KABARBURSA.COM - Insentif mobil listrik bakal disetop oleh pemerintah pada tahun 2026. Penghentian insentif mobil listrik bakal memicu reaksi pasar meskipun sejauh ini masih bersifat wacana.
Rencana tak dilanjutkannya insentif mobil listrik pada 2026 lantaran pemerintah berambisi menggarap proyek mobil nasional. Padahal insentif untuk mobil listrik berbasis baterai ini dapat menarik minat konsumen dalam pembelian.
Insentif mobil listrik atau Electric Vehicle (EV) telah menghasilkan pertumbuhan pembelian unit dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik tahun 2023 secara wholesales (dari pabrik ke dealer) tercatat sebanyak 17.051 unit. Tahun 2024 naik signifikan dengan 43.188 unit.
Sementara untuk tahun 2025, penjualan mobil listrik periode Januari hingga November saja sudah menuai 82.525 unit.
Adapun insentif mobil listrik yang dinikmati konsumen tahun ini berupa bebas Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), potongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, serta bea masuk nol persen bagi mobil listrik impor berstatus CBU (Completely Build Up). Artinya tanpa insentif, harga mobil listrik terancam naik pada 2026.
Melihat fenomenan ini, Ibrahim Assuaibi selaku Pengamat Mata Uang menilai masih pentingnya insentif EV bagi keberlangsungan daya beli hingga industri otomotif nasional.
"Pemerintahan Prabowo-Gibran lewat Menkeu baru Purbaya, akan menyetop insentif mobil listrik. Ini akan berpengaruh terhadap penjualan mobil listrik. Karena saat insentif dihilangkan, kemudian pajak mobil listrik bisa hampir sama dengan mobil BBM," ujarnya kepada KabarBursa.com lewat webinar bertajuk "Ekosistem EV Indonesia, INDY, TOBA, SSIA, Cuan Mana? di Youtube Kabar Bursa, belum lama ini.
Ibrahim menyebut, hilangnya insentif perlu dicermati konsumen. Sebab ia memandang akan terjadi penurunan tren pembelian EV.
"Ada kemungkinan besar mobil listrik bisa ditinggalkan. Tapi ini kan masih wacana. Semoga saja ini tidak jadi, karena saat ini perekonomian Indonesia masih belum stabil. Lalu insentif ini tujuannya agar masyarakat beralih ke EV," katanya.
Sementara dari sisi pelaku industri, pabrikan otomotif dinilai perlu lebih agresif memasarkan mobil listrik. Ibrahim menyatakan, volume penggunaan EV masih terbilang rendah dibanding mobil bermesin konvensional.
"Sejauh ini penggunaan mobil listrik di jalan raya masih sedikit, walaupun sudah menyasar klasifikasi transportasi umum seperti taksi. Artinya sosialasi, edukasi, promosi harus terus digalakkan. Tanpa itu, orang akan lupa (mobil listrik)," jelas Ibrahim.
"Masyarakat Indonesia berbeda dengan negara lain, promosi di berbagai media massa akan mempengaruhi tingkat penjualan," sambungnya.
Lebih lanjut Ibrahim menyoroti, harga mobil listrik dapat semakin terjangkau apabila pasar domestik menunjukkan tren penjualan yang bertumbuh.
"Kalau penjualan meningkat, tingkat produksi tinggi. Dengan semakin banyak produksi, harga akan berubah menjadi relatif lebih murah. Ini yang harus dilakukan pengusaha terutama bagian pemasaran, supaya ke depan penjualan meningkat dan produksinya juga lebih banyak," terangnya.(*)