KABARBURSA.COM – Peringatan Hari Transportasi Nasional menjadi momen reflektif bagi pemerintah dan pelaku industri otomotif untuk menata ulang arah kebijakan transportasi nasional. Penataan ulang kebijakan transportasi ini harus berfokus untuk mengupayakan mobilitas bersih, aspek keselamatan dan mengurangi beban fiskal.
Selama ini pemerintah hanya berfokus pada aspek aksesibilitas melalui subsidi BBM, subsidi listrik untuk angkutan umum, serta insentif pajak bagi kendaraan listrik. Namun, perhatian terhadap keselamatan berkendara belum menjadi agenda utama, terutama bagi pemilik kendaraan listrik pribadi.
Padahal, aspek ini berpotensi berdampak langsung pada beban fiskal negara dalam jangka panjang, terutama dalam pembiayaan kesehatan, penanganan kecelakaan, dan risiko sosial lainnya.
Dalam beberapa bulan terakhir, publik dikejutkan oleh sejumlah kecelakaan yang melibatkan kendaraan listrik. Salah satunya terjadi di Jakarta Utara, ketika sebuah Hyundai Ioniq 5 menabrak puluhan kendaraan di parkiran sebuah tempat hiburan.
Meski penyebab utama insiden adalah pengemudi yang diduga dalam pengaruh alkohol, kasus ini menyoroti isu yang lebih luas, yakni tidak semua pengguna memahami karakter unik mobil listrik.
Berdasarkan data dari Korlantas Polri, sepanjang tahun 2023 tercatat sebanyak 152.312 kasus kecelakaan lalu lintas di seluruh Indonesia. Dari kejadian tersebut, sebanyak 28.061 jiwa meninggal dunia, 20.575 orang mengalami luka berat, dan 179.017 lainnya mengalami luka ringan. Total kerugian material akibat kecelakaan ini mencapai lebih dari Rp463,5 miliar.
Faktor utama penyebab kecelakaan masih didominasi oleh kesalahan manusia (human error), yang mencakup sekitar 61 persen dari seluruh insiden. Sisanya disebabkan oleh kondisi infrastruktur dan lingkungan sebesar 30 persen, serta faktor kendaraan sebanyak 9 persen. Kondisi ini mencerminkan pentingnya edukasi dan pelatihan berkendara, termasuk untuk pengguna kendaraan listrik yang kini mulai tumbuh.
Meskipun data spesifik tentang kecelakaan yang melibatkan kendaraan listrik masih terbatas, beberapa insiden yang melibatkan kendaraan jenis ini telah menjadi sorotan publik, menandakan perlunya pengawasan serta pembekalan tambahan bagi pengemudi kendaraan listrik.
Pakar keselamatan dari Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu menjelaskan, menyarankan agar pemilik kendaraan listrik mendapatkan pelatihan singkat sebagai bagian dari edukasi berkendara.
Menurutnya, pelatihan ini penting karena pengalaman mengemudi kendaraan listrik berbeda dengan kendaraan berbahan bakar fosil, sehingga diperlukan pemahaman tambahan untuk menjamin keselamatan di jalan.
“Kalau seorang pengemudi itu sudah mengikuti satu, atau memiliki background edukasi defensive driving, maka saya rasa enggak perlu training. Karena defensive driving, salah satunya adalah pemahaman tentang karakter kendaraan. Tetapi di Indonesia kan tidak semua pengemudi memiliki basis pengetahuan ini,” ujarnya saat dihubungi kabarbursa.com pada Selasa, 22 April 2025.
Kecelakaan Naikkan Beban Fiskal Negara
Meski tampak sebagai isu individu, risiko keselamatan dari penggunaan EV tanpa edukasi dapat menjadi beban negara. Data WHO mencatat bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab utama kematian usia produktif di Indonesia.
Setiap kecelakaan bukan hanya merugikan korban, tetapi juga menyedot anggaran negara untuk penanganan medis, infrastruktur, hingga asuransi sosial.
Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas di Indonesia diperkirakan mencapai 2,9 - 3,1 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Jika mengacu pada nilai PDB Indonesia pada tahun 2020 yang berada di angka Rp15.434 triliun, maka total kerugian tersebut setara dengan Rp44 triliun hingga Rp47,8 triliun.
Kerugian ini tidak hanya mencakup kerusakan fisik pada kendaraan dan infrastruktur, tetapi juga biaya pengobatan, serta potensi ekonomi yang hilang akibat korban yang mengalami luka berat hingga kematian. Dampak finansial ini turut memperbesar beban fiskal negara karena pemerintah harus menanggung pembiayaan jaminan sosial serta santunan kepada korban melalui lembaga seperti PT Jasa Raharja.
Sementara itu, berdasarkan laporan semester pertama 2022 dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, tercatat sebanyak 62.975 kecelakaan lalu lintas terjadi dengan kerugian materiil mencapai Rp134 miliar. Meski jumlah tersebut menunjukkan tren penurunan dibandingkan periode sebelumnya, nilai ekonominya masih sangat besar dan membebani anggaran negara.
Berdasarkan sebuah studi di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, mengungkap bahwa setiap kecelakaan fatal membawa beban ekonomi dan sosial yang signifikan, dengan estimasi rata-rata kerugian mencapai Rp501 juta atau sekitar USD 37.000.
Angka tersebut mencerminkan akumulasi dari berbagai komponen biaya seperti layanan medis, kehilangan produktivitas kerja, kerusakan properti, hingga biaya administrasi. Jika ditarik secara nasional, kerugian akibat kecelakaan lalu lintas pada tahun 2021 diperkirakan mencapai USD 38 miliar, atau sekitar 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Dalam skema pembiayaan kesehatan, BPJS Kesehatan berfungsi sebagai penjamin sekunder bagi korban kecelakaan lalu lintas. Penjamin utama adalah PT Jasa Raharja, yang memberikan santunan hingga Rp20 juta per korban. Jika biaya perawatan melebihi batas tersebut, BPJS Kesehatan akan menanggung selisihnya, selama korban merupakan peserta aktif dan memenuhi ketentuan administratif.
Meski tidak tersedia rincian khusus mengenai alokasi dana untuk kasus trauma lalu lintas, diketahui bahwa pada tahun 2018 total pembiayaan rawat jalan oleh BPJS Kesehatan mencapai Rp51,2 triliun, naik sekitar 10,07 persen dibanding tahun sebelumnya.
Keseluruhan fakta ini menegaskan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan persoalan serius yang berdampak luas, tidak hanya pada individu dan keluarga korban, tetapi juga terhadap stabilitas fiskal nasional. Oleh karena itu, peningkatan keselamatan jalan dan upaya pencegahan kecelakaan menjadi sangat penting untuk dilakukan secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, Justfri menilai, pemberian pelatihan pengguna mobil listrik penting untuk dilakukan. Menurutnya, upaya ini merupakan pencegahan primer yang penting dilakukan ketimbang negara harus tanggung biaya akibat kecelaan.
Artinya, pelatihan keselamatan bisa dilihat sebagai investasi preventif. Di saat pemerintah mengucurkan subsidi triliunan untuk mempercepat elektrifikasi transportasi, mengalokasikan sebagian tanggung jawab edukasi ke pihak Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) atau dealer menjadi opsi strategis.
Peluang Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Salah satu pendekatan yang bisa dipertimbangkan adalah memasukkan pelatihan safety driving sebagai bagian dari standar minimal pelayanan purna jual dan melibatkan agen tunggal pemegang merek (ATPM) untuk ikut mengedepankan prinsip defensive driving.
“Jadi pengetahuan short training untuk pengemudi sangat penting. Oleh karena itu, pihak produsen, ATPM, hingva dealer ketika penjualan haruslah melakukan short training berupa edukasi di kelas untuk memberi informasi penting, terus kemudian praktek selama 15 sampai 30 menit. Ketimbang tidak ada sama sekali pelatihan, karena itu membuka ruang pengemudi bisa hilang kendali atau dengan kata lain kecelakaan,” kata Jusri.
Sementara pemerintah dapat ambil bagian lewat regulasi ringan atau kerja sama non-fiskal, bisa mendorong produsen dan dealer menyertakan sesi edukasi berkendara dalam setiap pembelian kendaraan listrik.
Selain mengurangi risiko kecelakaan, inisiatif ini bisa menjadi bagian dari kampanye keselamatan transportasi nasional. Keterlibatan swasta akan memperkecil beban negara dan memperkuat ekosistem transportasi yang tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga ramah keselamatan.(*)