KABARBURSA.COM - Gelombang antusiasme terhadap pasar properti Inggris kembali bersemi setelah keputusan Bank of England (BoE) memangkas suku bunganya pada 2 Agustus lalu. Agen properti kini mencatatkan lonjakan permintaan yang terasa signifikan.
Mengutip laporan situs properti Rightmove yang menjadi wadah bagi lebih dari sembilan dari sepuluh agen properti di Inggris melaporkan bahwa permintaan pembeli pada bulan Agustus naik 19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Peningkatan ini jauh melampaui bulan Juli, di mana kenaikan permintaan hanya mencapai 11 persen secara tahunan.
“Walau suku bunga hipotek belum mengalami penurunan drastis sejak pemotongan suku bunga diumumkan, kenyataan bahwa langkah tersebut akhirnya dilakukan membawa angin segar bagi sentimen mereka yang ingin pindah rumah,” jelas Tim Bannister, Direktur Rightmove, menekankan bahwa arah suku bunga hipotek yang bergerak turun adalah sinyal positif bagi para calon pembeli.
Gubernur Bank of England, Andrew Bailey, turut menambahkan bahwa penurunan suku bunga hipotek memang sudah dimulai sebagai respons terhadap pemotongan suku bunga, meskipun ia mengingatkan bahwa bank sentral tetap berhati-hati untuk tidak memangkas suku bunga terlalu cepat.
Pada hari Jumat, pasar keuangan memproyeksikan setidaknya satu atau dua kali lagi pemotongan suku bunga sebesar seperempat poin akan dilakukan tahun ini.
Saat ini, tingkat rata-rata suku bunga hipotek dengan bunga tetap lima tahun berada di angka 4,80 persen, turun dari 5,82 persen pada tahun lalu saat BoE menaikkan suku bunga ke puncaknya di 5,25 persen.
Namun, harga rata-rata properti baru yang diiklankan di Rightmove antara 7 Juli hingga 10 Agustus tercatat 1,5 persen lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya, berada di angka EUR367,785 (USD 474,663). Ini merupakan pola yang umum terjadi pada bulan Agustus, di mana biasanya aktivitas pasar sedikit menurun.
Kenaikan harga properti ini mencapai 0,8 persen lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, sedikit lebih baik dibandingkan kenaikan tahunan sebesar 0,4 persen pada bulan Juli.
Data resmi untuk penjualan properti yang selesai pada bulan Juni menunjukkan kenaikan harga sebesar 2,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang menjadi kenaikan terbesar sejak Maret 2023.
Terseret Resesi
Inggris tengah berada di persimpangan jalan yang penuh tantangan di satu sisi menghadapi ancaman resesi, di sisi lain dilingkupi ketidakpastian ekonomi yang menjulang di tahun mendatang.
Gelombang mogok kerja yang dilancarkan petugas transportasi dan kesehatan menjadi simbol ketidakpuasan sosial terhadap kondisi ekonomi negara ini.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan nyaris di angka nol dan inflasi yang membumbung lebih dari 10 persen, proyeksi tahun ini tidak membawa secercah harapan.
Berbagai organisasi, seperti Lembaga Pertanggungjawaban Anggaran Inggris dan Dana Moneter Internasional (IMF), memprediksi ekonomi Inggris akan terkontraksi di tahun 2023.
Jika ramalan ini terbukti benar, Inggris berpotensi menjadi satu-satunya ekonomi besar yang terseret dalam resesi.
Tak seperti Rusia yang mampu menghindari jurang resesi meskipun diterpa badai sanksi ekonomi akibat perang Ukraina, ekonomi Inggris justru terus tergerus oleh empat faktor besar yang menghantam finansial masyarakatnya.
Rakyat Inggris kini harus berjibaku mendapatkan kebutuhan pokoknya. Penjatahan telur telah menjadi hal biasa, dan banyak keluarga kesulitan menemukan tomat, selada, serta sayuran segar lainnya.
Negara dengan ekonomi terbesar keenam di dunia ini seolah tak mampu menyediakan salad bagi warganya, tulis Financial Times. Konsumen pun terpaksa berpindah dari satu supermarket ke supermarket lain demi mengisi keranjang belanja mereka.
Kekurangan selada, tomat, paprika, mentimun, brokoli, kembang kol, hingga raspberry membuat berbagai supermarket di Inggris terpaksa menjatah penjualan produk-produk tersebut. Sebuah kombinasi kompleks faktor-faktor eksternal menjadi penyebab kekacauan ini.
Harga pupuk yang melambung, produksi yang menurun di Spanyol dan Maroko, ditambah kendala transportasi serta minimnya pekerja musiman, membuat rantai pasokan tercekik.
Sistem visa pekerja sementara yang memungkinkan pekerja tinggal di Inggris hanya enam bulan turut memperburuk keadaan. Sebelum Brexit, para pekerja bisa datang dan pergi dengan bebas dari negara-negara Uni Eropa, namun kini pekerja musiman harus didatangkan dari tempat sejauh Nepal.
Memiliki rumah di Inggris telah menjadi mimpi yang hampir mustahil bagi banyak orang. Schroders menyatakan perumahan kini lebih tidak terjangkau dibandingkan 147 tahun terakhir.
Ketika bank-bank sentral di seluruh dunia menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, Bank Sentral Inggris justru lebih agresif, menaikkan suku bunga hingga 10 kali berturut-turut, mencapai puncaknya pada Februari lalu dengan kenaikan sebesar 0,5 persen hingga 4 persen.
Lonjakan suku bunga ini tidak hanya menggelembungkan harga rumah, tetapi juga membuat biaya sewa melambung tinggi. Ketika masyarakat tak lagi mampu membeli rumah, pilihan satu-satunya adalah menyewa, yang semakin memperparah kenaikan harga sewa.
Meski sejauh ini Inggris berhasil menghindari resesi teknis, prospek pertumbuhannya tetap suram dibandingkan negara-negara besar lainnya. IMF memperkirakan ekonomi Inggris akan menyusut sebesar 0,6 persen pada 2023, menjadikannya satu-satunya negara besar yang mengalami kontraksi ekonomi.
Rusia, yang dirundung sanksi internasional, justru memiliki proyeksi ekonomi yang lebih baik. Mayoritas analis sepakat bahwa Inggris hampir pasti akan jatuh ke dalam resesi, meski mereka berbeda pendapat soal seberapa dalam dan lama durasinya.
Inflasi yang terus bertengger di atas 10 persen menjadikan Inggris salah satu negara dengan inflasi tertinggi di dunia. Di sektor bahan pokok, inflasi mencapai angka menakjubkan 17,1 persen hingga pertengahan Februari, angka tertinggi dalam sejarah.
Menurut analis Kantar, rumah tangga Inggris kini menghabiskan rata-rata USD1.000 lebih banyak per tahun untuk belanja di supermarket, jika mereka tidak menyesuaikan pola belanja.
Namun, Luke Bartholomew dari Abrdn meyakini bahwa melihat kenaikan harga pangan secara terisolasi memberi gambaran yang keliru. Ia memprediksi inflasi akan merosot cepat, meski resesi mungkin diperlukan sebelum inflasi kembali stabil.
Seiring harga yang terus merangkak naik, tuntutan kenaikan upah menjadi tak terhindarkan. Perusahaan akan merespons dengan menaikkan harga lagi, menciptakan spiral inflasi yang tak kunjung berakhir.
Menurut Silvia Dall'Angelo dari Federated Hermes, Bank of England masih jauh dari menyelesaikan perjuangannya melawan inflasi, dan risiko penyebaran inflasi masih sangat nyata. (*)