KABARBURSA.COM – Wall Street bergerak lesu pada Sabtu, 21 Juni 2025, dini hari WIB, usai libur nasional Juneteenth. Dilansir dari AP di Jakarta, indeks S&P 500 melemah 0,3 persen pada perdagangan siang setelah berayun antara zona merah dan hijau sepanjang pagi. Sementara itu, Dow Jones Industrial Average terkoreksi tipis 44 poin atau 0,1 persen, dan Nasdaq anjlok lebih dalam, 0,6 persen.
Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah cenderung stabil. Investor tengah menanti keputusan penting dari Presiden Donald Trump yang menyatakan akan memutuskan dalam dua pekan apakah Amerika akan melibatkan militer secara langsung dalam konflik Israel-Iran. Jeda waktu ini menjadi celah bagi kemungkinan penyelesaian diplomatik atas isu nuklir Iran, demi menghindari eskalasi konflik yang lebih luas.
Ketegangan geopolitik itu membuat harga minyak berayun tajam. Ketakutan akan terganggunya pasokan global sempat mendorong harga naik, mengingat Iran adalah produsen utama minyak dunia dan menguasai Selat Hormuz, jalur strategis yang dilintasi sebagian besar ekspor minyak dunia.
“Kita semua tengah menunggu dengan was-was apa yang akan terjadi dalam konflik Israel dan Iran,” ujar Kepala Ekonom Annex Wealth Management, Brian Jacobsen. “Situasi seperti ini memang menguji ketahanan pasar, tapi sering kali cara terbaik menyikapinya adalah tetap tenang dan tidak buru-buru mengambil posisi."
Kinerja Emiten Campur Aduk
Di lantai bursa Wall Street, saham Kroger melonjak 8,8 persen usai mencatatkan laba yang melampaui ekspektasi analis. Perusahaan ritel itu juga menaikkan proyeksi pendapatan operasional tahunannya. CFO Kroger, David Kennerley, menyebut ada tren positif dalam kinerja perusahaan meski lingkungan ekonomi masih diliputi ketidakpastian.
Sementara itu, CarMax juga mencatat kenaikan 6,4 persen. Laba kuartalan dealer mobil bekas itu melampaui ekspektasi analis, ditopang oleh lonjakan penjualan mobil bekas sebesar hampir 6 persen dibanding tahun lalu.
Namun, tidak semua emiten bernasib baik. Saham Smith & Wesson Brands, produsen senjata api, anjlok 19,5 persen setelah laba dan pendapatan kuartalannya gagal memenuhi target pasar. CFO Deana McPherson menyebut kombinasi inflasi yang membandel, suku bunga tinggi, serta kekhawatiran soal tarif menjadi beban utama bagi permintaan pasar. Perusahaan memperkirakan permintaan sepanjang tahun fiskal mendatang tak jauh berbeda dari tahun ini—tergantung pada bagaimana kebijakan tarif dan inflasi bergerak ke depan.
Tak sedikit pula perusahaan yang mulai mengubah atau bahkan menarik kembali panduan keuangan tahunannya akibat ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif Trump. Banyak yang masih menunggu, seberapa besar dampaknya terhadap konsumen dan rantai pasok global.
Kebijakan moneter juga ikut terpengaruh. Bank Sentral AS (Federal Reserve) masih mempertahankan suku bunga acuannya sejak awal tahun ini, termasuk dalam keputusan terbaru pekan ini. The Fed memilih bersikap hati-hati, menanti sejauh mana tekanan tarif bakal memperlambat ekonomi dan memicu inflasi.
Di pasar obligasi, imbal hasil surat utang 10 tahun AS sedikit melemah ke level 4,37 persen dari 4,38 persen pada Rabu. Yield obligasi dua tahun—yang lebih sensitif terhadap ekspektasi suku bunga The Fed—turun ke 3,91 persen dari 3,94 persen.
Di luar negeri, bursa saham di Eropa dan Asia mencatat kinerja campuran. Indeks Nikkei 225 di Tokyo terkoreksi 0,2 persen setelah Jepang merilis angka inflasi inti (tanpa makanan) yang naik menjadi 3,7 persen pada Mei. Lonjakan inflasi ini menambah tantangan bagi pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba dan Bank Sentral Jepang dalam mengelola tekanan harga.(*)