Logo
>

Strategi ESDM Hadapi Trump: Beli Minyak & LPG dari AS

Realisasi lifting minyak mentah nasional ditargetkan hanya sebesar 605.000 barel per hari pada tahun ini.

Ditulis oleh Dian Finka
Strategi ESDM Hadapi Trump: Beli Minyak & LPG dari AS
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia. Foto: dok ESDM

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berencana meningkatkan porsi impor minyak mentah dan LPG dari Amerika Serikat, sebagai bagian dari strategi menjaga keseimbangan neraca perdagangan nasional. 

    “Ini merupakan arahan langsung dari Bapak Presiden. Kita diminta mengkaji agar sebagian impor minyak bisa diarahkan ke Amerika, sebagai langkah memperbaiki neraca perdagangan,” ujar Bahlil, kepada media di Jakarta, Kamis, 17 April 2025.

    Saat ini, konsumsi minyak nasional mencapai sekitar 1,5 juta hingga 1,6 juta barel per hari, sementara realisasi lifting minyak mentah nasional ditargetkan hanya sebesar 605.000 barel per hari pada tahun ini. Dengan demikian, kebutuhan selebihnya harus dipenuhi melalui impor.

    “Target lifting tahun ini kita tetapkan 605 ribu barel per hari. Artinya, selisihnya masih cukup besar, dan kita tetap harus mengimpor untuk menutup kekurangan,” jelas Bahlil.

    Lebih lanjut, Bahlil menegaskan bahwa pengalihan sebagian impor dari negara lain ke Amerika tidak akan berdampak langsung terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).  

    “Kalau porsinya dari negara lain dikurangi, tentu iya. Tapi ini tidak mempengaruhi APBN,” tegasnya.

    Langkah ini juga dilihat sebagai respons terhadap dinamika perdagangan global dan upaya Indonesia mengantisipasi kebijakan tarif perdagangan dari negara mitra seperti Amerika Serikat. Pemerintah berharap strategi ini dapat memberi efek positif terhadap neraca perdagangan sekaligus tetap menjamin pasokan energi nasional.

    Sektor ESDM Bisa Jadi Penyeimbang

    Bahlil menyebut bahwa berdasarkan data BPS yang sudah dikonfirmasi ke Kementerian Perdagangan, neraca dagang Indonesia terhadap Amerika masih defisit sekitar USD14,6 miliar pada tahun 2024.

    Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi penyeimbang untuk memperkecil defisit tersebut. Salah satunya melalui sektor ESDM.

    “Kami sudah lapor ke Presiden. Kita bisa geser dari sektor ESDM untuk menambah devisa 10 sampai 14 miliar USD, salah satunya dari pembelian LPG dan cloth dari Amerika,” aku Bahlil.

    Lebih lanjut, strategi ini bisa dilakukan tanpa harus mengubah regulasi fundamental yang sudah baik, termasuk kebijakan hilirisasi dan industrialisasi.

    Menteri ESDM ini juga merespons wacana menjadikan mineral kritis Indonesia sebagai alat tawar dalam kerja sama dagang dengan Amerika. Menurutnya, ini bukan ancaman, tapi peluang.

    “Kita harus membuka diri. Critical mineral bukan alat tekanan, tapi bisa jadi bagian dari kerja sama bilateral kita. Kita senang kalau bisa membawa mineral itu ke meja dialog internasional,” jelasnya.

    Hilirisasi Tetap Kunci Pertumbuhan Ekonomi

    Lebih jauh, Bahlil menegaskan bahwa untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, bahkan hingga 8 persen, Indonesia butuh strategi besar yang komprehensif. Salah satunya adalah hilirisasi.

    “Hilirisasi itu jadi program utama Presiden, dan ini bukan cuma soal nilai tambah ekonomi, tapi juga bagian dari strategi besar memperkuat daya saing bangsa di tengah dinamika global,” tegas Bahlil.

    Dengan pendekatan yang lebih tenang dan terstruktur, Bahlil berharap pelaku usaha dan masyarakat tidak panik menghadapi gejolak geopolitik dan tekanan dagang eksternal.

    “Yang penting, kita tahu arah kita ke mana, dan kita jalankan strategi kita dengan konsisten,” pungkasnya.

    Harga Minyak Dunia

    Harga minyak dunia nyaris tak bergerak pada perdagangan Rabu, 15 April 2025, dini hari WIB. Pelaku pasar masih mencerna sinyal tarik-ulur dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump soal tarif dagang, sembari mencoba memperkirakan seberapa besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi global dan permintaan energi.

    Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, kontrak berjangka Brent turun tipis 21 sen atau 0,3 persen dan ditutup di level USD64,67 per barel (setara Rp1.064.055 dengan kurs Rp16.460), sementara West Texas Intermediate (WTI) juga terkoreksi 20 sen atau 0,3 persen menjadi USD61,33 per barel (Rp1.009.692).

    Arah kebijakan dagang AS yang tak menentu membuat pasar energi global serba tak pasti. Bahkan, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memutuskan memangkas proyeksi permintaan pada hari Senin. Tak lama berselang, Selasa pagi, giliran Badan Energi Internasional (IEA) yang memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak global tahun ini bakal jadi yang paling lambat dalam lima tahun terakhir—dipicu kekhawatiran dampak ekonomi dari perang dagang AS-China.

    Bank-bank besar pun mulai menyesuaikan proyeksi. UBS, BNP Paribas, dan HSBC serempak memangkas prediksi harga minyak global untuk tahun ini. Analis UBS, Giovanni Staunovo, menyebutkan bahwa jika perang dagang makin memanas dan memicu resesi parah di AS serta perlambatan tajam di China, maka harga Brent bisa terjerumus di kisaran USD40 hingga USD60 per barel dalam beberapa bulan mendatang.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.