KABARBURSA.COM - Produsen listrik swasta menunjukkan ketidakpuasan terhadap rencana pemerintah untuk merevisi target bauran energi primer dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Target tersebut direncanakan akan direvisi dari 23 persen menjadi 17 persen-19 persen pada tahun 2025 dalam revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Arthur Simatupang, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI), menyayangkan perubahan tersebut. Ia menyatakan, "(Perubahan target bauran EBT) tentunya jauh dari target awal yang lebih optimistis," jelasnya, Selasa (30/1/2024).
Arthur menegaskan perlunya terobosan kebijakan dan struktur pasar yang lebih pasti untuk mendorong investasi EBT di Indonesia.
Menurutnya, produsen listrik swasta menghadapi banyak tantangan dalam mengembangkan proyek energi terbarukan, termasuk kurangnya pengadaan lelang EBT dan perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) yang tidak bankable. "APSLI melihat peningkatan pipeline proyek pembangkit EBT sebagai salah satu solusi untuk menarik investasi dalam negeri," kata Arthur.
Fabby Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), juga menyampaikan keprihatinan terhadap perubahan target bauran EBT. Menurutnya, rencana penurunan target ini akan memberikan sinyal negatif kepada berbagai pihak, tidak hanya kepada investor. "Rencana penurunan target bauran EBT ini setidaknya akan memberikan dua implikasi yakni investor akan menganggap kebijakan dan rencana jangka panjang pemerintah tidak kredibel," ujarnya.
Fabby juga menyatakan bahwa kepercayaan terhadap target jangka panjang pemerintah, seperti Net Zero Emission di 2060, akan sulit dipertahankan oleh semua pihak jika target yang lebih awal tidak tercapai. Meskipun demikian, ia berharap pemerintah tetap ambisius dan mengakselarasi pengembangan EBT untuk mencapai target bauran EBT.
Pihaknya meminta agar pemerintah tidak mengubah target bauran energi primer EBT di 2025 dan lebih fokus pada upaya percepatan pengembangan proyek EBT. Fabby berpendapat bahwa jika target 23 persen tidak tercapai, dapat diakui, namun harus dikompensasi di tahun-tahun berikutnya."Pengalaman mandeknya proyek EBT menjadi pembelajaran bagi pemerintah untuk menyinkronkan regulasi, dengan fokus pada kebijakan yang mendukung EBT, bukan energi fosil seperti batub," tuturnya.