KABARBURSA.COM - Dana Moneter Internasional (IMF) mendorong Amerika Serikat (AS) untuk meningkatkan pajak guna mengatasi kenaikan tingkat utang yang signifikan.
"Defisit dan utang yang tinggi membawa risiko yang semakin besar terhadap perekonomian AS dan global," kata IMF dalam laporannya, Jumat, 28 Juni 2024.
IMF merekomendasikan AS untuk menaikkan tarif pajak penghasilan secara progresif, tidak hanya untuk kelompok terkaya tetapi juga untuk rumah tangga dengan penghasilan di bawah USD400.000 per tahun.
Tingkat utang AS telah mencatat rekor dalam beberapa tahun terakhir. Jika defisit terus berlanjut, IMF memperkirakan rasio utang AS terhadap produk domestik bruto (PDB) dapat mencapai 140 persen pada akhir dekade ini. Meskipun demikian, IMF memberikan apresiasi terhadap pertumbuhan ekonomi AS yang kuat dan keberhasilannya dalam mengendalikan inflasi.
IMF melakukan sedikit revisi terhadap perkiraan pertumbuhan PDB AS untuk tahun ini, yaitu menguranginya menjadi 2,6 persen dari sebelumnya 2,7 persen. IMF memproyeksikan angka tersebut akan turun menjadi 1,9 persen tahun depan.
"Perekonomian AS telah terbukti kuat, dinamis, dan mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi global," ujar IMF.
Dana Moneter Internasional juga memperkirakan bahwa aktivitas ekonomi dan pasar tenaga kerja AS relatif stabil, sementara dampak dari disinflasi lebih kecil dari perkiraan sebelumnya. Mereka memperkirakan inflasi AS, yang diukur dengan Indeks Harga Pengeluaran Konsumsi Pribadi, akan kembali mencapai target bank sentral sebesar 2 persen pada pertengahan 2025, lebih cepat dari perkiraan Federal Reserve yang menunjukkan tahun 2026.
Permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi AS menjadi topik menarik pada debat pertama calon presiden AS, Joe Biden dan Donald Trump. Kamis, 28 Juni 2024, calon petahana Joe Biden dan rivalnya Donald Trump melakukan debat di Atlanta sebagai bagian dari kampanye presiden Amerika Serikat yang intens. Debat perdana ini diadakan empat bulan sebelum pemilihan pada 5 November, jauh lebih awal dari biasanya, dengan ekonomi menjadi topik utama yang dibahas.
Menurut Jacob Rubashkin, seorang analis pemilu dari situs non-partisan Inside Elections yang dikutip dari Reuters, Biden membutuhkan kemajuan, dan perdebatan ini adalah kesempatan terbaiknya untuk melakukan hal tersebut.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa Biden tertinggal dari Trump, meskipun masih banyak warga yang belum menentukan pilihan mereka.
"Keduanya adalah kandidat yang buruk," kata Kathy Elder, seorang manajer penjualan yang pada awalnya memilih Trump pada 2016, sebelum beralih ke Biden pada 2020.
Di samping isu ekonomi, kedua kandidat juga diharapkan membahas sejumlah isu domestik dan internasional, termasuk kebijakan aborsi serta konflik di Timur Tengah dan Ukraina. Pihak penyelenggara telah menetapkan peraturan ketat untuk mencegah debat yang kacau, dengan ancaman mematikan mikrofon kandidat yang melanggar aturan berbicara sebelum giliran mereka.
Debat ini berlangsung tanpa penonton dan tanpa izin bagi kandidat untuk membawa catatan atau alat peraga. Debat kedua dan terakhir dalam kampanye tahun ini dijadwalkan pada bulan September mendatang.
Di bawah pemerintahan Biden, kondisi ekonomi Amerika Serikat telah mengalami berbagai dinamika. Biden menghadapi tantangan yang signifikan sejak awal masa jabatannya, terutama terkait dengan pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19 dan upaya untuk menangani dampak ekonomi yang luas dari krisis tersebut.
Pada awal masa jabatannya, Biden menghadirkan paket stimulus ekonomi besar-besaran, American Rescue Plan, yang bernilai triliunan dolar untuk mendukung rumah tangga, bisnis, dan sektor publik yang terkena dampak pandemi. Langkah-langkah ini bertujuan untuk meningkatkan pengeluaran konsumen, mendukung pasar tenaga kerja, dan mempercepat pemulihan ekonomi.
Selain itu, administrasi Biden juga fokus pada rencana infrastruktur yang luas, yang bertujuan untuk memodernisasi infrastruktur AS serta menciptakan lapangan kerja baru. Rencana ini meliputi investasi dalam transportasi, energi terbarukan, broadband, dan perbaikan infrastruktur lainnya.
Secara umum, kebijakan ekonomi Biden juga mencakup upaya untuk mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi, termasuk dengan mengusulkan kenaikan tarif pajak untuk kelompok terkaya dan perusahaan besar. Pemerintahannya juga telah berupaya untuk meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, yang dianggapnya sebagai faktor kunci dalam meningkatkan mobilitas sosial dan pertumbuhan jangka panjang.
Meskipun demikian, kebijakan Biden tidak selalu mendapatkan dukungan bipartisan di Kongres, yang sering kali menjadi hambatan untuk mengimplementasikan program-programnya sepenuhnya. Selain itu, Biden juga menghadapi tekanan dari berbagai pihak terkait kebijakan energi, regulasi pasar tenaga kerja, dan perubahan iklim yang berdampak pada kebijakan ekonomi AS secara keseluruhan.
Dengan demikian, kondisi ekonomi AS di bawah pemerintahan Biden dapat digambarkan sebagai berada dalam periode transisi yang kompleks, di mana upaya pemulihan ekonomi dan agenda transformasi infrastruktur berjalan beriringan dengan tantangan politik dan ekonomi yang berkelanjutan.(*)