KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp393,91 triliun hingga Maret 2024. Angka ini terkoreksi 8,8 persen secara tahunan atau baru mencapai 19,81 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Pemerintah menargetkan rasio penerimaan perpajakan alias tax ratio sebesar 11,2 persen hingga 12 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2025. Target tax ratio tersebut tercantum dalam dokumen Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025.
Untuk diketahui, target tersebut lebih tinggi dari realisasi 2023 sebesar 10,32 persen dan APBN 2024 sebesar 10,12 persen.
Sementara, Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam visinya akan menggenjot tax ratio atau rasio perpajakan sebesar 23 persen dari Produk Domestik Bruto.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Susamto mengatakan dengan realisasi pajak yang tersungkur, visi prabowo dan gibran semakin tidak realistis. Pasalnya, tax ratio Indonesia terhadap PDB itu 11 persen. Tidak mungkin dalam kurun waktu lima tahun atau satu periode tax ratio Indonesia bisa melonjak hingga 12 persen.
“Jadi kalau nambahnya sampai 12 persen itu tidak realistis dengan waktu yang sesingkat ini,” katanya kepada Kabar Bursa, Jumat, 10 Mei 2024.
Untuk mencapai 23 persen, menurutnya membutuhkan waktu hingga 15-30 tahun lagi. Itupun jika ada perubahan drastis dalam sektor ekonomi.
Pasalnya, dari pengalaman, dia melihat tax ration indonesia selama 10-15 tahun kebelakang tidak ada perubahan yang signifikan.
“Kalau dalam waktu lima tahun, tidak realistis bisa mencapai 23 persen. Pengalaman kita selama 10 sampai 15 tahun terakhir, angkanya sekitar segitu saja,” jelas dia.
Oleh karena itu, agar lebih masuk akal, dia menyarankan pemerintah selanjutnya bisa menaikan presentase rasio perpajakan secara bertahap, ke angka 12 atau 13 persen.
Menurutnya, dengan peningkatkan satu persen pun, penerimaan rasio pajak di negeri ini sudah cukup tinggi. “Naik satu persen masih lebih masuk akal. Itu saja penambahannya banyak,” imbuhnya.
Penting untuk diketahui, peningkatan satu persen tax ratio memungkinkan negara mendapatkan penerimaan pajak hingga Rp200 triliun. Yang mana itu dihitung dari jumlah pajak yang ditimpa oleh negara dengan PDB.
Kata dia, pada tahun 2022 ini PDB Indonesia mencapai Rp19.500 triliun. Yang mana pada tahun 2023 memungkinkan bisa mendekati Rp20.000 triliun.
“2023 mungkin mendekati 20.000, atau sekitar Rp20.000 triliun,” terangnya.
Dari hitungan kasarnya, jika PDB mencapai Rp20.000 triliun, berarti satu persennya adalah Rp200 triliun. “Kalau Rp20.000 triliun berarti tuh 1 persen nya kurangi aja 0-nya 2 berarti Rp200 triliun, 1 persen,” ujarnya.
Artinya, jika betambah 2 persen Itu sama dengan Rp400 triliun, 3 persen itu Rp600 triliun, dan 5 persen Itu berarti Sudah Rp1.000 triliun
Sementara, sekarang rasio pajak Indonesia terhadap PDB kita itu 11 persen. Jika dikalikan dengan jumlah PDB, berarti penerimaan rasio pajak Indonesia sekarang mencapai Rp2.145 triliun.
Dia mengatakan Jika tax ratio itu ingin ditingkatkan menjadi 23 persen. Artinya, kata dia, pemerintah harus menambah berapa ribu triliun. Menurutnya, hal itu dirasakan mustahil.
“Tambah berapa ribu triliun untuk naikinnya, ya enggak mungkin. Mau dari mana dalam waktu singkat?,” tanya dia.
Kendati demikian, dia mengatakan target tax ratio mencapai 23 persen bukan berarti sesuatu yang buruk, namun tetap harus realistis. Dengan catatan hal itu diambil dengan cara yang baik. Tidak menaikan tarif pajak dan menganggu perekonomian Indonesia atau mempengaruhi anggaran belanja negara.
“Ini kan tentang mimpi yang tinggi, lalu kemudian dari mimpi yang tinggi menjadi alasan untuk membuat anggaran belanja yang juga tinggi, jadi enggak realistis,” pungkasnya.