KABARBURSA.COM - Donald Trump kembali mengguncang pasar global dengan kebijakan tarif impornya. Kali ini, sasaran baru presiden Amerika Serikat tersebut adalah produk kayu dan hasil hutan, sektor yang menjadi salah satu tulang punggung ekspor Indonesia. Jika tarif ini benar-benar diterapkan pada 2 April mendatang, emiten-emiten kayu seperti PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG), PT Wijaya Cahaya Timber Tbk (FWCT), dan PT Indonesia Fibreboard Industry Tbk (IFII) bisa ikut terdampak. Pasalnya, Amerika Serikat merupakan salah satu tujuan ekspor utama bagi produk kayu olahan Indonesia.
Trump berencana mengenakan tarif 25 persen untuk produk kayu dan hasil hutan yang berpotensi meningkatkan harga jual barang ekspor Indonesia di pasar Amerika. Sektor ini menyusul daftar panjang barang impor yang sudah duluan kena tarif, mulai dari mobil, semikonduktor, hingga farmasi.
“Saya akan mengumumkan tarif baru untuk mobil, semikonduktor, chip, farmasi, obat-obatan, kayu, dan beberapa produk lain dalam waktu sebulan atau mungkin lebih cepat,” kata Trump dalam konferensi di Miami, dikutip dari Reuters di Jakarta, Kamis, 20 Februari 2025.
Saat berbicara dengan wartawan di Air Force One dalam perjalanan pulang ke Washington, Trump mengaku mempertimbangkan tarif 25 persen untuk produk kayu dan hasil hutan yang rencananya mulai berlaku pada 2 April 2025. Angka ini sama dengan tarif untuk sektor otomotif yang juga bakal kena kebijakan baru.
Bagi Trump, tarif ini bukan sekadar penghalang impor, tapi juga strategi buat menambah pundi-pundi kas negara. Meski begitu, dia juga memberikan opsi ‘keringanan’ bagi negara lain, yakni kalau mereka mau menurunkan atau menghapus tarif untuk barang AS, bisa saja tarif balasan ini dikaji ulang.
Langkah terbaru ini menambah daftar panjang kebijakan perdagangan agresif Trump sejak kembali ke Gedung Putih empat minggu lalu. Sebelumnya, ia sudah menerapkan tambahan tarif 10 persen untuk semua impor dari China sebagai hukuman atas kegagalan negara itu menghentikan perdagangan fentanyl ke AS. Selain itu, ia juga mengumumkan tarif 25 persen untuk barang dari Meksiko dan impor non-energi dari Kanada, meski kemudian diberi jeda sebulan sebelum diterapkan.
Trump tidak berhenti di situ. Minggu lalu, ia mengancam bakal mengenakan tarif balasan kepada semua negara yang menerapkan tarif untuk produk AS atau menggunakan kebijakan non-tarif yang menghambat akses barang Amerika ke pasar mereka.
Namun, kebijakan Trump ini masih penuh ketidakpastian. Dalam pertemuan dengan pejabat perdagangan Uni Eropa di Washington, para pejabat AS membahas kemungkinan tarif yang bakal dihadapi oleh mitra dagang Amerika. Uni Eropa—yang selama ini menjadi pemain besar dalam perdagangan global—tentu saja tidak tinggal diam.
Meskipun Trump yakin tarif ini bisa membawa keuntungan besar bagi AS, para ekonom mulai khawatir dampak jangka panjangnya. Beberapa analis memperingatkan kebijakan perdagangan ala Trump ini justru bisa memicu inflasi dan merusak keseimbangan ekonomi global. Dengan kebijakan yang berubah-ubah dan sulit ditebak, banyak negara dan pelaku bisnis kini hanya bisa menunggu langkah apa lagi yang akan diambil Trump selanjutnya.
Getah Tarif untuk Emiten Kayu
[caption id="attachment_121695" align="alignnone" width="768"] Ilustrasi: Kayu jati Perhutani. Foto: Dok. Perhutani.[/caption]
Kebijakan tarif baru yang digaungkan Trump tak cuma bikin panas hubungan dagang internasional, tapi juga bisa berimbas ke emiten-emiten kayu dan hasil hutan di Indonesia yang punya eksposur pasar ekspor. Tiga emiten yang berpotensi terdampak adalah PT Dharma Satya Nusantara Tbk, PT Wijaya Cahaya Timber Tbk, dan PT Indonesia Fibreboard Industry Tbk yang masing-masing memiliki lini bisnis di sektor kayu, furnitur, serta produk berbasis hasil hutan lainnya.
Trump berencana menerapkan tarif 25 persen untuk impor produk kayu dan hasil hutan mulai 2 April mendatang. Artinya, jika kebijakan ini benar-benar berjalan, biaya masuk barang dari luar ke AS akan semakin mahal yang bisa menekan daya saing ekspor kayu Indonesia. Padahal, AS selama ini merupakan salah satu tujuan ekspor produk hasil olahan hutan dari Indonesia.
PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG)
[caption id="attachment_121696" align="alignnone" width="698"] Tampak dari udara, salah satu fasilitas produksi PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG). Foto: Dok. DSNG.[/caption]
DSNG merupakan perusahaan yang beroperasi di dua sektor utama, yakni minyak sawit dan produk kayu. Dalam perjalanannya lebih dari empat dekade, DSNG telah membangun bisnis berbasis pertumbuhan berkelanjutan dengan menerapkan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik serta tanggung jawab sosial dan lingkungan. Selain itu, perusahaan ini juga mulai mengadopsi energi terbarukan untuk mendukung operasional bisnisnya.
Di sektor minyak sawit, DSNG mengelola perkebunan dan produksi minyak sawit mentah (CPO). Sementara itu, di sektor produk kayu, perusahaan memproduksi berbagai jenis panel dan lantai kayu yang banyak digunakan dalam industri properti dan furnitur.
Untuk pasar ekspor, DSNG menjual produknya ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan Jepang. Namun, sepanjang 2023, permintaan dari negara-negara tujuan ekspor ini mengalami penurunan akibat tingginya suku bunga global yang berdampak negatif terhadap pasar properti.
Pada 2023, total penjualan DSNG pada 2023 tercatat sebesar Rp9,49 triliun, mengalami penurunan 1,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kelesuan pasar internasional menjadi faktor utama yang menekan kinerja ekspor, yang anjlok hingga 25,1 persen secara tahunan menjadi Rp1,09 triliun.
Sebaliknya, penjualan di pasar domestik justru tumbuh 2,8 persen menjadi Rp8,4 triliun. Produk kayu yang berkontribusi sekitar 12 persen terhadap total pendapatan DSNG juga mengalami penurunan signifikan. Segmen ini hanya menyumbang Rp1,1 triliun, turun 29 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp1,5 triliun. Volume penjualan panel dan lantai kayu masing-masing turun 14 persen dan 34 persen secara tahunan, meskipun sempat mengalami peningkatan per kuartal sepanjang 2024.
Untuk 2024, DSNG belum merilis kinerja operasionalnya secara keseluruhan. Data yang tersedia baru sampai pada kuartal III 2024. Hingga kuartal tersebut, laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp1,19 triliun, meningkat signifikan dari Rp840 miliar pada periode yang sama di 2023.
Jika dirinci, laba bersih DSNG sepanjang 2024 menunjukkan tren pertumbuhan di setiap kuartalnya. Pada kuartal pertama, perusahaan mencatat laba sebesar Rp226 miliar, naik dari Rp214 miliar di kuartal yang sama tahun sebelumnya. Kemudian, pada kuartal kedua, laba meningkat lebih tajam menjadi Rp278 miliar, melampaui perolehan kuartal kedua 2023 yang hanya Rp148 miliar.
Peningkatan paling signifikan terjadi di kuartal ketiga 2024, di mana laba DSNG melonjak menjadi Rp357 miliar. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di 2023 yang hanya mencapai Rp141 miliar. Dengan capaian ini, laba tahunan yang disetahunkan (annualized) perusahaan diperkirakan mencapai Rp1,14 triliun.
Dari sisi saham, performa harga DSNG cukup fluktuatif. Dalam sepekan terakhir, harga sahamnya naik 2,21 persen. Namun, dalam rentang satu bulan, DSNG mengalami penurunan 7,96 persen, sementara dalam tiga bulan terakhir terkoreksi hingga 22,92 persen.
Meski demikian, dalam jangka panjang, saham DSNG masih menunjukkan tren positif. Dalam enam bulan terakhir, saham ini naik 19,35 persen, dan dalam setahun terakhir melesat 81,37 persen. Bahkan, dalam lima tahun terakhir, harga sahamnya sudah naik lebih dari 110 persen. DSNG mencatat harga tertinggi dalam 52 minggu terakhir di level Rp1.400 per saham dan harga terendahnya berada di Rp490 per saham.
PT Wijaya Cahaya Timber Tbk (FWCT)
[caption id="attachment_121697" align="alignnone" width="738"] Para pekerja PT Wijaya Cahaya Timber Tbk (FWCT) tengah mengoperasikan mesin dalam proses produksi kayu lapis (plywood) di salah satu pabrik perusahaan. Foto: Dok. FWCT.[/caption]
FWCT merupakan emiten yang bergerak di industri kayu lapis atau plywood. Didirikan pada 8 Maret 2017, perusahaan ini memiliki empat pabrik utama yang tersebar di dua kota, yakni Malang dan Jember, Jawa Timur. Pabrik pertama FWCT mulai beroperasi pada 2018 dengan kapasitas produksi 48.000 meter kubik per tahun dan terus berkembang seiring dengan meningkatnya permintaan pasar.
Ekspansi bisnis FWCT berjalan cukup agresif. Pada 2019, mereka menambah pabrik ketiga di Malang, diikuti dengan pembangunan fasilitas produksi di Jember pada 2021. Kapasitas produksi totalnya kini mencapai 198.000 meter kubik per tahun. Selain memenuhi pasar domestik, FWCT juga aktif di pasar ekspor. Produk plywood mereka telah masuk ke berbagai negara Asia, termasuk Malaysia, Korea, dan Jepang sejak 2019. Ekspansi berlanjut ke Amerika Serikat pada 2020, sebelum akhirnya perusahaan merambah pasar Timur Tengah pada 2021. Secara total, FWCT kini mengekspor plywood ke 12 negara.
Selain plywood, FWCT juga menjual veneer—bahan setengah jadi berupa lembaran kayu tipis yang digunakan dalam pembuatan kayu lapis—untuk memperluas sumber pendapatan perusahaan.
Dari sisi keuangan, FWCT menunjukkan performa yang cukup fluktuatif dalam tiga tahun terakhir. Pada 2024, laba bersih perusahaan mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada kuartal pertama, FWCT mencetak laba bersih Rp21 miliar, jauh lebih baik dari periode yang sama di 2023 yang justru mencatat rugi Rp12 miliar. Namun, pada kuartal kedua 2024, laba berbalik negatif dengan kerugian Rp4 miliar, meskipun kerugiannya lebih kecil dibandingkan kuartal kedua 2023 yang mencatat rugi Rp17 miliar.
Pada kuartal ketiga 2024, FWCT berhasil mencetak laba bersih Rp27 miliar, sedikit lebih rendah dibandingkan periode yang sama di 2023 yang mencapai Rp32 miliar. Secara tahunan (annualized), laba bersih FWCT diperkirakan mencapai Rp58 miliar pada 2024, naik dari Rp41 miliar di 2023 dan Rp15 miliar di 2022.
Kinerja saham FWCT mencerminkan pertumbuhan bisnisnya yang agresif. Dalam satu tahun terakhir, harga saham FWCT melonjak 132,39 persen, menunjukkan sentimen pasar yang cukup positif terhadap emiten ini. Kenaikan juga terlihat dalam jangka pendek, dengan return saham dalam tiga bulan terakhir mencapai 37,50 persen dan dalam enam bulan terakhir sebesar 55,66 persen.
Secara year-to-date, saham FWCT telah naik 27,91 persen. Harga tertinggi saham dalam 52 minggu terakhir berada di level Rp186 per lembar, sementara harga terendahnya berada di Rp66 per lembar. Dengan kapitalisasi pasar Rp309 miliar, FWCT masih terbilang sebagai emiten kecil, tetapi potensi pertumbuhannya cukup besar mengingat ekspansi bisnis yang agresif serta diversifikasi produk yang mereka lakukan.
PT Indonesia Fibreboard Industry Tbk (IFII)
[caption id="attachment_121698" align="alignnone" width="675"] Tampilan udara pabrik PT Indonesia Fibreboard Industry Tbk (IFII) di Sumatera Selatan yang memproduksi Medium Density Fibreboard (MDF) dan produk kayu olahan lainnya. Foto: Dok. IFII.[/caption]
IFII juga perusahaan yang bergerak di industri pengolahan kayu, khususnya produksi Medium Density Fibreboard (MDF). MDF merupakan papan olahan kayu yang digunakan sebagai alternatif pengganti plywood dalam pembuatan furnitur. Perusahaan mulai beroperasi secara komersial sejak Oktober 2012 dan berbasis di Sumatera Selatan.
Untuk memperkuat daya saingnya di pasar global, IFII menargetkan peningkatan volume ekspor hingga 40 persen pada 2024. Perusahaan menargetkan ekspor sekitar 300.000 meter kubik, naik dari tahun sebelumnya. Sekretaris Perusahaan IFII, Evan Kristian, saat itu menjelaskan perlambatan permintaan di pasar domestik menjadi alasan utama IFII lebih fokus pada ekspor, terutama ke Amerika Serikat. Selain itu, perusahaan juga mengalokasikan belanja modal sebesar Rp50 miliar untuk pengadaan suku cadang mesin, perluasan bangunan, alat berat, serta pembelian kantor pusat baru.
IFII juga memperluas kapasitas produksi melalui fasilitas MDF Line 2 di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang telah beroperasi sejak April 2023. Fasilitas ini menambah kapasitas produksi hingga 200.000 meter kubik per tahun sehingga total kapasitas produksi MDF perusahaan kini mencapai 450.000 meter kubik per tahun.
Meski ekspor menjadi fokus utama, IFII menghadapi sejumlah tantangan di 2024. Salah satunya adalah pasar MDF di Jepang yang masih lesu akibat perlambatan ekonomi. Selain itu, konflik di Laut Merah juga berpotensi menghambat distribusi produk ke kawasan Timur Tengah, meskipun permintaan dari wilayah tersebut masih relatif stabil. Untuk mengatasi masalah ini, IFII bersama para pelanggan mencari jalur pengiriman alternatif meskipun jarak dan waktu tempuh menjadi lebih panjang. Manajemen perusahaan juga menyatakan kenaikan biaya logistik akibat kondisi ini telah diantisipasi dengan menyesuaikan harga jual ke pelanggan.
Berdasarkaketerbukaan informasi, IFII mencatat pasar ekspor terbesar mereka berasal dari Timur Tengah dengan total penjualan mencapai Rp262,58 miliar pada kuartal ketiga 2023. Jepang menyusul dengan kontribusi Rp225,65 miliar. Selain itu, perusahaan juga mengekspor produknya ke kawasan Asia Pasifik, Afrika, dan Amerika Serikat.
Dari sisi kinerja keuangan, IFII mencatatkan pertumbuhan laba yang signifikan. Pada kuartal pertama 2024, perusahaan membukukan laba bersih sebesar Rp37 miliar, meningkat dari Rp20 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pada kuartal kedua, laba naik menjadi Rp40 miliar dari Rp8 miliar pada 2023. Sedangkan di kuartal ketiga, perusahaan mencatat laba Rp41 miliar, lebih tinggi dari Rp35 miliar di periode yang sama pada 2023.
Secara tahunan, laba IFII pada 2024 diperkirakan mencapai Rp159 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan 2023 yang hanya Rp101 miliar. Tren ini juga tercermin dalam trailing twelve months (TTM) kuartal ketiga 2024 yang mencatat laba sebesar Rp158 miliar, naik dari Rp101 miliar pada tahun sebelumnya.
Di sisi saham, IFII menunjukkan performa positif. Dalam seminggu terakhir, harga sahamnya naik 7,62 persen, sementara dalam sebulan naik 10,78 persen. Dalam satu tahun terakhir, saham IFII tumbuh 37,80 persen. Sepanjang 2024, harga sahamnya naik 10,78 persen secara year to date. Dalam tiga tahun terakhir, saham IFII menguat 45,81 persen, sedangkan dalam lima tahun terakhir naik 39,51 persen. Harga tertinggi dalam setahun terakhir mencapai Rp250 per saham, sementara harga terendahnya berada di Rp146 per saham.(*)