KABARBURSA.COM – Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Riza Annisa Pujarama mengungkap, perkembangan utang Indonesia semakin mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Kementerina Keuangan, per Juli 2024 utang Indonesia mencapai Rp8,502 triliun.
Sementara bunga utang, tutur Riza, kebutuhan pembiayaan utang Indonesia sebesar Rp775,9 triliun yang jatuh tempo ditambah bunga utang sebesar Rp552,85 triliun yang harus dibayarkan di tahun 2025.
“Yang menjadi permasalahan dari pembiayaan adalah, semakin tingginya pembiayaan utang kita risikonya adalah bunga utang semakin tinggi. Kenapa kita harus perhatikan? Yield-nya, imbal-hasil dari penarikan utang kita itu sangat tinggi,” kata Riza dalam acara diskusi publik bertajuk ‘RAPBN di Masa Transisi: Apa Saja yang Harus Diantisipasi?’ yang diikusi secara daring, Minggu, 18 Agustus 2024.
Dibandingkan negera-negara di Asia, kata Riza, yield 10 tahun Indonesia berada di level 6,705. Adapun angka itu menempati posisi tertinggi kedua setelah India sebesar 6,871.
“Dibandingkan dengan South East Asean, kita itu paling tinggi biaya utangnya,” jelasnya.
Sementara utang jatuh tempo Indonesia di pasar Surat Berharga Negara (SBN) pada tahun 2025 sebesar Rp705,5 triliun. Sedangkan untuk utang pinjaman internasional sebesar Rp94,83 triliun di tahun 2025.
RAPBN 2025 Kurang Optimis
Di sisi lain, Riza menilai, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 tidak seoptimis tahun-tahun sebelumnya. Hal itu mengacu pada postur asumsi dasar makro ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2024.
“Kalau dari sisi asumsi dasar makro, untuk RAPBN tahun 2025 ini tidak seoptimis dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi lebih rasional sehinggi diharapkan nanti target-target pembangunan dan sasarannya mudah-mudahan bisa tercapai,” jelasnya.
Berdasarkan target pertumbuhan ekonomi 2025, pemerintahan selanjutnya menargetkan pertumbuhan yang sama dengan tahun sebelumnya, yakni 5,2 persen dengan tingkat inflasi yang menurun dari 2,8 persen menjadi 2,5 persen di tahun 2025.
Akan tetapi, Riza mengingatkan bahwa inflasi yang rendah lantaran tiga bulan terakhir ekonomi Indonesia juga mengalami deflasi. Dia menilai, deflasi yang terjadi secara beruntun menandakan rendahnya daya beli masyarakat.
“Ini pada gilirannya, daya beli ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran, dari sisi konsumsi rumah tangga,” jelasnya.
Di sisi lain, Riza juga memaparkan target suku bunga SBN 10 tahun naik menjadi 7,1 persen di tahun 2025 dari angka sebelumnya sebesar 6,1 persen di tahun 2024. Dia menilai, naiknya suku bunga SBN terjadi lantaran kondisi ekonomi global yang masih berdinamika tinggi hingga tahun depan.
“Sehingga risiko masih besar terhadap capital outflow, sementara itu di sisi lain Indonesia itu profil jatuh tempo utangnya di tahun depan itu sangat tinggi, sekitar Rp700 triliun. Itu belum sama pembayaran suku bunga utangnya,” jelasnya.
Sementara nilai tukar rupiah, kata dia, terdepresiasi lebih dari Rp16.000 per dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun 2024. Sehingga, tutur Riza, asumsi dasar nilai tukar rupiah naik dengan rata-rata Rp10.000.
Menurutnya, hal tersebut menjadi sinyalemen bagi perekonomian Indonesia terkait daya saing nilai tukar yang menurun. Riza mengingatkan, nilai tukar rupiah perlu diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap kinerja perdangan ekspor-impor.
Di sisi lain, target harga minyak mentah juga masih ditargetkan dengan angka yang sama, yakni 82. Riza menyebut, pergerakan harga komoditas juga sudah stabil kendati tidak begitu tinggi.
Akan tetapi, produksi minyak dan gas (migas) menglami penurunan. Riza menyebut, hal itu terjadi lantaran sumur-sumur migas di Indonesia sudah terlampau tua. Sementara sumber migas belum banyak ditemukan.
Sulilt Kurangi Beban
Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Didik J Rachbini menyakini Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan sulit mengurangi beban utang pemerintah Indonesia.
Awalnya, Didik menyoroti Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Sejumlah aspek menjadi perhatian Didik, salah satunya menyangkut defisit yang terus berlanjut dan terus meningkat.
Kata dia, defisit anggaran RAPBN 2025 yang direncanakan sebesar Rp616,2 triliun, seperti tahun-tahun sebelumnya, sangat besar dan akan ditambah dengan utang.
“Selama 10 tahun masa pemerintahan (Jokowi) ini, kebijakan utang ugal-ugalan, sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintahan Prabowo,” kata Didik secara tertulis, Sabtu, 17 Agustus 2024.
Apalagi, lanjut Didik, dengan janji politik yang banyak sekali, sulit bagi pemerintahan ke depan dapat mengurangi ketergantungan pada utang dengan mengoptimalkan penerimaan negara. Sehingga laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat dan merusak iklim makro karena suku bunga akan didorong naik terus.
Sampai pertengahan Tahun 2024 ini telah ditawarkan setidaknya hampir Rp1.000 triliun Surat Berharga Negara (SBBN), tetapi laku di pasar hanya separuhnya, sekitar Rp517 triliun.
Dan, pada 2023, SBN yang ditawarkan di pasar mencapai Rp1.800 triliun, tetapi laku di pasar sebesar Rp807 triliun.
“Jadi, selama 10 tahun ini pemerintah Jokowi sudah mendorong ekonomi utang masuk jurang sehingga harus gali lubang tutup lubang,” ucap Didik.
Dia pun membandingkan dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mewariskan utang sekitar Rp2.608 triliun. Sepuluh Tahun berikutnya di masa pemerintahan Jokowi utang mencapai Rp8.338 triliun, naik tiga kali lipat dengan pembayaran bunga yang sangat tinggi, yaitu sebesar Rp497 triliun.
“Beban bunga utang ini jauh lebih besar dari pos anggaran kementerian, sektor maupun provinsi mana pun. Jika dibandingkan, misalnya dengan APBN provinsi, pembayaran utang ini 1.600 persen lebih tinggi total APBD rakyat Jawa Barat,” pungkasnya.(*)