KABARBURSA.COM - Banyak masyarakat yang mungkin masih awam terkait skema Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Mereka beranggapan bahwa dengan ikut Tapera bisa langsung memperoleh pembiayaan untuk membeli rumah.
Namun, Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menilai bahwa edukasi mengenai besaran persentase dan mekanisme tabungan Tapera secara bertahap harus terus dilakukan.
Heru menjelaskan bahwa selama ini banyak masyarakat yang salah kaprah memahami skema Tapera. Misalnya, banyak yang menganggap bahwa iuran Tapera yang terpotong setiap bulan dan terakumulasi bisa langsung dipakai untuk membeli rumah.
"Masih ada kesalahpahaman oleh sebagian besar masyarakat, tidak sesederhana itu, dan harus diluruskan," kata Heru dikutip dari laman resmi BP Tapera, Senin, 8 Juli 2024.
Heru mengilustrasikan mekanisme ini dengan contoh skema perhitungan iuran tabungan peserta sebesar 3 persen dari penghasilan Rp4 juta, yaitu senilai Rp120.000 per bulan.
Ia menegaskan bahwa untuk mendapatkan rumah, tidak serta merta dihitung secara sederhana dengan mengkalikan nilai Rp120.000 yang terpotong setiap bulan dalam satu tahun, kemudian dikalikan tahun berjalan.
Heru menjelaskan, apabila perhitungan sederhana tersebut diterapkan, maka hingga masa kepesertaan Tapera berakhir atau pekerja sudah memasuki masa pensiun, tabungan yang terkumpul pasti tidak akan cukup untuk membeli rumah.
"Kalau dengan perhitungan matematika sederhana, nilai tabungan Rp120.000 per bulan tersebut katakanlah hingga 20 tahun mendatang, akumulasi tabungannya jelas tidak akan sampai untuk mendapatkan nilai harga rumah," terang Heru.
Ia menjelaskan bahwa nilai akumulasi tabungan Rp28,8 juta setelah 20 tahun bukan untuk membeli rumah langsung, melainkan untuk memastikan peserta memperoleh fasilitas pembiayaan rumah jangka panjang.
Tabungan peserta ini menjadi salah satu pemenuhan kelayakan dalam mengajukan bantuan pembiayaan Rumah Tapera.
Apabila peserta Tapera dinilai eligible (memenuhi syarat) setelah menabung selama satu tahun secara rutin tiap bulan, hal ini akan mempermudah persyaratan dan proses pengajuan kepada pihak perbankan karena peserta dianggap mampu untuk menyisihkan penghasilan tiap bulannya.
Heru menambahkan, dalam hal ini peran pemerintah adalah menekan nilai angsuran bulanan dengan suku bunga flat 5 persen hingga lunas, sekaligus dengan memberikan manfaat pengembalian pokok tabungan peserta beserta imbal hasil yang diterima. Dengan iuran Tapera yang dikumpulkan pekerja di seluruh Indonesia, pemerintah dapat mengupayakan pengurangan suku bunga perbankan untuk kredit KPR bagi peserta yang memenuhi syarat.
Melanjutkan ilustrasi di atas, Heru menyebutkan bahwa apabila harga rumah tapak senilai Rp175.000.000 dengan uang muka 1 persen, beban angsuran yang diterima oleh peserta dalam waktu 20 tahun dengan suku bunga flat 5 persen adalah senilai Rp1.143.373. Ditambah dengan tabungan bulanan sebesar Rp120.000, total menjadi Rp1.263.373. Perhitungan ini jauh lebih murah dibandingkan skema KPR komersial, di mana suku bunga di atas 10 persen dan bersifat mengambang (floating).
"Di akhir pelunasan Rumah Tapera pada 20 tahun mendatang, peserta juga akan memperoleh pengembalian tabungan senilai Rp28.800.000, ditambah imbal hasil dengan estimasi sebesar 4 persen per tahun, sehingga peserta akan memperoleh tambahan sebesar Rp12.799.721," ungkap Heru.
"Besaran nilai estimasi 4 persen tersebut di atas bunga tabungan atau setara dengan deposito bank Himbara (counter rate)," imbuh Heru.
Heru menegaskan bahwa dana pengelolaan tabungan peserta terpisah dari dana penyaluran manfaat pembiayaan perumahan.
"Nominal tabungan para peserta tidak diganggu gugat, justru memperoleh manfaat dari pengembangan tabungannya," pungkas Heru.
UU Tapera Digugat, Dua Pasal Merugikan Rakyat
Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) kini menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat pekerja. Hal ini terjadi setelah UU Tapera resmi diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari data resmi MK, Sabtu 22 Juni 2024, gugatan ini tercatat diajukan pada Selasa 18 Juni 2024 malam. Leonardo Olefins Hamonangan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung mengajukan gugatan terhadap UU Nomor 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumah Rakyat (Tapera). Mereka berpendapat bahwa keikutsertaan di Tapera seharusnya bukanlah suatu kewajiban.
Gugatan ini mengemukakan 26 poin alasan, di antaranya risiko potensi pengurangan gaji akibat iuran Tapera yang dapat menambah beban finansial bagi pekerja, yang di atasnya masih ada potongan BPJS sebesar 5 persen dari gaji.
Di pasal 7 ayat (2) UU 4/2016 disebutkan bahwa pekerja mandiri dengan penghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta Tapera. Hal ini dianggap menghadirkan tantangan tersendiri, terutama bagi mereka yang bergantung pada upah minimum untuk kebutuhan sehari-hari, karena potongan simpanan Tapera sebesar 3 persen.
Pemohon juga menyoroti pasal 7 ayat (3) yang menyebutkan bahwa peserta Tapera harus berusia minimal 20 tahun atau sudah menikah pada saat mendaftar, namun keberadaan kata ‘atau’ dalam ayat tersebut dinilai menciptakan ketidakpastian hukum.
Pasal 72 ayat (1) mengenai sanksi administratif, seperti pembekuan dan pencabutan izin usaha bagi pihak yang melanggar berbagai ketentuan UU Tapera, juga menjadi bahan perdebatan dalam gugatan ini.
Selain itu, pemohon juga mempertanyakan urgensi Program Tapera dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat terhadap BPJS yang lebih sering digunakan untuk keperluan kesehatan mendesak.
Keseluruhan, gugatan ini mencerminkan kekhawatiran yang mendalam terhadap dampak dan kejelasan implementasi UU Tapera, serta potensi beban tambahan finansial yang dapat dirasakan oleh para pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit seperti saat ini. (*)