Logo
>

ESI: Hilirisasi Nikel ke EV Kurang Efektif, ini Alasannya

Energy Shift Institute menilai hilirisasi nikel untuk EV tak efektif. Industri metalurgi dinilai lebih potensial serap nikel Indonesia hingga 60 persen.

Ditulis oleh Harun Rasyid
ESI: Hilirisasi Nikel ke EV Kurang Efektif, ini Alasannya
Ilustrasi produksi kendaraan listrik. Foto: dok KabarBursa.com

KABARBURSA.COM – Perkembangan pasar kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di dunia maupun dalam negeri, belum cukup besar untuk menyerap produksi nikel Indonesia. 

Bahkan jika kapasitas manufaktur baterai nasional naik hingga setara 1 juta unit EV per tahun, kontribusi serapan nikel tetap diperkirakan tidak sampai 1 persen dari total produksi kendaraan listrik di domestik.

Contoh daya serap EV sejauh ini terhitung meningkat apabila menilik data penjualannya di Tanah Air. 

Misalnya untuk EV roda empat menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik secara wholesales (dari pabrik ke dealer) di dalam negeri periode Oktober 2025, mampu mencapai 13.865 unit.

Jumlah ini tumbuh 243 persen dibanding bulan sebelumnya yang menghasilkan 4.039 unit. Oleh sebab itu, para analis menilai Indonesia perlu menggeser fokus hilirisasi nikel ke sektor metalurgi hijau, bukan hanya bergantung pada adopsi kendaraan listrik.

Berdasarkan laporan terbaru Energy Shift Institute (ESI) bertajuk “Pendekatan Dua Jalur untuk Industrialisasi Berbasis Mineral di Indonesia” mengungkapkan bahwa dalam skenario paling optimistis sekalipun, industri EV dan baterai tetap kesulitan menyerap lebih dari 1 persen suplai nikel RI. 

Sebaliknya, sektor metalurgi mulai dari barang konsumsi, konstruksi, hingga transportasi berpotensi menyerap hingga 60 persen hasil tambang nikel.

“Meski kurang glamor dibandingkan EV dan baterai, manufaktur lokal berskala kecil yang berpusat pada stainless steel memiliki potensi pertumbuhan yang lebih besar karena melayani beragam sektor, sehingga layak mendapatkan dukungan kebijakan industri,” ujar Ahmad Zuhdi, selaku Associate Principal Energy Shift lewat keterangan resmi yang dikutip KabarBursa.com, Jumat, 28 November 2025.

Kebijakan Hilirisasi Dinilai Salah Arah

Lebih lanjut, ESI menilai jika pemerintah selama ini terlalu mencampuradukkan penambangan dan pengolahan nikel dengan produksi barang konsumsi kompleks seperti mobil listrik. 

ESI menilai, contoh paling nyata adalah wacana pemerintah yang ingin membatasi penggunaan baterai lithium-iron-phosphate (LFP). Padahal baterai ini mendominasi EV di Indonesia dan Asia. Secara global, hampir 50 persen penjualan EV pada 2024 juga memakai baterai jenis LFP.

Menurut catatan KabarBursa.com, beberapa mobil listrik terlaris di Indonesia saat ini juga mengusung baterai LFP. Ambil contoh BYD Atto 1, Wuling Binguo EV, hingga BYD M6.

“Gagasan bahwa EV merupakan industri hilir nikel sudah terlanjur mengakar dalam kebijakan industri Indonesia, yang dikipasi oleh pihak-pihak yang ingin diasosiasikan dengan sektor hijau. Dalam praktiknya, melabeli EV sebagai produk hilir nikel adalah penyederhanaan yang berlebihan,” tegas Ahmad.

Ia menegaskan bahwa mobil adalah barang konsumsi yang sangat kompleks dengan ribuan komponen lintas negara, sementara nikel sulfat dalam baterai lithium-ion hanya menyumbang sekitar 2 persen dari biaya manufaktur EV.

Selain kecilnya kontribusi nikel pada komponen EV, struktur pasar global juga membuat kapasitas ekspor EV Indonesia terbatas. Data global mencatat 97 persen mobil dirakit di wilayah mereka dijual, membuat peluang Indonesia mengekspor EV dalam jumlah besar menjadi semakin sempit.

“Terdapat batasan pasar yang berarti kecil kemungkinannya Indonesia dapat mengonversi lebih dari beberapa persen nikelnya menjadi EV atau baterai EV,” tambah Ahmad. 

Maka dari itu, ESI menilai kebijakan nikel Indonesia untuk EV bisa dibilang sudah salah arah karena faktor penawaran maupun permintaan. 

“Analisis kami menunjukkan bahwa kebijakan untuk nikel dan kebijakan untuk EV tidak boleh disamakan, karena faktor yang memengaruhi permintaan dan penawarannya berbeda," sebut Ahmad.

Metalurgi Lebih Ramah Lingkungan

Dari sisi keberlanjutan, stainless steel dinyatakan oleh ESI jauh lebih unggul. Sebanyak 95 persen stainless steel dapat didaur ulang, sementara tingkat daur ulang baterai nikel lithium-ion saat ini baru mencapai 5 persen.

Dengan keunggulan tersebut, ESI mendorong pemerintah memperluas hilirisasi nikel ke sektor metalurgi. Apalagi Indonesia telah memiliki kompetensi dasar yang kuat, atau yang disebut sebagai nearby industries.

“Indonesia dapat menciptakan peluang keberlanjutan tersendiri dengan mengembangkan merek-merek lokal yang menyasar konsumen, baik domestik maupun global, yang tidak keberatan membayar lebih untuk produk yang diproduksi secara bertanggung jawab, layaknya makanan organik dan ekowisata yang menarik bagi mereka yang sadar etika,” jelas Ahmad.

Dorongan untuk UKM Stainless Steel Lokal

ESI kemudian menyatakan,  pemerintah tidak perlu mengatur teknologi baterai secara kaku. Sebaliknya, kebijakan industri harus mendorong tumbuhnya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di bidang stainless steel yang mampu bersaing, tanpa harus melompat ke industri berisiko tinggi yang masih bergantung pada desain  dan kebijakan asing.

Indonesia sendiri, memiliki peluang besar karena kekayaan mineral yang unik. Dengan menonjolkan traceability dan kredibilitas hijau, Indonesia bisa memasuki pasar global yang kian peduli pada produk berkelanjutan.

“Peluang sesungguhnya terletak pada reorientasi strategis menuju pendekatan jalur ganda yang mengembangkan jalur mineral untuk EV maupun non-EV. Dukungan pemerintah kemudian dapat memberikan dampak yang lebih tinggi dengan menyediakan insentif yang mempromosikan jalur hijau dan berkelanjutan yang dipimpin oleh konsumen di pasar domestik dan internasional,” terang Ian Hiscock, Principal Energy Shift.

Ian menambahkan, pasar nikel berkelanjutan di luar EV bisa menjadi solusi daya serap komoditas yang lebih terarah permintaannya.

“Dunia mungkin akan terus beralih meninggalkan baterai berbasis nikel, namun penggunaan metalurgi tetap menjadi pasar pasti (captive market) bagi nikel,” pungkasnya.

Sekadar informasi, baterai EV berbasis nikel dikenal dengan jenis Nicke Manganese Cobalt (NMC) dan Nickel-Metal Hydride (NiMH). Sementara LFP adalah baterai kendaraan listrik dengan basis lithium, dan tidak menggunakan nikel.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Harun Rasyid

Harun Rasyid adalah jurnalis KabarBursa.com yang fokus pada liputan pasar modal, sektor komersial, dan industri otomotif. Berbekal pengalaman peliputan ekonomi dan bisnis, ia mengolah data dan regulasi menjadi laporan faktual yang mendukung pengambilan keputusan pelaku pasar dan investor. Gaya penulisan lugas, berbasis riset, dan memenuhi standar etika jurnalistik.