak bisa didapatkan dari smartphone. Misalnya, seperti kemampuan multitasking yang lebih baik.
"Dengan laptop, kita bisa melakukan banyak tugas sekaligus. Selain itu, untuk pekerjaan berat, seperti editing video terutama bagi content creator laptop atau komputer jauh lebih mumpuni dibandingkan smartphone," ungkapnya.
Di sisi lain, Sugiarto juga membeberkan strategi perseroan dalam menghadapi persaingan kompetitor. Dia bilang, sejak AXIO menjadi perusahaan terbuka (Tbk,) strategi yang diterapkan oleh Axioo melibatkan beberapa aspek penting.
"Kami selalu berusaha melakukan "do the homework (PR)" dengan konsisten. Kami percaya bahwa kunci sukses terletak pada melakukan riset yang menyeluruh," beber dia.
Kunci utama dari strategi AXIO adalah, kata Sugiarto, menjadi merek lokal yang relevan dan mampu bersaing dengan merek global. Selain itu, AXIO juga percaya ada banyak langkah yang bisa diambil untuk mencapai tujuan ini.
"Salah satu yang paling penting adalah mendengarkan konsumen. Kami sangat menghargai setiap masukan yang kami terima, baik melalui komentar dan masukan dari YouTube atau platform social media lainnya" pungkasnya.masyarakat
Kenaikan Tarif PPN Lemahkan Daya Beli Masyarakat
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) disorot publik. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai dampaknya akan menurunkan daya saing industri dan melemahkan daya beli masyarakat.
Menurut INDEF, kenaikan taruf PPN akan menyebabkan biaya produksi industri meningkat, sehingga berpotensi menggerus daya saing industri nasional di pasar global.
Mereka menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan penerapan skema multi tarif yang lebih adaptif terhadap berbagai sektor industri.
“Perlu dipertimbangkan skema multi tarif,” kata INDEF dalam siaran persnya secara tertulis, Selasa, 20 Agustus 2024.
Selain itu, INDEF juga memperingatkan bahwa kenaikan PPN akan memicu penurunan daya beli masyarakat, terutama di tengah tingginya inflasi pangan.
Daya beli yang melemah ini dikhawatirkan akan berdampak negatif pada penjualan dan utilisasi industri, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Bahkan, kata INDEF , dampak kenaikan PPN akan membuat biaya produksi akan meningkat di saat permintaan sedang melambat. Sehingga, kondisi ini memaksa industri untuk melakukan penyesuaian terhadap input produksi, termasuk dalam hal penggunaan tenaga kerja.
Penyesuaian tersebut berpotensi mengurangi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) karena penurunan jumlah pekerja.
Namun, di sisi lain, pemerintah tampaknya berharap kenaikan PPN ini akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat. INDEF mengingatkan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan baik-baik cost and benefit dari kebijakan ini, terutama dalam konteks perekonomian jangka pendek dan jangka panjang.
“Ketika kenaikan PPN, pemerintah berharap akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat, namun perlu dikalkulasi cost and benefit-nya terhadap perekonomian dalam jangka pendek dan jangka panjang,” terangnya.
Rupiah dan Daya Beli yang Anjlok
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan pelemahan signifikan setelah data terbaru mengungkapkan deflasi pada indeks harga konsumen (IHK) serta kontraksi berlanjut pada PMI Manufaktur.
Data terbaru dari S&P Global menunjukkan bahwa PMI Manufaktur Indonesia terkontraksi ke angka 48,9 pada Agustus 2024, memperpanjang penurunan yang dimulai pada Juli dengan angka 49,3. PMI telah mengalami penurunan konsisten selama lima bulan terakhir, merosot dari 54,2 pada Maret 2024.
Penurunan PMI ini menambah kekhawatiran karena sektor manufaktur berperan penting dalam ekonomi dan penyediaan lapangan kerja. Kontraksi sektor ini juga dapat memberikan dampak negatif pada penilaian kinerja Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya pada Oktober mendatang.
Menurut S&P Global, penurunan lebih lanjut dalam aktivitas manufaktur disebabkan oleh menurunnya output dan pesanan baru, dengan tingkat penurunan yang semakin tajam. Selain itu, perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia juga melanjutkan pengurangan jumlah tenaga kerja, meski hanya dalam skala kecil.
Selain itu, IHK Indonesia mencatat deflasi 0,03 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Agustus 2024, menjadi deflasi keempat yang terjadi tahun ini.
Rupiah juga tertekan oleh penguatan indeks dolar AS, dengan DXY tercatat menguat ke 101,698 pada perdagangan kemarin level tertinggi sejak 19 Agustus 2024. Penguatan dolar AS menunjukkan tingginya permintaan terhadap mata uang Greenback, yang menyebabkan tekanan pada mata uang lainnya.
Dari segi teknikal, meskipun terjadi pelemahan dalam tren pergerakan mata uang RI, tren saat ini masih sideways atau terkonsolidasi.
Harga bergerak dalam rentang support di Rp15.470/USD hingga resistance di Rp15.550/USD. Support tersebut didasarkan pada garis rata-rata 50 jam (MA50), yang berpotensi diuji dalam waktu dekat.
Sedangkan resistance ditarik dari garis rata-rata 200 jam (MA200), yang harus diperhatikan sebagai indikator potensi pembalikan arah jika terjadi pelemahan lebih lanjut. (*)