KABARBURSA.COM – Pelarangan truk ODOL (Over Dimension dan Over Load) yang mengancam keselamatan para pengguna jalan akhirnya mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Menurut Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno, Kebijakan Zero ODOL untuk memberantas praktek truk ODOL kini bukan sekadar jargon, tapi langkah konkret yang dinilai lebih bijak demi keselamatan, kelancaran lalu lintas, dan perlindungan infrastruktur.
Dalam catatan Djoko, kecelakaan tragis yang melibatkan truk ODOL atau kelebihan muatan dan dimensi ini kembali menegaskan urgensi penertiban. Insiden maut akibat truk ODOL seperti di Ciawi, Jawa Barat pada 5 Februari lalu, di Purworejo, Jawa Tengah pada 7 Mei 2025, hingga yang terbaru di Semarang pada 9 Mei lalu, bukanlah kasus kecelakaan tunggal.
"Kecelakaan angkutan barang hampir terjadi setiap hari, baik karena rem blong, kelalaian pengemudi, maupun kendaraan yang tak laik jalan," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima KabarBursa.com, Selasa 13 Mei 2025.
Dampak yang lebih memprihatinkan, kata Djoko, terjadi akibat truk ODOL yang sering menjadi momok keselamatan di jalan tol.
"Kerap kali ditabrak dari belakang karena bergerak lambat atau berhenti mendadak. Istilahnya tabrak depan belakang. Ini menunjukkan betapa seriusnya dampak truk ODOL terhadap keselamatan pengguna jalan lainnya," jelas Pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) tersebut.
Lebih lanjut, kecelakaan lalu lintas akibat truk ODOL merupakan cerminan dari lemahnya tata kelola yang meliputi pengawasan dan perawatan kendaraan niaga yang bertugas mengangkut muatan ini.
Bisa dibilang, lemahnya pengawasan sampai perawatan armada angkutan barang menjadi penyumbang utama kecelakaan.
"Selain minimnya kompetensi pengemudi, banyak truk yang tidak memenuhi standar teknis. Situasi ini diperparah oleh rendahnya kesadaran akan keselamatan dan tata kelola transportasi yang belum optimal," kata Djoko.
Akar Masalah Praktik Truk ODOL
Djoko menilai, sejak disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, terjadi persaingan tarif tak sehat antar pengusaha truk. Pada Pasal 184 dalam UU tersebut, seolah membebaskan penetapan tarif melalui kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia layanan angkutan barang, tanpa batas bawah atau atas. Sehingga menciptakan perang tarif yang terbilang brutal.
"Akibatnya, banyak perusahaan truk terpaksa menurunkan biaya operasional, termasuk dengan melanggar aturan muatan agar tetap menang tender. Truk ODOL pun menjadi pilihan ‘efisien’, meski merugikan jalan dan membahayakan nyawa," tegasnya.
Langkah Serius Pemerintah dalam Zero ODOL Mulai Tahun 2026
MTI melaporkan, pada 6 Februari lalu terdapat arahan dari Presiden Prabowo Subianto dan Kantor Staf Presiden yang mengundang 11 instansi kunci dan organisasi, mulai dari MTI, Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT), Institut Studi Transportasi (Instran), Inteligent Transportation System (ITS), Korlantas Polri, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, PT Jasa Marga, PT Jasa Raharja, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).
Selain itu masih ada sejumlah instansi dan kelompok masyarakat yang perlu didengar masukannya, seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Road Safety Assosiation (RSA), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Asosiasi Logistik Indonesia, Komunitas Pengemudi Truk, hingga PT Hutama Karya.
Setelah sekian lama tertunda, akhirnya pada 25 Februari 2025, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi sepakat menjalankan kebijakan Zero ODOL.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono, juga menargetkan kebijakan ini efektif berlaku mulai 2026.
Langkah ini juga akan dituangkan dalam Peraturan Presiden mengenai penguatan logistik nasional, termasuk pemberian insentif bagi pelaku usaha agar bertransisi dari praktik ODOL.
Jangan Bebani Jalan Raya Saja
Djoko juga menyoroti beban yang dipikul transportasi darat serta infrastruktur jalan raya dalam kegiatan angkutan barang, hal ini juga dapat terus memicu praktik truk ODOL.
Ia memaparkan bahwa, Indonesia adalah negara kepulauan yang punya banyak alternatif moda transportasi logistik selain jalan raya. Di Pulau Jawa, terdapat 4.573 kilometer (km) jaringan rel kereta api. Namun hingga kini belum dimaksimalkan untuk angkutan barang.
"Sayangnya, logistik menggunakan KA masih kurang kompetitif karena dikenai PPN 11 persen, BBM non-subsidi, serta biaya akses rel (track access charge). Sebaliknya, truk mendapat subsidi BBM dan tidak dikenai PPN, sehingga biaya angkutan jalan cenderung lebih murah, meskipun dampaknya lebih besar terhadap kerusakan jalan," terang Djoko.
Padahal akan lebih Ideal bila jalan raya digunakan khusus untuk jarak pendek atau di bawah 500 km. "Jika jaraknya melebihi 500 km hingga 1.500 km atau tergolong jarak menengah, bisa mengandalkan kereta api.
Sementara untuk jangkauan yang lebih jauh, bisa menggunakan kapal laut," sebut Djoko.
Selanjutnya menurut Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2023, biaya logistik nasional Indonesia masih tinggi, yakni 14,29 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Sementara biaya transportasi menyumbang 8,79 persen dari angka tersebut. Skor Logistics Performance Index (LPI) Indonesia pada 2023 juga hanya 3,0, kalah dari negara tetangga seperti Malaysia sebesar 3,6 dan 3,3 di Vietnam.
Ini artinya, kinerja logistik dari segi infrastruktur hingga proses logistik di Indonesia untuk perdagangan internasional terhitung lemah serta kurang efisien dibanding Malaysia maupun Vietnam.
Perlu Roadmap dan Aksi Nyata
Djoko juga menggaris bawahi, kebijakan Zero ODOL harus dijalankan dengan roadmap yang jelas, terdiri dari jangka pendek untuk tqhun 2025–2026, menengah untuk periode 2027–2029, dan jangka panjang pada 2030–2045.
"Setiap tahap harus dilengkapi indikator capaian, program kerja, dan penanggung jawab dari kementerian terkait.Langkah awal bisa dimulai dari proyek-proyek pemerintah dan BUMN yang wajib menggunakan truk non-ODOL. Setelah itu, diterapkan secara bertahap ke sektor swasta dan wilayah lainnya," saran pria ramah tersebut.
"Lalu yang tak kalah penting, pemerintah harus serius memberantas praktik pungli, menetapkan upah standar untuk pengemudi, memperbaiki tunjangan petugas uji kendaraan bermotor, serta memanfaatkan teknologi dalam pengawasan angkutan barang," ujar Djoko menambahkan.
Di samping itu MTI juga memandang perlunya langkah pemerintah dalam memberikan sarana pendidikan khusus bagi para awak dan pengemudi truk hingga bus.
"Jika pilot, masinis, dan nahkoda memiliki sekolah resmi, mengapa pengemudi truk dan bus tidak? Sudah saatnya Kementerian Perhubungan membangun sekolah khusus untuk pengemudi angkutan barang dan penumpang, demi mencetak SDM (Sumber Daya Manusia) yang kompeten dan berstandar keselamatan tinggi," pungkas Djoko.(*)