KABARBURSA.COM - Operator seluler (mobile network operator/MNO) di Indonesia tengah melakukan perubahan strategis besar-besaran untuk menghadapi persaingan yang semakin dinamis, dengan fokus pada efisiensi dan pelanggan bernilai tinggi.
Pergeseran ini menjadi semakin penting, terutama dengan merger yang akan datang antara PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN), yang diperkirakan akan mengurangi tingkat persaingan pasar.
Dengan latar belakang potensi pemotongan suku bunga Bank Indonesia (BI) hingga akhir tahun, sektor telekomunikasi diharapkan dapat meraih keuntungan lebih besar dalam hal pertumbuhan laba bersih.
Pemimpin Pasar dengan Kinerja Kuat
Analis KB Valbury Sekuritas Steven Gunawan memberi penilaian bahwa sektor telekomunikasi tetap menjadi salah satu yang paling menjanjikan, dengan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) dan PT Indosat Tbk (ISAT) sebagai dua operator unggulan.
"Dengan peringkat overweight yang dipertahankan untuk sektor ini, TLKM dan ISAT diharapkan mencatatkan kinerja yang kuat, didorong oleh permintaan data yang stabil, akses internet yang semakin meluas, serta kualitas jaringan yang terus meningkat," kata Steven dalam risetnya, dikutip Senin, 16 September 2024.
Namun demikian, analis KB Valbury Sekuritas itu menilai, EXCL juga memiliki prospek cerah, terutama setelah penggabungan (merger) dengan FREN yang akan memberikan sinergi biaya lebih efisien dan mempercepat konsolidasi di industri ini.
Meskipun MNO memperkirakan pertumbuhan di tingkat menengah satu digit untuk tahun ini, tutur Steven, konsumsi data tetap menjadi faktor utama pendorong kinerja. Data terbaru menunjukkan bahwa TLKM memimpin dalam hal pendapatan data seluler mandiri, mencatatkan pertumbuhan sebesar 7,3 persen secara triwulanan (quarter on quarter/qoq) pada kuartal kedua tahun 2024, diikuti oleh EXCL sebesar 2,5 persen dan ISAT 2,4 persen.
"Pertumbuhan pelanggan juga meningkat seiring dengan kenaikan penggunaan data. TLKM dan EXCL masing-masing mengalami peningkatan payload data sebesar 2,2 persen dan 2,0 persen qoq, yang terkait dengan pertumbuhan basis pelanggan mereka sebesar 0,1 persen dan 1,6 persen," sambungnya dalam riset tersebut.
ISAT, di sisi lain, ungkap Steven, mencatatkan pertumbuhan payload data yang lebih signifikan sebesar 6,5 persen, meskipun basis pelanggan tetap tidak berubah, berkat kualitas jaringan yang tetap konsisten.
Peningkatan ARPU dan Moderasi Kompetisi
Riset tersebut juga menunjukkan, selama lima tahun terakhir, average revenue per user (ARPU) MNO di Indonesia terus meningkat, dengan TLKM mencatatkan nilai tertinggi sebesar Rp45 ribu, diikuti oleh EXCL sebesar Rp44 ribu dan ISAT sebesar Rp38,4 ribu.
"Peningkatan penggunaan data, yang sejak tahun fiskal 2021 tumbuh rata-rata sebesar 31,5 persen yoy, tetap menjadi pendorong utama, dengan peningkatan lebih lanjut sebesar 12,7 persen yoy pada semester pertama 2024," tutur Steven.
Telkomsel Lite, sambung dia, yang diluncurkan pada Maret 2023 dengan harga sangat kompetitif sebesar Rp1.500 per GB, tidak memicu perang harga besar-besaran di pasar. Hal ini mencerminkan prioritas MNO terhadap pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan, dengan fokus pada peningkatan ARPU daripada mengejar pangsa pasar jangka pendek melalui pemotongan harga agresif.
Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa pemotongan harga data seluler triwulanan telah berkurang secara signifikan sejak merger Indosat Ooredoo Hutchison (IOH). Sebelum merger, tiga besar MNO rata-rata memangkas harga sebesar Rp553 per GB qoq dari kuartal pertama 2019 hingga kuartal keempat 2021.
TLKM mencatatkan pemotongan harga terbesar sebesar Rp1.195 per GB, sementara ISAT dan EXCL masing-masing menurunkan harga sebesar Rp231 per GB. Namun, setelah merger, laju pemotongan harga turun tajam menjadi rata-rata hanya Rp52 per GB per kuartal.
Pada kuartal kedua 2024, TLKM dan ISAT mencatatkan penurunan harga sebesar 1,6 persen dan 3,8 persen qoq, dengan harga masing-masing menjadi Rp4.021 per GB dan Rp2.723 per GB. Sementara itu, EXCL mengalami peningkatan harga sebesar 0,5 persen menjadi Rp3.013 per GB, yang mengindikasikan bahwa perang tarif di sektor ini mulai mereda.
Sinergi Merger EXCL-FREN
Merger, ujar Steven, antara EXCL dan FREN yang akan datang diyakini dapat membentuk lanskap industri telekomunikasi yang lebih menguntungkan. Efisiensi sinergi biaya yang dihasilkan dari merger ini diharapkan dapat semakin memperkuat posisi EXCL dalam industri.
"Di sisi lain, dengan pemerintah bersiap melelang spektrum 5G akhir tahun ini, belanja modal MNO diperkirakan akan meningkat signifikan pada tahun depan. MNO yang lebih kecil, terutama di luar Jawa, akan menghadapi tantangan besar dalam hal monetisasi dan efisiensi untuk menjaga keberlanjutan bisnis mereka," tulis dia dalam laporan riset tersebut.
TLKM dan ISAT, tulis Steven, terus mendominasi dengan strategi efisiensi biaya yang terukur. Integrasi segmen IndiHome B2C ke dalam Telkomsel oleh TLKM telah menghasilkan penghematan yang signifikan, dengan biaya operasional dan pemeliharaan (O&M) yang stabil sejak merger pada kuartal ketiga 2023 hingga kuartal kedua 2024.
Selain itu, biaya pemasaran dan penjualan (S&M) menurun sebesar 3,1 persen qoq pasca-merger, berbanding terbalik dengan peningkatan 5,5 persen sebelum merger. Hasilnya, total biaya hanya meningkat rata-rata sebesar 1,6 persen, lebih rendah dari peningkatan 2,2 persen sebelum merger.
ISAT juga terus memperkuat posisinya, dengan basis pelanggan HiFi meningkat menjadi 346 ribu setelah sukses memigrasi sekitar 330 ribu pelanggan MNC Play. Ekspansi jaringan FTTH ISAT ke lokasi baru yang mencapai 1,5 juta homes-passed turut mendukung pertumbuhan pelanggan ini.
Paket data ISAT yang kompetitif, dengan harga rata-rata Rp2.723 per GB, lebih murah dibandingkan TLKM dan EXCL, terbukti berhasil menurunkan tingkat churn pelanggan. Kinerja jaringan yang diakui oleh Opensignal berkontribusi terhadap stabilitas basis pelanggan ISAT yang mencapai 100,9 juta pada kuartal kedua 2024.
Tantangan dan Risiko
Namun demikian, lanjut riset Steven, sektor telekomunikasi juga menghadapi beberapa tantangan yang harus diwaspadai. Kembalinya tekanan persaingan yang lebih intens, terutama di pasar fixed broadband (FBB), biaya operasional yang meningkat akibat akuisisi spektrum, serta potensi keterlambatan dalam pengembangan jaringan dapat menjadi risiko yang menghambat pertumbuhan industri ini di masa depan.
"Secara keseluruhan, meskipun ada tantangan, sektor telekomunikasi Indonesia terus menunjukkan prospek positif dengan sinergi yang terwujud dari merger EXCL-FREN, serta fokus pada efisiensi operasional dan pertumbuhan pelanggan bernilai tinggi," terang dia.
"Dengan capex yang diharapkan meningkat untuk pengembangan 5G dan ekspansi luar Jawa, para pelaku industri diharapkan mampu menjaga stabilitas dan memperkuat posisinya di pasar yang semakin kompetitif," pungkasnya.