KABARBURSA.COM - Wall Street melaju naik pada Selasa waktu setempat atau Rabu, 22 Januari 2025, WIB. Indeks Dow Jones Industrial Average menyentuh level tertinggi dalam lebih dari sebulan. Investor kini sibuk mencerna serangkaian perintah eksekutif Presiden Donald Trump di hari-hari awal masa jabatannya, sembari menunggu langkah pertamanya soal kebijakan perdagangan.
Trump belum memberikan rencana pasti soal tarif universal yang sempat ia janjikan, begitu pula dengan tambahan beban untuk mitra dagang dekat seperti Kanada dan Meksiko. Namun, ia menyebut bahwa keputusan soal tarif barang dari kedua negara tersebut bisa saja diumumkan mulai 1 Februari.
Investor tetap waspada, sebab tarif ini dapat memicu perang dagang global sekaligus menambah tekanan inflasi. Kendati demikian, Goldman Sachs menurunkan perkiraan mereka untuk tarif universal tahun ini dari 40 persen menjadi 25 persen.
“Trump adalah orang yang fokus pada kesepakatan. Jadi, selama ada pemerintah yang mau duduk bersama dan bekerja untuk kompromi, tarif yang diterapkan tidak akan seberat yang orang khawatirkan,” kata CEO BRI Wealth Management, Dan Boardman-Weston, dikutip dari Reuters di Jakarta, Rabu.
Dow Jones Industrial Average naik 396,33 poin (0,91 persen) ke level 43.884,16. S&P 500 bertambah 28,95 poin (0,48 persen) ke 6.025,61, dan Nasdaq Composite naik tipis 17,53 poin (0,09 persen) ke 19.647,73.
Sektor industri di S&P 500 memimpin dengan lonjakan 1,8 persen. Indeks S&P 500 versi bobot merata juga naik 1 persen, di mana ini mencatat level tertinggi dalam sebulan. Indeks saham berkapitalisasi kecil, Russell 2000, menguat 1,5 persen ke level tertinggi dalam sebulan juga.
Saham-saham otomotif, yang sensitif terhadap tarif karena rantai pasoknya yang luas, ikut terdorong. Ford naik 1,7 persen, sementara General Motors melesat 4,7 persen setelah mendapatkan peningkatan peringkat dari Deutsche Bank.
Jejak Trump di Pasar
[caption id="attachment_111815" align="alignnone" width="1600"] Tarif Donald Trump ancam pabrik mobil global. (Foto: Reuters)[/caption]
Selama tahun pertama masa jabatan Trump sebelumnya, S&P 500 naik 19,4 persen. Dalam empat tahun kepemimpinannya, indeks acuan ini melompat hampir 68 persen, meski diselingi gejolak akibat perang dagang dengan China. Pekan lalu, S&P 500 dan Dow mencatatkan kenaikan mingguan terbesar sejak awal November. Kenaikan ini didukung oleh laporan laba bank yang kuat serta indikasi bahwa inflasi mulai melandai.
Namun, inflasi yang masih di atas target 2 persen Federal Reserve terus menjadi momok, dengan kekhawatiran bahwa kebijakan Trump dapat menunda langkah bank sentral untuk melonggarkan kebijakan moneter. Para ekonom memperkirakan Fed akan mempertahankan suku bunga saat rapat pekan depan, sementara pasar melihat potensi pemangkasan suku bunga pertama pada Juli mendatang.
Sementara itu, sektor teknologi sedikit lesu. Saham Apple turun 4,5 persen setelah Jefferies memangkas peringkatnya menjadi ‘underperform’. Sementara itu, 3M melonjak 4,5 persen berkat laporan laba kuartal keempat yang positif.
Walgreens anjlok 13,6 persen setelah Departemen Kehakiman menuduhnya mengisi resep obat penghilang rasa sakit adiktif secara ilegal. Di sisi lain, Moderna naik 6 persen setelah mendapatkan USD590 juta (sekitar Rp9,4 triliun) dari pemerintah AS untuk mempercepat pengembangan vaksin flu burung.
Pada perdagangan hari ini, saham-saham yang naik lebih banyak dibandingkan yang turun dengan rasio 4,64 banding 1 di NYSE, dan 2,18 banding 1 di Nasdaq. S&P 500 mencatat 36 rekor tertinggi dalam setahun tanpa ada rekor terendah baru, sementara Nasdaq membukukan 101 rekor tertinggi dan 58 rekor terendah.
Dengan pasar yang terus bergerak dinamis, semua mata kini tertuju pada langkah Trump berikutnya yang masih menjadi teka-teki besar. Tarik ulur tarif dan janji kebijakan lainnya akan menentukan arah ekonomi, tidak hanya di AS, tapi juga global.
Tembak Tarif untuk Kanada dan Meksiko
[caption id="attachment_114150" align="alignnone" width="1134"] Presiden Donald Trump menunjuk sebuah pertanyaan saat ia berbicara tentang virus corona selama jumpa pers di Rose Garden, Gedung Putih di Washington, 11 Mei 2020 ini. (Foto AP/Alex Brandon)[/caption]
Di hari pertamanya di Gedung Putih, Trump langsung mengumumkan rencana menerapkan tarif impor sebesar 25 persen untuk Kanada dan Meksiko mulai 1 Februari. Meski begitu, ya bungkam soal rencana tarif untuk produk dari China.
Dalam sesi penandatanganan perintah eksekutif di Oval Office, Trump menyebut tarif impor sebagai langkah strategis untuk memperkuat ekonomi domestik. Meski dalam kampanyenya ia mengancam tarif hingga 60 persen untuk China, nada Trump tampak melunak setelah berdiskusi dengan Presiden China Xi Jinping pekan lalu.
“Kami akan mengadakan pertemuan dan panggilan telepon dengan Presiden Xi,” ujar Trump, dikutip dari AP.
Namun, langkah agresif ini membawa pertanyaan besar, apakah tarif impor dan kebijakan eksekutif lainnya benar-benar mampu mengatasi inflasi dan menurunkan harga energi seperti yang dijanjikan Trump. Pasalnya, beban tarif biasanya berujung pada kenaikan harga barang bagi konsumen domestik, bukan negara eksportir.
Trump menuding inflasi yang melambung selama pemerintahan Joe Biden disebabkan oleh bantuan pandemi senilai USD1,9 triliun pada 2021 dan kebijakan pembatasan pengeboran minyak, meskipun data menunjukkan produksi minyak domestik tetap berada di level tertinggi.
“Krisis inflasi ini akibat pengeluaran besar-besaran yang tidak terkendali,” klaim Trump dalam pidato pelantikannya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.