KABARBURSA.COM - PT Dharma Polimetal Tbk (DRMA) menanggapi kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, terkait pengenaan tarif ke sejumlah negara.
Seperti diketahui, Presiden Donald Trump akan mengenakan tarif baru ke beberapa negara seperti China, Meksiko, dan Kanada.
Adapun Dharma yang bergerak di bidang manufaktur komponen otomotif merupakan perusahaan yang mengekspor komponen otomotif ke Negeri Paman Sam.
Presiden Direktur Dharma Irianto Santoso, memandang kebijakan tarif impor tersebut bisa membuka peluang bagi perusahaan untuk berekspansi di pasar Amerika Serikat karena harga jual produk menjadi lebih kompetitif.
"Saat ini, ekspor kami menggantikan pasokan dari Meksiko. Dengan adanya kenaikan tarif impor dari Meksiko, peluang DRMA untuk meningkatkan suplai ke pasar Amerika semakin terbuka," ujar dia saat dihubungi Kabarbursa.com di Jakarta, dikutip pada Jumat, 7 Februari 2025.
Peluang berikutnya yang bisa didapatkan Dharma adalah bisa melakukan persaingan dengan kompetitif. Irianto mengatajan, saat ini fokus perusahaan adalah berupaya mencapai excellence performance dengan menghadirkan produk-produk yang mampu bersaing sesuai standar internasional.
"Sekaligus mengoptimalkan efisiensi biaya agar lebih kompetitif. Perseroan melihat bahwa dampak dari tarif ini akan membuat harga jual produk kami menjadi lebih kompetitif, dimana hal ini memperbesar kesempatan kami untuk meningkatkan market share di pasar international," jelasnya.
Di saat yang bersamaan, lanjut Irianto, Dharma juga sedang membangun pabrik baru di Dharma Kyungshin Indonesia (DKI), Cirebon. Pendirian pabrik ini bertujuan untuk memperluas kapasitas produksi.
"Pabrik baru tersebut akan memiliki luas 1,5 kali lebih besar dibandingkan pabrik yang ada saat ini dan ditargetkan rampung pada tahun 2025," pungkasnya.
Tarif Trump Ditunda
Sebelumnya diberitakan, Donald Trump setuju menunda kebijakan tarifnya terhadap Meksiko dan Kanada selama 30 hari. Keputusan ini diambil setelah kedua negara sepakat mengambil langkah-langkah untuk meredam kekhawatiran Amerika soal keamanan perbatasan dan perdagangan narkoba.
“Saya sangat senang dengan hasil awal ini. Tarif yang diumumkan Sabtu kemarin akan ditunda selama 30 hari untuk melihat apakah kesepakatan ekonomi final dengan Kanada bisa disusun,” tulis Trump di media sosialnya, dikutip dari AP di Jakarta, Selasa, 4 Februari 2025.
Namun di satu sisi, tarif 10 persen yang ditargetkan ke China tetap akan berlaku mulai Selasa hari ini. Trump juga sudah menjadwalkan pembicaraan dengan Presiden Xi Jinping dalam beberapa hari ke depan.
Meski ancaman perang dagang dengan Kanada dan Meksiko sementara diredam, bukan berarti semuanya kembali normal. Trump bisa saja menghidupkan kembali tarif sewaktu-waktu. Lebih dari itu, ia sudah punya rencana lain, yakni memberlakukan tarif baru terhadap Uni Eropa.
Dengan kata lain, ketidakpastian ekonomi global masih menggantung. Apakah ini berarti krisis telah dicegah atau hanya ditunda sementara sebelum badai yang lebih besar datang?
Sabtu lalu, Trump mengumumkan tarif 25 persen untuk impor dari Meksiko dan Kanada, plus tarif 10 persen khusus untuk produk minyak, gas alam, dan listrik dari Kanada. Meskipun langkah ini sudah lama ia wacanakan, keputusan mendadak tersebut tetap mengejutkan banyak pihak—mulai dari investor, anggota parlemen, hingga masyarakat umum.
Berbagai analisis dari Tax Foundation, Tax Policy Center, dan Peterson Institute for International Economics menunjukkan tarif ini bisa menghambat pertumbuhan ekonomi, menekan pendapatan, dan membuat harga-harga naik. Tapi bagi Trump, tarif adalah senjata yang perlu digunakan demi menekan negara lain agar patuh terhadap keinginannya—terutama dalam hal mencegah imigrasi ilegal, membasmi perdagangan fentanyl, dan, memastikan Amerika diperlakukan dengan lebih hormat di panggung internasional.
Dalam pernyataan di media sosial, Trump menyebut percakapannya dengan Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum sebagai “sangat bersahabat” dan mengaku menantikan negosiasi lebih lanjut.
Pembicaraan ini akan dipimpin oleh Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, Menteri Keuangan Scott Bessent, calon Menteri Perdagangan Howard Lutnick, dan sejumlah perwakilan tingkat tinggi dari Meksiko.
Dari sisi Meksiko, Sheinbaum berkomitmen memperkuat perbatasan dengan mengerahkan 10.000 anggota Garda Nasional. Sebagai gantinya, pemerintah AS berjanji bekerja sama dengan Meksiko untuk menghentikan perdagangan senjata api kelas berat yang kerap masuk ke negara tersebut.
Perang Dagang Jilid Dua
Pengamat Ekonomi Internasional dari Universitas Pelita Harapan (UPH) S Budisuharto mengatakan, kebijakan Trump berpotensi mengundang kekhawatiran, namun dampaknya terhadap Indonesia belum terlalu signifikan, utamanya dalam jangka pendek.
“Dalam era globalisasi, apa yang terjadi di dua negara besar seperti Amerika Serikat dan China, pasti berdampak ke ekonomi kita. Tapi untuk saat ini, efeknya ke Indonesia masih terbatas,” kata Budisuharto dalam keterangannya di Acara Bursa Pagi-Pagi Kabarbursa.com segmen Dialog Analis, Selasa 4 Februari 2025.
Budisuharto mengatakan, persepsi pasar memainkan peran penting dalam merespons kebijakan ini. Menurutnya, saat Trump mengumumkan tarif 25 persen, persepsi pasar langsung bergerak. Kekhawatiran tersebut dapat membuat investor lebih berhati-hati untuk mengamankan portofolio mereka, atau menunda investasi baru.
Namun, di sisi lain, ada juga pihak-pihak yang melihat ini sebagai peluang.
Budisuharto mencatat, dalam beberapa hari terakhir nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami fluktuasi. Selama seminggu terakhir, kurs dolar sempat naik turun dan hingga saat ini berada di level Rp16.400.
“Ini memang menunjukkan adanya ketidakpastian di pasar, tapi belum ada gejolak yang signifikan,” ujar dia.
Dirinya juga menyoroti bahwa jika investor asing, terutama dari Amerika, mulai menarik investasi mereka dari Indonesia, maka pasar saham dan nilai tukar rupiah bisa tertekan. Hal ini bisa terjadi apabila dana asing keluar dan investor menjual sahamnya. Di sini, Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG bisa anjlok.
“Setelah itu, mereka akan menukar rupiah ke dolar, yang bisa melemahkan nilai tukar rupiah,” tambahnya.
Namun, dia menekankan bahwa hingga saat ini belum terlihat adanya penurunan drastis di pasar saham Indonesia.
“Kita memang perlu waspada, tapi tidak perlu panik. Kita harus melihat apakah dana asing benar-benar keluar atau tidak,” ujarnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.