KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25 persendalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar pada 19-20 Juni 2024. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, khususnya konsumsi rumah tangga, di tengah kondisi global yang melandai.
“Dalam kondisi seperti ini, maka BI sulit menaikan tingkat suku bunga, karena kondisi domestik tidak bisa tumbuh,” kata Pengamat Ekonomi Tri Winarno kepada Kabarbursa, di Jakarta, Sabtu, 22 Juni 2024.
Lebih lanjut, Tri menilai bahwa keputusan BI untuk tidak menaikkan BI Rate sejalan dengan upaya bank sentral dalam mempertahankan nilai tukar yaitu dengan cara intervensi ke pasar dolar atau pasar valuta asing (valas) mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.
“Maka, satu-satunya cara BI untuk mempertahankan nilai tukar yaitu dengan cara intervensi ke pasar dolar atau pasar valuta asing (valas) dan dengan ditetapkannya suku bunga tetapi ini makanya dampaknya pun kesektor keuangan tidak ada kenaikan tingkat suku bunga tersebut,” jelasnya.
Kebijakan BI untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,25 persen ini diharapkan dapat memberikan stabilitas dan membangun kepercayaan di pasar keuangan serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Sementara dalam jangka menengah, BI perlu menggalakkan lagi kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) dan terus melakukan pendalaman pasar keuangan Indonesia.
Terakhir, untuk jangka panjang, diversifikasi ekspor perlu dilakukan agar tidak dominan pada komoditas yang harganya cenderung berfluktuasi.
Tujuan diversifikasi ekspor agar tidak terlalu bergantung pada pasar beberapa negara saja, serta agar kebutuhan input impor menurun.
Diketahui, Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Kamis 20 Juni 2024 dibuka melemah, menjelang keputusan rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI). Rupiah tercatat turun 18 poin atau 0,11 persen, menjadi Rp16.383 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp16.365 per dolar AS.
Meskipun demikian, Febrio menyatakan bahwa terdapat beberapa pertimbangan yang menjadi dasar dalam perencanaan asumsi nilai tukar tersebut. Ini termasuk konsensus pasar dan data terbaru yang menunjukkan kecenderungan penurunan suku bunga The Fed pada bulan September mendatang.
“Kami juga melihat adanya potensi penurunan suku bunga The Fed, paling tidak pada bulan September, sehingga kami melihat bahwa konsensus pasar dan data-data terbaru konsisten menuju arah tersebut,” terangnya.
Di sisi lain, dia mengatakan ada peluang terjadinya pemotongan suku bunga the fed itu juga di 2025. Hal tersebut pun sudah dia konsultasikan dan kolaborasi terus dengan Bank Indonesia. Mengingat BI merupakan lembaga yang memiliki untuk menjaga stabilitas rupiah.
“jadi ini terkait tentang apa yang menjadi strategi dari BI kita akan dukung,” tandas dia.
Sementara, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, membeberkan faktor eksternal dan internal yang membuat Dolar AS semakin perkasa terhadap Rupiah.
Menurut Huda, faktor eksternal dan internal berpengaruh signifikan terhadap nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.
“Dari eksternal, the Fed rate masih sangat perkasa dan rezim suku bunga tinggi masih belum berakhir. Permintaan dolar akhirnya meningkat, rupiah melemah,” ujar Huda kepada KabarBursa, Jumat, 24 Juni 2024.
Namun, diberitakan KabarBursa sebelumnya, pelemahan nilai tukar rupiah mencapai titik terlemah dalam empat tahun terakhir. Pada penutupan perdagangan Kamis, 20 Juni 2024 kemarin, rupiah mencapai level baru yaitu Rp16.430 per USD.
Pelemahan terjadi setelah Bank Indonesia (BI) melalui hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis, 20 Juni 2024, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate pada level 6,25 persen. Meski sesuai ekspektasi mayoritas ekonom, namun reaksi pasar menunjukkan kekecewaan terhadap pengumuman tersebut.
Investor asing juga menunjukkan kekecewaan yang sama, terlihat dari pergerakan rupiah di pasar offshore di mana kontrak forward NDF rupiah mencatatkan rekor terlemah baru di semua jangka waktu. NDF rupiah untuk jangka waktu 1 bulan bahkan ditutup pada Rp16.507 per USD semalam di pasar New York.
Menurut analis, pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo yang menyatakan potensi penguatan rupiah di masa mendatang menuju di bawah Rp16.000 per USD didukung oleh fundamental ekonomi Indonesia yang kuat, dianggap terlalu meremehkan risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang dapat mengancam nilai tukar rupiah ke depan.
“Sebagai akibatnya, rupiah spot terdepresiasi 0,4 persen dan di pasar forward melemah 0,6 persen menjadi Rp16.507 per USD. Investor asing menilai bahwa BI mengabaikan risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang berpotensi melemahkan rupiah,” ujar tim riset Mega Capital Sekuritas.(ian/*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.