KABARBURSA.COM – Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyoroti kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap Indonesia yang dinilai dapat memperberat tekanan ekonomi nasional. Meski tarif yang dikenakan tidak setinggi yang diterima Vietnam atau Thailand, beban sebesar 32 persen tetap menjadi tantangan besar, terutama di tengah perlambatan ekonomi dan tekanan fiskal.
“Indonesia mungkin tidak menerima tarif setinggi Vietnam atau Thailand, tapi 32 persen tetap merupakan beban besar, apalagi di tengah perlambatan ekonomi dan tekanan fiskal,” ujar Syafruddin dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 4 April 2025.
Syafruddin juga mengungkapkan bahwa rupiah telah terdepresiasi sebesar 2,81 persen secara year-to-date (YTD), sementara pasar saham turun 8,04 persen sepanjang tahun ini. Kondisi ini semakin diperburuk oleh ketergantungan Indonesia pada ekspor ke AS, terutama di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan furnitur, yang sangat rentan terhadap kebijakan tarif.
“Yang membuat posisi Indonesia makin sulit adalah kenyataan bahwa pasar ekspornya ke AS masih sangat bergantung pada barang-barang padat karya seperti tekstil, sepatu, dan furnitur—sektor yang paling sensitif terhadap tarif. Jika tidak segera ada pergeseran strategi, ancaman PHK dan penurunan daya beli akan semakin nyata,” jelasnya.
Sikap Diam Pemerintah Dipertanyakan
Lebih lanjut, Syafruddin mengkritik sikap diam pemerintah Indonesia dalam merespons kebijakan tarif AS ini. Menurutnya, negara-negara lain telah memberikan pernyataan atau mengambil langkah strategis, sementara pemerintah Indonesia masih belum menunjukkan sikap resmi.
Pasalnya, Kebijakan tarif resiprokal AS ke Indonesia bukan hanya soal dampaknya, tapi juga tentang ‘mode diam’ yang diambil pemerintah. Seharusnya, Menteri Perdagangan dan Menteri Luar Negeri sudah memberikan respons. Apa mau retaliasi atau hanya kecewa diperlakukan seperti ini oleh AS yang selama ini dianggap sebagai negara sahabat.
Ia menilai bahwa keterlambatan respons ini bisa mencerminkan ketidaksiapan atau bahkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengantisipasi kebijakan yang sebenarnya sudah lama dirancang oleh AS.
“Heningnya pemerintah ini bisa dimaknai seperti apa? Apakah ini menunjukkan ketidaksiapan atau ketidakmampuan pemerintah memitigasi rencana yang sejatinya sudah jauh-jauh hari dicanangkan oleh AS? Seperti tak paham apa yang sedang terjadi,” tambahnya.
Syafruddin menegaskan bahwa publik membutuhkan kepastian dari pemerintah mengenai langkah yang akan diambil dalam menghadapi kebijakan tarif ini. Pasalnya, banyak kepala negara lain sudah merespons, sementara Indonesia masih belum menunjukkan langkah konkret.
“Publik perlu mendengar bagaimana respons kebijakan dari pemerintah RI. Banyak kepala negara sudah merespons. Setidaknya, Menteri Perdagangan dan Menlu harus segera memberikan pernyataan resmi,” pungkasnya.
Pemerintah Tunda Konferensi Pers
Untuk diketahui, di tengah berbagai sorotan terhadap kebijakan perdagangan AS, pemerintah Indonesia justru menunda konferensi pers yang sedianya digelar untuk memberikan tanggapan resmi terkait kebijakan tarif baru dari Washington.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Kabar Bursa, pemerintah semula berencana menyampaikan respons resmi pada Kamis, 3 April 2025, pukul 10.45 WIB melalui konferensi pers daring. Namun, acara tersebut dibatalkan beberapa saat sebelum berlangsung.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Kabar Bursa, pemerintah menyatakan bahwa kebijakan tarif AS mencakup aspek teknis yang cukup kompleks dengan berbagai komoditas yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan pembahasan lebih lanjut antara kementerian dan lembaga terkait sebelum memberikan pernyataan resmi.
"Menimbang hal tersebut, kami sampaikan bahwa press conference ditunda hingga pemberitahuan selanjutnya," demikian pernyataan resmi yang diterima Kabar Bursa, Kamis, 3 April 2025.
Sejumlah menteri yang sebelumnya dijadwalkan hadir dalam konferensi pers ini antara lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Perdagangan Budi Santoso.
Selain itu, Menteri Luar Negeri Sugiono serta Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga direncanakan ikut memberikan tanggapan atas kebijakan perdagangan AS tersebut.
Bikin Lemah IHSG Dan Rupiah
Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menaikkan tarif resiprokal bikin pasar keuangan global terguncang. Di Indonesia, dampaknya bisa sangat nyata, yakni nilai tukar rupiah melemah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terancam terkoreksi pasca-Lebaran
“Pelemahan kurs rupiah diperkirakan berlanjut karena investor akan mencari aset yang lebih aman dan keluar dari negara berkembang,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, dalam keterangan tertulis, Kamis, 3 April 2025.
Bhima menilai, pelemahan rupiah tersebut berisiko memicu imported inflation. Harga barang-barang impor, terutama pangan dan produk sekunder seperti peralatan rumah tangga dan elektronik, akan terdongkrak. Daya beli masyarakat kelas menengah bawah pun terancam ikut terkikis.
Dari sisi pasar modal, Bhima memprediksi tekanan jual akan meningkat usai libur Lebaran. Risiko capital outflow masih tinggi dan dalam skenario terburuk, bukan tak mungkin terjadi trading halt jika panic selling melanda.
Namun di tengah badai tarif ini, ia menilai Indonesia justru bisa memanfaatkan peluang relokasi industri dari negara-negara yang terkena tarif tinggi. Tapi syaratnya tidak bisa semata mengandalkan tarif yang lebih rendah dibanding negara tetangga seperti Vietnam dan Kamboja.
Bhima menekankan pentingnya reformasi regulasi yang konsisten, penyederhanaan perizinan, serta stabilitas kebijakan domestik. Wacana-wacana kontroversial seperti RUU Polri dan RUU KUHAP, menurutnya, sebaiknya ditunda dulu demi menjaga iklim investasi.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya kesiapan infrastruktur industri, ketahanan energi dari sumber terbarukan, dan pengembangan sumber daya manusia untuk mendorong daya saing jangka panjang. Ruang untuk memberikan insentif fiskal pun dinilai terbatas karena keberlakuan Global Minimum Tax, yang membuat negara-negara tak lagi bisa bebas bersaing lewat insentif pajak.
Namun dari sisi moneter, Indonesia dinilai masih punya ruang manuver. Bank Indonesia disebut Bhima masih memiliki cadangan devisa yang cukup untuk melakukan operasi pasar dan menjaga stabilitas nilai tukar. Bahkan, ruang untuk menurunkan suku bunga acuan dinilai terbuka demi memberi stimulus ke sektor riil yang terpukul dampak perang dagang.
“Bank Indonesia masih punya ruang untuk operasi moneter, saat cadangan devisa gemuk. BI bahkan bisa turunkan suku bunga acuan 50 bps, untuk stimulus sektor riil yang terdampak perang dagang,” kata Bhima.
(*)