Logo
>

Utang Menggunung Rp23,7 Triliun: Krakatau Steel (KRAS) di Ujung Tanduk?

Per 30 Juni 2025, posisi modal kerja Krakatau Steel tercatat negatif Rp27 triliun

Ditulis oleh Pramirvan Datu
Utang Menggunung Rp23,7 Triliun: Krakatau Steel (KRAS) di Ujung Tanduk?
Fasilitas yang dimiliki dan dikelola oleh Krakatau Steel (KRAS), emiten BUMN. (Foto: Dok. Krakatau Steel)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) tengah menghadapi tekanan finansial yang kian menyesakkan. Masalah utama datang dari ketersediaan modal kerja—nafas vital bagi keberlanjutan operasi pabrik baja nasional ini.

    Per 30 Juni 2025, posisi modal kerja Krakatau Steel tercatat negatif Rp27 triliun. Kas perusahaan hanya tersisa Rp1 triliun, sementara tumpukan utang membengkak hingga Rp23,7 triliun.

    Direktur Utama Krakatau Steel, Akbar Djohan, menegaskan penyediaan modal kerja adalah kebutuhan mendesak. Tanpa itu, operasional produksi yang mencapai kapasitas 7,9 juta ton per tahun—mencakup produk Hot Rolled Coil (HRC), Cold Rolled Coil (CRC), pipa las, hingga profil konstruksi—tidak bisa berjalan optimal.

    “Restrukturisasi keuangan dan penyediaan modal kerja adalah kunci. Tanpa dukungan finansial, produktivitas dan efisiensi tidak akan pernah maksimal,” ujarnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis 2 Oktober 2025.

    Di tengah kondisi genting, Akbar mendesak pemerintah bersama DPR untuk segera turun tangan. Dukungan modal kerja dianggap penting, bukan hanya untuk menyelamatkan Krakatau Steel, tetapi juga menjaga kekuatan rantai pasok baja nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor.

    Namun ancaman tidak hanya datang dari dalam. Industri baja nasional kini digempur derasnya arus baja impor, terutama dari China, yang kian mendominasi pasar Asia Tenggara.

    Akbar menggambarkan situasi ini sebagai persimpangan jalan. Jika tidak ada kebijakan proteksi yang tegas, Indonesia akan terus dikepung produk impor murah, meskipun kapasitas produksi dalam negeri sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan.

    “Ini bukan semata kepentingan satu perusahaan. Ini menyangkut kedaulatan industri strategis nasional,” tegasnya.

    Data mencatat ekspor baja China melonjak tajam: dari 67 juta ton pada 2022, menjadi 90 juta ton pada 2023, dan menembus 117 juta ton pada 2024. Sekitar separuh dari volume tersebut mengalir ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

    Harga baja impor pun lebih murah 20–25 dolar AS per ton. Tanpa instrumen proteksi seperti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Safeguard, atau Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), produsen baja nasional dipastikan kesulitan bersaing.

    Akbar meminta, saatnya pemerintah dan DPR bertindak lebih agresif. Sebab, menyelamatkan Krakatau Steel berarti mempertahankan pilar penting industri Indonesia.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Pramirvan Datu

    Pram panggilan akrabnya, jurnalis sudah terverifikasi dewan pers. Mengawali karirnya sejak tahun 2012 silam. Berkecimpung pewarta keuangan, perbankan, ekonomi makro dan mikro serta pasar modal.