KABARBURSA.COM – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa surplus perdagangan yang berkelanjutan ini memiliki dua sisi.
Di satu sisi, ini menunjukkan ketahanan sektor ekspor Indonesia di tengah gejolak ekonomi global. Namun, di sisi lain, perlu melihat bagaimana surplus ini berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Jika ekspor tumbuh tetapi daya beli stagnan dan PHK terus meningkat, maka ada yang perlu dikaji ulang dalam strategi ekonomi Indonesia.
"Seberapa besar kontribusi ekspor ini terhadap perekonomian domestik, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak daya beli," kata Achmad dalam keterangannya pada Kamis, 20 Maret 2025.
Achmad mengatakan surplus perdagangan Indonesia selama lima tahun terakhir ditopang oleh ekspor non migas. Pada Februari 2025, ekspor non migas mencapai USD21,98 miliar, meningkat 2,58 persen dibandingkan Januari 2025. Komoditas utama seperti logam mulia, batu bara, bijih besi, dan produk pertanian mendominasi ekspor, dengan negara tujuan utama meliputi Amerika Serikat, India, Filipina, dan Vietnam.
Diversifikasi pasar juga terlihat dengan lonjakan ekspor ke Pakistan 69,09 persen, Spanyol 67,98 persen dan Kanada 48,78 persen. Kenaikan ini didukung oleh permintaan global yang stabil, terutama terkait transisi energi di Eropa dan Amerika yang meningkatkan kebutuhan terhadap bijih nikel dan logam mulia.
Namun, Achmad menyoroti bahwa ekspor yang didominasi oleh komoditas mentah atau setengah jadi kurang memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Menurut dia selama Indonesia masih bergantung pada ekspor bahan mentah, maka tidak bisa berharap banyak pada penciptaan lapangan kerja yang signifikan. Hilirisasi harus menjadi prioritas agar bisa menghasilkan produk bernilai tinggi dan memperluas kesempatan kerja.
Faktor lain yang menopang surplus perdagangan adalah pola impor yang lebih selektif. Pada Februari 2025, impor naik 5,18 persen secara bulanan, tetapi didominasi oleh bahan baku 73,90 persen dan barang modal 18,31 persen. Sebaliknya, impor barang konsumsi turun 10,61 persen, mencerminkan daya beli masyarakat yang masih lemah.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun dari 127,2 ke 126,4, menandakan kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi ekonomi ke depan. Menurut Achmad, tren ini berisiko memperburuk ketimpangan. “Jika impor barang konsumsi menurun karena daya beli yang melemah, ini artinya sektor domestik, terutama UMKM dan ritel, sedang tertekan. Ini bisa memicu spiral negatif berupa penurunan permintaan, penurunan produksi, hingga meningkatnya PHK,” katanya.
Menurut dia meski sektor manufaktur menunjukkan pertumbuhan dengan Indeks Manajer Pembelian (PMI) mencapai 53,6 pada Februari 2025, penyerapan tenaga kerja tetap menjadi tantangan. Banyak industri yang beralih ke otomatisasi sehingga ekspansi produksi tidak sejalan dengan peningkatan jumlah pekerja. Akibatnya, sektor padat karya seperti tekstil, ritel, dan jasa justru mengalami lonjakan PHK.
Achmad menyebut bahwa kebijakan ekonomi saat ini masih belum cukup inklusif. “Kita harus mulai memikirkan bagaimana mengarahkan surplus perdagangan ini ke dalam investasi yang menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Jika tidak, pertumbuhan ekspor hanya akan dinikmati oleh segelintir sektor tanpa memberikan dampak nyata bagi mayoritas masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, meski pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga surplus perdagangan, termasuk diversifikasi pasar ekspor dan insentif bagi industri nonmigas. Namun, menurut Achmad, kebijakan tersebut perlu lebih fokus pada penguatan daya beli domestik dan industri padat karya.
Stimulus fiskal harus diarahkan pada sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti UMKM dan industri manufaktur berbasis teknologi menengah, agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh sektor ekspor saja.
Ke depan, keseimbangan antara ekspor yang kuat dan perekonomian domestik yang sehat menjadi kunci. Menurut dia surplus neraca dagang bukan tujuan akhir. Yang lebih penting adalah bagaimana angka-angka ini diterjemahkan menjadi kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Indonesia mencatat surplus neraca dagang selama 58 bulan berturut-turut hingga Februari 2025. Terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan surplus mencapai USD 3,12 miliar pada bulan tersebut. Namun, di balik capaian ini, muncul pertanyaan besar mengenai dampaknya terhadap perekonomian domestik, terutama terkait penciptaan lapangan kerja dan daya beli masyarakat.
Tren Positif Dari Surplus
Diberitakan KabarBursa.com sebelumnya, surplus Indonesia dalam neraca perdagangan pada Desember 2024 sebesar USD2,24 miliar, melanjutkan tren positif dari surplus bulan sebelumnya yang mencapai USD4,37 miliar.
Dengan capaian tersebut, total surplus neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun 2024 mencapai USD31,04 miliar. Meski lebih rendah dibandingkan surplus pada 2023 yang mencapai USD36,89 miliar, kinerja ini tetap menunjukkan ketahanan sektor eksternal Indonesia di tengah dinamika perekonomian global.
Bank Indonesia menilai surplus neraca perdagangan yang berkelanjutan ini menjadi faktor penting dalam memperkuat ketahanan eksternal perekonomian nasional.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso, menegaskan bahwa ke depan Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga ketahanan ekonomi dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Surplus ini menjadi fondasi kuat bagi perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian global. Sinergi kebijakan yang berkelanjutan akan terus diperkuat untuk menjaga stabilitas ekonomi,” jelas Denny dalam keterangan persnya, Kamis, 16 Januari 2025.
Denny melanjutkan, surplus neraca perdagangan Indonesia didominasi oleh kinerja neraca perdagangan nonmigas yang tetap solid. Pada Desember 2024, neraca perdagangan nonmigas mencatat surplus sebesar USD4,0 miliar, ditopang oleh ekspor nonmigas yang kuat dengan nilai mencapai USD21,92 miliar.
Menurutnya, kinerja ekspor nonmigas ini didorong oleh penguatan ekspor komoditas berbasis sumber daya alam seperti logam mulia, perhiasan/permata, dan bahan bakar mineral, serta ekspor produk manufaktur seperti produk kimia dan kendaraan beserta bagiannya.
Dari sisi negara tujuan, ekspor nonmigas Indonesia ke Tiongkok, Amerika Serikat, dan India terus menjadi kontributor utama dalam menopang kinerja ekspor nasional.
Di sisi lain, neraca perdagangan migas pada Desember 2024 mencatat defisit yang meningkat menjadi USD1,76 miliar. Peningkatan defisit ini disebabkan oleh kenaikan impor migas yang lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan ekspor migas. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri yang perlu diantisipasi guna menjaga keseimbangan neraca perdagangan secara keseluruhan.
“Adapun defisit neraca perdagangan migas tercatat meningkat menjadi sebesar USD1,76 miliar pada Desember 2024 sejalan dengan peningkatan impor migas yang lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan ekspor migas,” jelasnya.
Sementara Menteri Perdagangan Budi Santoso, mencatatkan neraca perdagangan Indonesia pada November 2024 senilai USD4,42 miliar.
Menurut Budi, surplus pada November 2024 menjadi surplus bulanan untuk ke-55 kali berturut-turut. Nilainya juga lebih tinggi dari surplus November 2023 yang tercatat sebesar USD2,41 miliar.
“Surplus di November 2024 mencapai USD4,42 miliar dan merupakan surplus bulanan ke-55 kalinya. Surplus ini terdiri atas surplus nonmigas sebesar USD5,67 miliar dan defisit migas sebesar USD1,25 miliar,” ujar Budi seperti diberitakan sebelumnya oleh kabarbursa.com, Kamis 16 Januari 2025.
Adapun Amerika Serikat (AS), India, dan Filipina menjadi penyumbang surplus perdagangan nonmigas terbesar pada November 2024. Secara berurutan, masing-masing menyumbang surplus senilai USD1,58 miliar, USD1,12 miliar, dan USD0,77 miliar.
Kemudian, secara kumulatif, untuk periode Januari-November 2024, surplus neraca perdagangan mencapai USD28,86 miliar. Surplus tersebut dihasilkan dari surplus nonmigas sebesar USD47,50 miliar dan defisit migas sebesar USD18,64 miliar.
Capaian Kinerja Ekspor Nonmigas Meningkat
Ekspor Indonesia periode Januari–November 2024 tercatat USD241,25 miliar, naik 2,06 persen dibandingkan tahun lalu. Ekspor nonmigas mencapai USD226,91 miliar, meningkat 2,24 persen (CtC) dari 2023. Kementerian Perdagangan optimis target pertumbuhan ekspor nonmigas 2024 tercapai.
“Beberapa produk ekspor nonmigas pada Januari–November 2024 yang melonjak adalah barang dari besi dan baja (HS 73) yang naik menjadi USD1,74 miliar dibanding Januari–November 2023, logam mulia dan perhiasan/permata (HS 71) naik USD1,56 miliar, kakao dan olahannya (HS 18) naik USD1,21 miliar, serta tembaga dan barang daripadanya (HS 74) naik USD1,17 miliar,” kata Budi.
Dia menyampaikan, beberapa negara tujuan ekspor nonmigas dengan peningkatan signifikan secara kumulatif pada Januari–November 2024, antara lain, Australia yang naik 65,09 persen, diikuti Rusia 39,38 persen, Brasil 33,84 persen, Turki 30,02 persen, dan Arab Saudi 25,98 persen (CtC).
Sementara itu, untuk periode November 2024, total ekspornya senilai USD24,01 miliar atau turun 1,70 persen dibanding Oktober 2024 (MoM). Penurunan ini terjadi akibat turunnya ekspor nonmigas sebesar 1,67 persen dan migas sebesar 2,10 persen (MoM). Namun demikian, ekspor November tahun ini meningkat 9,14 persen dibanding November tahun lalu (YoY).
Penurunan kinerja ekspor nonmigas pada November 2024 disebabkan oleh turunnya ekspor barang tembaga dan barang daripadanya (HS 74) sebesar 26,66 persen; kopi, teh, dan rempah-rempah (HS 09) 21,34 persen; bijih logam, terak, dan abu (HS 26) 21,33 persen; kakao dan olahannya (HS 18) 15,42 persen; serta pulp dari kayu (HS 47) 14,34 persen (MoM).
Meski ekspor nonmigas turun, beberapa produk utama justru mengalami peningkatan. Produk-produk tersebut antara lain nikel dan barang turunan (naik 87,26 persen), aluminium (49,70 persen), mesin dan peralatan mekanis (15,97 persen), produk kimia (8,55 persen), serta besi dan baja (6,91 persen) (MoM).
Budi menyebutkan, pada November 2024, Tiongkok, AS, dan India menjadi pasar utama ekspor nonmigas Indonesia, dengan total ekspor mencapai USD10,16 miliar, menyumbang 44,82 persen dari total ekspor nasional. Beberapa negara tujuan ekspor menunjukkan peningkatan signifikan, seperti Qatar yang melonjak 1.061,73 persen, Spanyol 127,36 persen, Pakistan 56,37 persen, Meksiko 29,69 persen, dan Bangladesh 20,64 persen (MoM).
Ditinjau dari kawasannya, tujuan ekspor nonmigas dengan peningkatan, antara lain, Eropa Selatan yang naik 22,95 persen, Amerika Tengah 20,13 persen, Asia Barat 16,79 persen, Afrika Timur 13,79 persen, dan Afrika Barat 10,56 persen. Pertumbuhan ekspor nonmigas ke pasar nontradisional merefleksikan peluang peningkatan ekspor di tengah tantangan perekonomian dan perdagangan global pada 2024.
Sedangkan, tujuan ekspor nonmigas yang menurun di November 2024, di antaranya adalah Australia yang turun 37,92 persen, Eropa Barat 30,68 persen, Asia Tengah 21,46 persen, Afrika Tengah 18,51 persen, dan Karibia 12,84 persen. (*)