KABARBURSA.COM - Indonesia memainkan peran penting dalam rantai pasok global kendaraan listrik. Namun, peran itu hingga kini masih terbatas di level hulu atau sebagai pemasok bahan baku nikel mentah. Sementara dominasi penuh di sektor hilir, seperti produksi baterai dan kendaraan listrik masih dipegang Tiongkok.
“Dalam rantai global kendaraan listrik, Indonesia masih berada pada posisi hulu. Kita belum bisa masuk ke level hilir yang saat ini masih didominasi oleh China,” kata Direktur Riset CORE Indonesia, Ahmad Akbar Susanto, dalam siaran langsung, di Jakarta, Minggu, 20 Juli 2025.
Menurutnya, dorongan untuk mendorong hilirisasi industri nikel menjadi semakin relevan. Hilirisasi dipandang sebagai jalan untuk meningkatkan posisi Indonesia dalam rantai nilai global dan sekaligus membuka peluang manfaat ekonomi yang lebih besar.
“Upaya untuk melakukan hilirisasi diharapkan bisa menggeser posisi kita, bukan hanya sebagai produsen bahan baku, tapi juga sebagai pemain di level hilir,” ujarnya.
Ahmad menyebut sejumlah manfaat ekonomi dari hilirisasi sudah terlihat. Antara lain peningkatan investasi asing langsung (FDI), penciptaan lapangan kerja baru, dan pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil tambang.
“Dari data yang tersedia, terlihat peningkatan investasi asing, penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi daerah yang menunjukkan tren positif,” jelasnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa pertanyaan mendasarnya belum sepenuhnya terjawab: apakah pertumbuhan tersebut bersifat inklusif dan berkelanjutan?
“Apakah semua pihak merasakan manfaatnya? Apakah nilai tambahnya bertahan di dalam negeri? Ataukah cuma sebentar, ketika tambangnya habis, yang tersisa hanya ‘piring kotor’? Dan apakah pertumbuhan ini tidak mengorbankan integritas ekologis kita dalam jangka panjang?” tegas Ahmad.
Ia menggarisbawahi pentingnya melihat keseimbangan antara manfaat ekonomi dan biaya sosial-lingkungan dari hilirisasi nikel. Menurutnya, sejumlah laporan media dan lembaga masyarakat sipil mengindikasikan adanya konsekuensi ekologis yang serius.
“Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa pendekatan hilirisasi yang kita dorong belum terintegrasi dengan prinsip keadilan ekologis,” ujar Ahmad.
Ia menegaskan, transisi menuju energi bersih secara global seharusnya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan di tingkat lokal.
“Jangan sampai kita mendukung transisi energi global, tapi di dalam negeri justru menyisakan kerusakan yang mendalam,” katanya.
Menurutnya, pendekatan hilirisasi harus ditinjau ulang agar sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan inklusivitas. Indonesia, tegasnya, tak boleh hanya menjadi “penambang bagi dunia” tapi harus naik kelas sebagai produsen bernilai tambah yang memperhatikan aspek lingkungan dan sosial secara utuh.
“Kalau kita bicara soal masa depan energi bersih dan posisi Indonesia di dalamnya, maka kita juga harus bicara soal siapa yang diuntungkan dan siapa yang menanggung biayanya,” tutupnya.(*)
 
      