KABARBURSA.COM - Wall Street terperosok pada Selasa waktu Amerika atau Rabu, 8 Januari 2025 dini hari WIB setelah serangkaian data ekonomi positif malah memunculkan kekhawatiran baru. Investor cemas jika lonjakan inflasi AS bisa memperlambat langkah Federal Reserve atau The Fed dalam melonggarkan kebijakan moneternya.
Padahal, sesi perdagangan sempat dibuka dengan hijau. Namun laporan dari Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan pembukaan lapangan kerja justru naik secara tak terduga pada November 2024. Belum cukup, laporan lain mencatat aktivitas sektor jasa pada Desember meningkat, sementara harga bahan baku melonjak ke level tertinggi dalam dua tahun terakhir.
“Pasar tadinya mengira kita sudah masuk babak akhir dalam pertarungan melawan inflasi. Ternyata malah harus siap berlama-lama,” kata kepala strategi perdagangan di Charles Schwab, Joe Mazzola, dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, 8 Januari 2025.
Dampaknya jelas terasa di indeks utama. Dow Jones Industrial Average turun 178,20 poin atau 0,42 persen ke 42.528,36. S&P 500 anjlok 66,35 poin atau 1,11 persen ke 5.909,03. Nasdaq Composite paling parah, terjun 375,30 poin atau 1,89 persen ke 19.489,68.
Saham sektor teknologi ikut terhantam, terpangkas 2,39 persen setelah kenaikan imbal hasil obligasi membuat sektor ini tertekan. Saham Nvidia, yang menjadi patokan sektor AI, bahkan jatuh 6,22 persen. Dari 11 sektor di S&P 500, hanya sektor kesehatan dan energi yang selamat dari penurunan.
Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun pun naik ke level 4,699 persen–tertinggi sejak April–sebagai respons atas data ekonomi yang dinilai terlalu kuat. “Data ini jelas memberi tekanan inflasi tambahan, dan itulah alasan imbal hasil naik,” kata kepala riset Horizon Investments, Mike Dickson.
Data ini juga memundurkan ekspektasi soal kapan The Fed bakal memangkas suku bunga pertama kali di 2025. Pelaku pasar kini memprediksi pemangkasan suku bunga baru terjadi pada Juni 2025. The Fed pun diyakini akan lebih berhati-hati dalam membuat keputusan di sisa tahun.
Investor juga mencemaskan kebijakan tarif impor era pemerintahan Trump yang baru bisa memicu inflasi barang konsumsi. “Perpaduan antara pertumbuhan ekonomi yang kuat dan tekanan inflasi baru dari tarif ini mungkin membuat The Fed tidak lagi memangkas suku bunga di setiap pertemuan, melainkan selang-seling,” jelas kepala ekonom Comerica Bank, Bill Adams.
Pekan ini, perhatian pelaku pasar tertuju pada laporan data tenaga kerja non-pertanian yang akan dirilis serta risalah pertemuan Desember The Fed.
Pada sesi sebelumnya, indeks S&P 500 dan Nasdaq gagal mencapai level tertinggi dalam sepekan karena ketidakpastian yang muncul setelah Presiden terpilih Donald Trump membantah laporan soal kemungkinan kebijakan tarif yang lebih lunak. Futures S&P 500 turun tipis 0,07 persen. Nasdaq futures juga melemah 0,16 persen setelah sebelumnya indeks utama di Wall Street naik ke level tertinggi dalam lebih dari seminggu
Saham Tesla turun 4 persen setelah BofA Global Research menurunkan rekomendasi sahamnya dari “beli” menjadi “netral.” Sebaliknya, saham Micron Technology naik 2,67 persen setelah CEO Nvidia, Jensen Huang, mengonfirmasi Micron menyediakan memori untuk chip gaming GeForce RTX 50 Blackwell mereka.
Saham Citigroup naik 1,29 persen setelah ulasan positif dari Truist Securities, sedangkan Bank of America menguat 1,5 persen berkat kenaikan peringkat dari setidaknya tiga perusahaan sekuritas. Beberapa bank besar dijadwalkan merilis laporan keuangan kuartalan minggu depan.
Meski ada beberapa kabar positif, jumlah saham yang turun tetap lebih banyak daripada yang naik, dengan rasio 2,14 berbanding 1 di NYSE dan Nasdaq. S&P 500 mencatat sembilan rekor tertinggi baru dalam setahun terakhir, tetapi juga mencatat 16 level terendah baru. Sementara itu, Nasdaq mencatat 60 rekor tertinggi baru dan 58 level terendah baru.
Drama ini berawal dari laporan The Washington Post yang menyebut tim Trump sedang merancang kebijakan tarif impor yang tidak menyasar semua negara, melainkan hanya sektor-sektor tertentu yang dianggap krusial bagi keamanan nasional dan ekonomi. Kebijakan ini dianggap sebagai pelunakan sikap dari janji-janji kampanye Trump yang penuh ketegangan.
Namun, euforia pasar tak bertahan lama. Setelah Trump membantah laporan tersebut di akun Truth Social-nya, kurs dolar AS kembali menguat dan memupus sebagian penurunan sebelumnya. “Kebijakan tarif Trump masih penuh tanda tanya,” ujar Kepala Riset Asia di ANZ, Khoon Goh. “Bisa saja laporan itu benar, tapi pada akhirnya keputusan tetap ada di tangan Trump.”
Volume perdagangan di bursa AS pun mencapai 20,45 miliar saham, jauh di atas rata-rata 12,52 miliar dalam 20 hari perdagangan terakhir. Pasar AS akan tutup pada Kamis mendatang untuk hari berkabung nasional guna menghormati wafatnya mantan Presiden Jimmy Carter.(*)