KABARBURSA.COM – Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai regulasi terkait pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk kendaraan di atas 1.400 cc bakal menurunkan penjualan kendaraan low cost.
“Masyarakat mungkin akan lebih memilih kendaraan yang lebih hemat BBM dan dapat menyebabkan penurunan penjualan mobil dengan kapasitas mesin di atas 1.400 cc,” kata Yannes ketika dihubungi Kabar Bursa, Rabu, 11 September 2024.
Menurutnya, mempertahankan atau membatasi subsidi sama-sama punya tantangan tersendiri. Pemerintah dihadapkan kepada dua pilihan, yakni berhemat dan di sisi lain antisipasi ancaman inflasi.
Karena, pembatasan subsidi dinilai bakal menggerus daya beli masyarakat kelas menengah sehingga disarankan agar implementasinya ditunda hingga awal tahun 2025. Alasan penundaan dilakukan adalah agar tidak semakin memperparah kondisi ekonomi yang sedang tertekan.
Pertimbangan terkait dengan pembatasan subsidi BBM juga datang dari penurunan jumlah kelas menengah akibat anjloknya jumlah pekerja formal dan peningkatan jumlah pekerja informal.
“Ini jelas merupakan keputusan sulit bagi pemerintah. Di satu sisi penghapusan subsidi BBM dapat mengurangi beban anggaran negara, memungkinkan alokasi dana untuk sektor-sektor yang lebih produksif dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Di sisi lain dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang belum tentu mendapatkan bantuan yang memadai,” terangnya.
Lebih jauh, pembatasan subsidi BBM yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan protes dan gejolak sosial, terutama yang tidak puas dengan kebijakan pengalihan subsidi atau penyaluran bantuan.
“Jadi, keputusan untuk menarik subsidi BBM saat ini adalah keputusan yang kompleks dan pemerintah perlu mempertimbangkan dengan cermat dampak ekonomi dan sosial yang mungkin timbul di tengah beratnya tantangan keuangan negara,” ujarnya.
Berbasis Kapasitas Mesin atau Harga?
Yannes menilai, ada banyak faktor yang membuat pemerintah ingin membatasi subsidi BBM berdasarkan kapasitas mesin adalah karena sudah banyak mobil mewah dengan kapasitas mesin yang lebih kecil.
“Analisis awal saya, banyak mobil mewah bermesin turbo yang menggunakan mesin 1500 cc, contohnya BMW X1 sDrive18i, Mercedes-Benz GLA 200, Wuling Almaz RS, Cortez CT, Honda Civic Turbo, HR-V RS Turbo, CRV turbo dan lain sebagainya,” jelasnya.
Dasar pembatasan subsidi berdasarkan kapasitas mesin harus tepat agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Menurutnya, memberikan subsidi berdasarkan kapasitas mesin lebih tepat jika dilakukan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar dan emisi.
Kapasitas mesin, kata dia, umumnya berkorelasi dengan efisiensi energi dan dampak lingkungan. Semakin besar kapasitas mesin semakin tinggi emisi gas buang yang dikeluarkan, sedangkan semakin kecil kapasitas mesin, semakin sedikit. Hal ini yang membuat mobil murah dengan kapasitas mesin yang terkecil disebut dengan low cost green car (LCGC).
Oleh karena itu, pengguna mesin berkapasitas besar yang tidak ikut menjaga kebersihan lingkungan tidak layak menerima subsidi di mana seharusnya mendorong efisiensi energi dan pengurangan emisi.
“Sebaliknya, kebijakan berbasis harga mungkin lebih fokus pada aspek ekonomi, seperti aksesibilitas masyarakat terhadap kendaraan yang lebih murah, terlepas dari efisiensinya,” jelasnya.
Sementara pembatasan subsidi BBM berbasis harga, kata dia, dapat mendorong masyarakat membeli kendaraan yang harganya lebih terjangkau. Kendati demikian, jika memilih basis penentuan pembatasan subsidi berdasarkan harga tidak selalu berkaitan langsung dengan tujuan pengurangan emisi atau efisiensi energi.
“Jadi, secara ilmiah, subsidi berdasarkan kapasitas mesin lebih mendukung tujuan keberlanjutan, karena memprioritaskan kendaraan dengan efisiensi bahan bakar yang lebih baik dan dampak lingkungan yang lebih rendah. Ini juga sejalan dengan kebijakan pengurangan emisi karbon dan transisi energi,” paparnya.
DPR Soroti Pembatasan Subsidi BBM
Sebelumnya, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti wacana pembatasan subsidi BBM. Kebijakan pembatasan dinilai bakal meningkatkan risiko inflasi dan pengurangan jumlah kelas menengah. Subsidi BBM dan mempertahankan tarif angkutan umum yang murah dinilai dapat membantu menurunkan beban kelas menengah yang telah terancam miskin.
Penurunan kelas menengah ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam lima tahun terakhir. Disebutkan, jumlah kelas menengah di Indonesia telah mengalami penurunan tajam.
Pada tahun 2019, jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang atau 21,45 persen dari total penduduk. Namun, angka ini terus menurun hingga hanya tersisa 47,85 juta orang atau 17,13 persen pada tahun 2024.
“Saat ini, kelas menengah di Indonesia sudah terbebani berbagai jenis pungutan pajak, yang jika dijumlahkan bisa mendekati 20 persen dari pendapatan mereka,” ujar Amin Ak, Anggota Komisi VI DPR RI.
Penurunan jumlah kelas menengah dapat memperlebar kesenjangan antara kaya dan miskin. Ketimpangan ini berpotensi menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik yang pada akhirnya bisa memengaruhi iklim investasi serta pertumbuhan ekonomi nasional.(*)