Logo
>

Wacana Penurunan Harga Tiket: Begini Prospek GIAA dan CMPP

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Wacana Penurunan Harga Tiket: Begini Prospek GIAA dan CMPP

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Di tengah gejolak ekonomi global, industri penerbangan Indonesia menghadapi tantangan yang semakin meningkat. Lonjakan harga tiket pesawat yang tajam belakangan ini memicu kekhawatiran di kalangan pengusaha dan calon penumpang. Meski demikian, keuntungan yang dihasilkan maskapai penerbangan justru tidak sebanding.

    Menyoroti permasalahan ini, Investment Consultant dari PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk, Reza Priyambada, menekankan bahwa biaya maintenance yang tinggi menjadi salah satu akar permasalahan utama dalam industri aviasi.

    "Problem di industri aviasi memang di biaya maintenance yang tinggi,"  katanya kepada Kabar Bursa, Kamis 18 Juli 2024.

    Dia juga menyoroti ketidakmerataan tarif tiket penerbangan yang mengakibatkan persaingan tidak sehat antar maskapai. Menurutnya, perlunya keseimbangan dalam penetapan harga untuk memastikan persaingan yang sehat.

    "Bukan berarti antara 1 maskapai harus sama harganya dengan maskapai lain sih tp paling tidak spreadnya tidak terlalu jauh," ungkap dia.

    Dia mengasumsikan, anggap saja, untuk perjalanan ke Bali, harga tiket di maskapai A adalah sekitar Rp850 ribu. Sementara itu, di maskapai B, tiket bisa ditemukan dengan harga lebih murah, minimal sekitar Rp800 ribu hingga Rp750 ribu. "jangan pasang harga promo Rp250 ribu-Rp350 ribu," tambahnya.

    Seiring dengan itu, Pemerintah melalui Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno katanya tengah memastikan untukmembentuk satuan tugas (satgas) penurunan harga tiket pesawat. Hal ini sebagai upaya menciptakan harga tiket pesawat yang lebih efisien di Indonesia.

    Dia pun mengatakan kebijakan pengaturan soal tarif dan juga biaya maintenance harus ada. Sehingga cost aviasi bisa lebih rendah dan mereka bisa bersaing secara sehat.

    '"Jadi, persaingannya bukan di tarif namun, di sisi pelayanan yang diberikan kepada customer," terangnya.

    Laporan Masih Rugi

    Senada, Pengamat penerbangan, Gatot Rahardjo mengungkapkan kebijakan pemerintah untuk menekan biaya-biaya tambahan diharapkan dapat membantu maskapai mencapai margin keuntungan yang layak atau setidaknya mencapai titik impas (BEP). Meski performa operasional beberapa maskapai terus membaik, laporan laba mereka masih menunjukkan angka rugi.

    Namun, keuangan maskapai saat ini sedang tidak stabil. Kendala finansial yang dihadapi oleh maskapai ini sebagian besar disebabkan oleh kebijakan pemerintah, seperti pajak, bea masuk, dan tarif yang diatur pemerintah.

    "Maskapai sudah melakukan berbagai cara, tapi ada hal-hal yang berada di luar jangkauan mereka," ungkap dia kepada Kabar Bursa, Kamis 18 Juli 2024.

    Dia pun melihat laporan keuangan maskapai yang memiliki statu terbuka atau Tbk, memang performa operasional meningkat, tapi tidak dengan laporan laba nya yang merugi.

    "Dalam laporan rugi laba tetap rugi karena biaya-biaya operasional dan non operasional lebih besar dari pendapatan," katanya

    Diketahui, dua maskapai penerbangan yang telah mencapau status sebagai perusahaan terbuka (TBK) adalah, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) dan PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP). Namun, mereka sedang menghadapi tantangan besar dalam menjaga kestabilan keuangan dan kelangsungan operasional mereka di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti. Pertanyaannya, apa langkah selanjutnya untuk mengatasi tantangan finansial yang dihadapi dan meningkatkan keberlanjutan operasional mereka?

    Kedua maskapai ini sebenarnya telah menyampaikan permintaan mereka kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk merevisi kembali tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) tiket pesawat menjadi langkah strategis dalam menanggulangi kenaikan biaya operasional. Mengingat kedua maskapai ini tengah menghadapi beban biaya operasional yang tinggi, terutama karena depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan beban pajak tambahan yang diberlakukan pemerintah.

    Kepala Hubungan Pemerintahan dan Komunikasi Perusahaan AirAsia Eddy Krismeidi menjelaskan bahwa kenaikan TBA tiket pesawat bisa membantu maskapai menyeimbangkan kenaikan biaya operasional, terutama dalam hal harga bahan bakar dan dampak depresiasi nilai tukar rupiah. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan struktur biaya yang lebih efisien bagi industri penerbangan.

    "Kontribusi utama biaya operasional adalah harga bahan bakar dan depresiasi rupiah. Kalau ini bisa ditekan, akan membuat struktur biaya penerbangan lebih baik," jelasnya.

    Begitupun juga Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia Irfan Setiaputra. Dia menyatakan sudah meminta Kemenhub mengevaluasi penetapan TBA/TBB. Maskapai selama ini terbebani dengan tingginya biaya operasional penerbangan akibat pelemahan rupiah terhadap dolar AS dan tambahan pajak lain.

    "Soal operasional selama itu bisa kontrol, kita lakukan. Cuma kalau di luar pengontrolan kami seperti kurs rupiah dan pajak-pajak lain, bagaimana bisa mengefisiensikan operasional," urainya

    Jika diperhatikan, tidak stabilnya kondisi keuangan maskapai penerbangan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali mereka. Namun demikian, mari kita teliti lebih lanjut laporan keuangan mereka bersama-sama.

    Laporan Keuangan GIAA

    PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) pada kuartal I-2024 mengalami peningkatan beban usaha meningkat menjadi sebesar USD702,9 juta dari sebelumnya di USD605,1 juta pada dibandingkan kuartal I 2023.

    Kenaikan beban itu juga disebabkan oleh naiknya bebans operasional penerbangan dan beban pemeliharaan dan perbaikan yang masing-masing menjadi USD371,07 juta (naik 6,71 persen) dan USD123,8 juta (naik 36,3 persen).

    Kendati demikian GIAA sejatinya mencatatkan kenaikan pendapatan usaha sebesar 18,07 persen menjadi USD711,98 juta (Rp11,58 triliun) dibandingkan kuartal I 2023 yang sebesar USD602,9 juta (Rp9,80 triliun).

    Naiknya pendapatan usaha tersebut ditopang oleh pendapatan melalui penerbangan berjadwal yang juga naik  18,19 persen menjadi sebesar USD599,01 juta dari sebelumnya di USD506,8 juta. Ini menyumbang sekitar 84 persen dari total pendapatan.

    Selanjutnya, pendapatan dari segmen penerbangan tidak berjadwal juga naik menjadi US$19,6 juta dari sebelumnya di US$12,8 juta. Sementara itu, pendapatan lainnya juga mencatatkan peningkatan sebesar 11,92 persen menjadi USD92,28 juta. 

    Berdasarkan laporan keuangan yang dirilis pada Kamis, 9 Mei 2024, pendapatan perusahaan meningkat 75,24 persen year-on-year (yoy) menjadi Rp 6,62 triliun.

    Indonesia AirAsia masih melanjutkan pemulihan kinerjanya dari pandemi, sebagian besar pendapatan berasal dari operasi penerbangan, dimana penjualan tiket kursi pesawat memberikan kontribusi sebesar Rp 5,63 triliun, diikuti oleh pendapatan dari bagasi sebesar Rp 731,74 miliar. Selain itu, pendapatan juga berasal dari layanan penerbangan sebesar Rp 125,85 miliar, kargo Rp 44,26 miliar dan charter Rp 14,08 miliar

    Denpasar menjadi sumber pendapatan utama senilai Rp 2,63 triliun, diikuti oleh Jakarta senilai Rp 2,58 triliun

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.