KABARBURSA.COM — Wall Street kembali menguat dan mendekati rekor tertingginya pada Rabu, 25 Juni 2025, dini hari WIB. Dorongan datang dari meredanya harga minyak mentah, setelah muncul harapan bahwa perang antara Israel dan Iran tidak akan mengganggu pasokan minyak global.
Dilansir dari AP di Jakarta, Rabu, indeks S&P 500 naik 1,1 persen, melanjutkan reli bursa yang juga terjadi di Eropa dan Asia. Kenaikan ini dipicu pernyataan Presiden Donald Trump pada Senin malam, bahwa Israel dan Iran telah menyepakati “gencatan senjata total dan menyeluruh.” Indeks acuan pasar modal AS itu kini hanya terpaut 0,8 persen dari posisi tertinggi sepanjang sejarah yang tercatat Februari lalu, setelah sempat anjlok hingga 20 persen pada musim semi.
Sementara itu, Dow Jones Industrial Average melonjak 507 poin atau 1,2 persen. Indeks Nasdaq menguat lebih tinggi, sebesar 1,4 persen.
Penguatan terbesar justru terlihat di pasar minyak. Harga minyak mentah acuan Amerika Serikat turun enam persen dan ditutup di level USD64,37 per barel. Harga Brent, patokan internasional, mencatat penurunan serupa.
Selama konflik Iran-Israel berlangsung, pasar khawatir akan potensi gangguan suplai minyak dunia. Iran merupakan salah satu produsen minyak utama, dan memiliki posisi strategis di Selat Hormuz—jalur pelayaran yang dilintasi 20 persen kebutuhan minyak dunia setiap hari.
Namun kekhawatiran itu sedikit mereda setelah Iran hanya melancarkan serangan terbatas sebagai balasan terhadap keterlibatan Amerika dalam konflik, dan tak menyasar fasilitas produksi maupun distribusi minyak.
Meski serangan lintas batas masih terjadi hingga tenggat gencatan awal Selasa, Trump menyatakan gencatan senjata telah “berlaku”.
Penurunan harga minyak dalam dua hari terakhir bahkan membuat nilainya lebih rendah dibandingkan sebelum konflik pecah dua pekan lalu. Menurut analis komoditas dari Commerzbank, Carsten Fritsch, pasar minyak global kini cukup berlimpah pasokan.
Dengan aliansi OPEC+ terus menambah produksi, harga minyak berpotensi melandai lebih jauh selama gencatan senjata bertahan dan ada solusi damai jangka panjang.
Koreksi harga minyak ini dapat meredakan tekanan inflasi, yang bisa memberi ruang bagi bank sentral AS (Federal Reserve) untuk kembali memangkas suku bunga.
Bagi Wall Street, suku bunga rendah disukai karena menstimulasi pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan biaya pinjaman rumah tangga maupun korporasi. Namun, pelonggaran kebijakan juga membawa risiko tambahan terhadap inflasi.
Itulah sebabnya The Fed memilih bersikap hati-hati sepanjang tahun ini, setelah sempat menurunkan suku bunga di akhir tahun lalu. Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan pihaknya ingin melihat dampak penuh dari kebijakan tarif Trump terhadap ekonomi dan inflasi sebelum mengambil langkah lanjutan.
Hingga saat ini, ekonomi AS dinilai masih cukup tangguh. Meski begitu, laporan kepercayaan konsumen yang dirilis Selasa menunjukkan hasil di bawah ekspektasi ekonom, dan inflasi tercatat sedikit di atas target The Fed sebesar dua persen.
Trump terus mendesak penurunan suku bunga lebih lanjut. Dua anggota dewan gubernur bank sentral pilihannya bahkan menyebut kemungkinan pemangkasan suku bunga sudah bisa dipertimbangkan pada rapat The Fed berikutnya bulan depan. Meski begitu, Powell tetap bersikap lebih hati-hati—meski ia mengisyaratkan bahwa langkah The Fed selanjutnya kemungkinan adalah pemangkasan.
Dalam sidang dengar pendapat bersama Kongres, Ketua The Fed Jerome Powell ditanya apakah penurunan suku bunga bisa dilakukan secepatnya pada Juli mendatang. Powell menjawab diplomatis, “Kita akan sampai pada titik di mana suku bunga diturunkan, lebih cepat daripada nanti—tapi saya tidak ingin menunjuk ke satu pertemuan tertentu. Saya rasa kita tidak perlu tergesa-gesa karena ekonomi masih kuat.”
Pernyataan itu disambut positif oleh pasar obligasi. Imbal hasil (yield) surat utang negara AS tenor 10 tahun turun menjadi 4,29 persen dari sebelumnya 4,34 persen pada akhir perdagangan Senin.
Sementara itu, imbal hasil obligasi bertenor dua tahun—yang lebih sensitif terhadap ekspektasi kebijakan Federal Reserve—turut melandai dari 3,84 persen menjadi 3,81 persen.
Penurunan yield ini mencerminkan meningkatnya harapan bahwa The Fed akan mulai melonggarkan kebijakan moneternya, di tengah inflasi yang mulai jinak dan ketegangan geopolitik yang cenderung mereda.(*)