KABARBURSA.COM - Pengamat Otomotif Bebin Djuana menilai upaya LG untuk hengkang dari tiga proyek joint venture (JV) untuk pengembangan baterai electric vehicle (EV) adalah karena melihat pertumbuhan jenis baterai Lithium Ferro-Phosphate (LFP) yang diadopsi secara masif oleh mobil listrik asal China.
Bebin mengungkapkan, Hyundai menggunakan baterai berbahan baku nickel yang dikenal dengan istilah Nickel Manganese Cobalt (NMC).
“Kemungkinan LG beranggapan baterai yang mau diproduksi di Karawang akan tertinggal dengan batere yang saat ini sedang populer (LFP). Sehingga akan 'basi' jika diteruskan,” ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com, Kamis, 15 Mei 2025.
“Sementara produsen dari China melihat peluang karena beberapa brand BEV (Battery Electric Vehicle) dari China sedang mempersiapkan berproduksi di Indonesia,” lanjut Bebin.
Mundurnya LG dalam tiga bagian JV, kata Bebin, adalah hal yang wajar dalam bisnis. Meski begitu, LG tampaknya masih melihat Indonesia sebagai wilayah potensial dalam pengembangan sekaligus pasar EV yang kian bertumbuh.
“Tentu LG berpikir ulang ketika pabrikan baterai China merespon mundurnya LG. Apakah akan membiarkan batere China tanpa saingan? Sebetulnya berapa besar pasar yang akan terbentuk nanti? Itu sebabnya LG membatalkan rencana hengkang dari negara kita,” jelas Bebin.
Adapun potensi penjualan kendaraan setrum di Indonesia masih cukup menjanjikan. Mengacu dari data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik secara wholesales (dari pabrikan ke dealer) sepanjang Januari hingga Maret 2025 tembus ke angka 16.535 unit atau memiliki pangsa pasar sebesar 8,1 persen dari total penjualan mobil di Tanah Air.
Jumlahnya hampir mendekati total penjualan mobil listrik sepanjang tahun 2023 yang mencapai 17.051 unit. Lonjakan penjualan mobil listrik bahkan menyentuh 152,9 persen pada 2024 dibanding tahun sebelumnya. Di mana pada 2024, penjualan mobil listrik berjumlah 43.188 unit.
Seperti diberitakan sebelumnya, raksasa teknologi asal Korea Selatan, LG Energy Solution bersama Hyundai Motor Group tengah melakukan ekspansi pabrik sel baterai di Karawang, Jawa Barat.
Ekspansi LG dan Hyundai pada tahun ini melalui PT HLI Green Power yang tergabung dalam skema usaha joint venture (JV) ini, masuk dalam tahap kedua untuk mengembangkan proyek baterai kendaraan listrik di Indonesia.
Perusahaan China Gantikan LG dalam Proyek Baterai EV
Mundurnya LG dalam sejumlah proyek pengembangan baterai EV, membuka peluang bagi perusahaan China, Huayou.
Huayou kini turut ambil bagian dari proyek rantai pasok baterai EV yang memiliki nilai investasi USD7,7 miliar.
Bebin mengatakan, masuknya Huayou untuk menggantikan LG menunjukkan persaingan ketat antara industri kendaraan listrik China dan Korea Selatan.
“Jangan lupa, Huayou tetap akan meneruskan niatnya walau nanti akan berhadapan di pasar dengan LG. Akan sangat menarik pertarungan baterai Korea dan China di Tanah Air. Mari kita simak,” ujarnya.
Sekadar informasi, Huayou atau Zhejiang Huayou Cobalt Co,.Ltd,. adalah perusahaan teknologi asal Zhejiang, China yang didirikan sejak 1994. Huayou menjalankan bisnis penelitian pengembangan, sampai manufaktur baterai Lithium Ion berbasis bahan cobalt.
Awal Mula LG Cabut dari Proyek Baterai EV di Indonesia
Sebelumnya, LG sempat undur diri dari proyek pembangunan rantai pasokan baterai kendaraan listrik di Indonesia.
Kantor berita Yonhap melaporkan, konsorsium yang dipimpin oleh LG resmi menarik diri dari proyek supply chain baterai kendaraan listrik tersebut pada 18 April lalu. Padahal proyek ini memiliki nilai investasi sebesar 11 triliun won atau sekitar Rp130,7 triliun.
Diketahui, konsorsium tersebut melibatkan LG Energy Solution, LG Chem, LX International Corp, dan sejumlah mitra lainnya. Kelompok usaha ini awalnya sepakat bekerja sama dengan pemerintah Indonesia serta perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kelompok ini membangun ekosistem baterai kendaraan listrik terintegrasi, mulai dari pengadaan bahan baku, produksi prekursor, bahan katoda, hingga pembuatan sel baterai.
Indonesia dipilih sebagai salah satu lokasi investasi karena merupakan produsen nikel terbesar dunia. Seperti kita ketahui, nikel merupakan salah satu bahan utama dalam pembuatan baterai kendaraan listrik.
Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan kondisi industri global, termasuk melambatnya permintaan kendaraan listrik. Sehingga konsorsium memutuskan untuk mundur dari proyek pendukung komponen utama kendaraan listrik tersebut.
“Mempertimbangkan kondisi pasar dan lingkungan investasi saat ini, kami telah memutuskan untuk keluar dari proyek,” ujar perwakilan LG Energy Solution, dikutip dari Yonhap, Senin, 21 April 2025.
Meski demikian, LG memastikan tetap mempertahankan proyek lain di Indonesia, seperti pabrik baterai HLI Green Power yang merupakan hasil kerja sama dengan Hyundai Motor Group.
Kerugian LG Energy Solution akibat Lesunya Pasar EV
Kabar mundurnya LG dari proyek ini beriringan dengan laporan kinerja keuangan yang kurang menggembirakan. LG Energy Solution (LGES) mencatatkan kerugian bersih sebesar 411 miliar won atau sekitar USD287,2 juta pada kuartal empat tahun 2024.
Nilai kerugian tersebut cukup besar, mengingat LGES sempat mencatatkan laba bersih sebesar 190,3 miliar won pada periode yang sama pada tahun 2023. Gejolak bisnis LGES terjadi di tengah perlambatan global dalam penjualan kendaraan listrik, hal ini diperkirakan menjadi salah satu faktor utama.
Sementara dalam laporan keuangannya, LGES juga mencatatkan kerugian operasional sebesar 225,5 miliar won, turun drastis dari laba operasional 338,2 miliar won setahun sebelumnya. Penjualan pun ikut terkoreksi 19,4 persen menjadi 6,45 triliun won.
Sepanjang 2024, laba bersih LGES anjlok 79,3 persen menjadi 338,6 miliar won, sedangkan pendapatan operasional turun drastis sebesar 73,4 persen menjadi 575,4 miliar won. Dari sisi total penjualan sepanjang tahun tercatat 25,6 triliun won, merosot 24,1 persen dibanding tahun sebelumnya.(*)