Logo
>

Trump Batalkan Lisensi Chevron, Harga Minyak Naik Dua Persen

Pembatalan lisensi operasi Chevron di Venezuela oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memicu kekhawatiran baru di pasar energi

Ditulis oleh Syahrianto
Trump Batalkan Lisensi Chevron, Harga Minyak Naik Dua Persen
Sebuah kilang minyak mentah. (Foto: Pexels/Joe Ambrogio)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM -  Harga minyak melonjak lebih dari 2 persen pada Kamis, 27 Februari 2025, setelah ketegangan pasokan kembali memanas. Pembatalan lisensi operasi Chevron di Venezuela oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memicu kekhawatiran baru di pasar energi. 

    Investor juga terus memantau perkembangan terbaru terkait kemungkinan kesepakatan damai di Ukraina, yang dapat berpotensi meningkatkan aliran minyak Rusia ke pasar global.

    Minyak mentah Brent untuk pengiriman bulan depan naik USD1,51, atau 2,1%, menjadi USD74,04 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS meningkat USD1,73, atau 2,5%, menjadi USD70,35 per barel. Kontrak-kontrak tersebut sebelumnya ditutup pada sesi sebelumnya dengan mencatatkan level terendah sejak 10 Desember 2024.

    Tamas Varga, analis di PVM, menyatakan, “Pasar lebih menyukai kejelasan daripada ketidakpastian. Kecuali ada jalur yang jelas mengenai tarif dan perdamaian di Eropa Timur, harga minyak akan tetap berada dalam pola defensif, dengan reli yang sporadis dan didorong oleh berita utama."

    Pembatalan lisensi Chevron berarti perusahaan tersebut tidak lagi dapat mengekspor minyak mentah dari Venezuela. Jika perusahaan minyak negara Venezuela, PDVSA, mengambil alih ekspor minyak yang sebelumnya dilakukan Chevron, kilang-kilang AS tidak akan dapat membelinya karena sanksi AS yang berlaku.

    Langkah ini berpotensi memicu negosiasi perjanjian baru antara perusahaan AS dan PDVSA untuk mengekspor minyak ke tujuan selain AS, kata sumber yang dekat dengan pembicaraan kepada Reuters.

    Chevron mengekspor sekitar 240.000 barel per hari (bpd) dari operasi mereka di Venezuela, yang mewakili lebih dari seperempat dari total produksi minyak negara tersebut.

    "Keluar dari Chevron dapat mengurangi produksi minyak Venezuela, yang akan memberikan OPEC+ kapasitas untuk meningkatkan produksi. Jika ini terjadi, kilang-kilang AS yang berada di pantai bisa menghadapi biaya pengadaan yang lebih tinggi," kata analis TD Cowen dalam sebuah catatan.

    Harga minyak terus naik dalam perdagangan intraday setelah Reuters melaporkan bahwa OPEC+ sedang membahas apakah akan menaikkan produksi pada April sesuai rencana atau membekukannya. Anggota OPEC+ kesulitan untuk membaca gambaran pasokan global akibat sanksi baru AS terhadap Venezuela, Iran, dan Rusia, kata delapan sumber OPEC+.

    "Saya berpendapat bahwa dengan harga minyak Brent yang masih bertahan di sekitar USD75 per barel, OPEC+ kemungkinan akan menunda pemulihan pemotongan produksi sukarela setidaknya hingga akhir April dan kemungkinan hingga akhir kuartal kedua," kata Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates.

    Fokus pasar juga bergeser ke keterlibatan Trump dalam upaya untuk memfasilitasi kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina. Trump mengatakan bahwa Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy, akan mengunjungi Washington pada hari Jumat untuk menandatangani perjanjian mengenai mineral tanah jarang, meskipun pemimpin Ukraina tersebut mengungkapkan bahwa keberhasilan pembicaraan akan sangat bergantung pada bantuan AS yang berkelanjutan.

    Selain itu, data terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS melambat pada kuartal keempat 2024, yang dikonfirmasi oleh pemerintah pada Kamis. Penurunan momentum ekonomi ini tampaknya berlanjut pada awal kuartal pertama 2025, dengan cuaca dingin dan kekhawatiran bahwa tarif akan berdampak negatif pada pengeluaran konsumen melalui harga yang lebih tinggi.

    Sementara itu, jumlah orang Amerika yang mengajukan aplikasi tunjangan pengangguran baru meningkat lebih dari yang diperkirakan minggu lalu. Program pengangguran terpisah, yang dilaporkan dengan jeda satu minggu, belum menunjukkan dampak dari pemecatan massal pekerja federal yang baru-baru ini terjadi.

    Sanksi dan Tarif Membuat OPEC+ Ragu

    OPEC+ tengah mempertimbangkan apakah akan menaikkan produksi minyak pada April seperti yang direncanakan, atau justru mempertahankannya pada level saat ini. Keputusan ini sulit diambil karena anggotanya kesulitan untuk memprediksi gambaran pasokan global, terutama setelah penerapan sanksi baru AS terhadap Venezuela, Iran, dan Rusia, menurut delapan sumber OPEC+.

    Secara tradisional, OPEC+ mengonfirmasi kebijakan pasokan minyak satu bulan sebelumnya untuk memberi waktu bagi distribusi minyak mentah ke pembeli. Oleh karena itu, kelompok ini memiliki batas waktu hingga 5-7 Maret untuk memfinalisasi keputusan terkait produksi April. Namun, hingga saat ini, belum ada konsensus yang tercapai di antara anggotanya, kata beberapa sumber tersebut.

    Di dalam OPEC+, Uni Emirat Arab (UEA), yang ingin memanfaatkan kapasitas produksi yang terus meningkat, mendukung rencana untuk melanjutkan kenaikan produksi. Demikian pula, Rusia sejalan dengan keinginan UEA untuk meningkatkan produksi. Namun, anggota lain, termasuk Arab Saudi, lebih cenderung untuk menunda keputusan tersebut, tambah sumber-sumber tersebut.

    Tekanan dari Presiden AS Donald Trump terhadap OPEC juga turut memperburuk ketidakpastian. Trump menuntut OPEC untuk menurunkan harga minyak, yang sempat melonjak di atas $82 per barel pada Januari, mencetak level tertinggi dalam beberapa bulan, setelah Joe Biden—pendahulu Trump—menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia.

    Sejak itu, harga minyak telah turun menjadi sekitar $73, didorong oleh harapan bahwa Trump akan membantu merundingkan perjanjian damai antara Rusia dan Ukraina serta meningkatkan aliran minyak dari Rusia. Namun, rencana Trump untuk mengurangi ekspor minyak Iran hingga nol, serta pembatalan lisensi Chevron untuk beroperasi di Venezuela minggu ini, telah mencegah harga minyak turun lebih lanjut.

    Kombinasi faktor-faktor ini—baik yang mendukung (bullish) maupun yang menekan (bearish)—membuat pengambilan keputusan untuk kebijakan produksi April menjadi sangat kompleks, kata delapan sumber OPEC+. Selain itu, rencana Trump terkait tarif global berpotensi mengurangi permintaan minyak, yang semakin memperburuk proyeksi pasar.

    Semua sumber yang dikutip meminta untuk tidak disebutkan namanya karena sensitivitas masalah ini. OPEC dan kantor komunikasi pemerintah Arab Saudi tidak menanggapi permintaan komentar. Begitu juga dengan kantor Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak, serta kementerian energi UEA yang tidak segera memberikan respons.

    OPEC+, yang terdiri dari negara-negara anggota OPEC ditambah Rusia dan sekutunya, telah memotong produksi sebesar 5,85 juta barel per hari (bpd), atau sekitar 5,7% dari pasokan global. Langkah ini telah disepakati melalui serangkaian keputusan sejak 2022 untuk mendukung pasar minyak global.

    Pada Desember lalu, OPEC+ memperpanjang pemotongan produksi hingga kuartal pertama 2025, menunda rencana untuk mulai menaikkan produksi hingga April. Perpanjangan ini merupakan yang terbaru dari serangkaian penundaan yang telah dilakukan sebelumnya.

    Berdasarkan rencana tersebut, pelonggaran bertahap pemotongan produksi sebanyak 2,2 juta bpd—lapisan pemotongan produksi terbaru—dan dimulainya kenaikan produksi untuk UEA diperkirakan akan dimulai pada April, dengan tambahan produksi bulanan sebesar 138.000 bpd, menurut perhitungan Reuters.

    Beberapa analis, seperti yang disampaikan oleh Morgan Stanley, memprediksi bahwa OPEC+ kemungkinan akan memperpanjang pemotongan produksi tersebut. Helima Croft dari RBC Capital Markets bahkan menyarankan bahwa OPEC+ bisa menunda kenaikan produksi hingga paruh kedua 2025 karena ketidakpastian yang ditimbulkan oleh sanksi dan tarif yang berlaku. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.