KABARBURSA.COM - Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai tren penjualan mobil di Indonesia akan tetap redup dan cenderung stagnan jika terus menggunakan cara lama yang konservatif.
“Jika pemerintah hanya menekankan stabilitas fiskal dengan sering kali mengorbankan stimulus agresif untuk sektor riil seperti otomotif, seperti rencana kenaikan PPN 12 persen, yang membebani hingga 1–2 persen daya beli konsumen kelas menengah sebagai pembeli utama otomotif,” kata Yannes kepada KabarBursa.com, Kamis, 18 September 2025.
Yannes melihat, kenaikan harga mobil murah sejah tahun 2010 disebabkan oleh kebijakan opsen pajak progresif untuk PPnBM dan PKB. Menurutnya, kebijakan ini menjadi penyebab harga low cost green car (LCGC) naik dan melampaui daya beli segmen pasar terbesarnya.
Ia menambahkan, kenaikan BI Rate hingga 5 persen pada 2025 membuat kredit mobil semakin berat untuk pembeli middle-low class yang masih melemah.
“Ditambah dengan bbrp tahun terakhir yang hanya berfokus pada insentif PPN DTP 1 persen untuk BEV/HEV sejak 2024, shg hanya menumbuhkan sales segmen tersebut, tetapi tidak signifikasn terhadap sales keseluruhan kendaraan yang masih didominasi ICE,” kata Yannes.
Pasar Mobil Masih Lesu
Yannes mengungkapkan, selama delapan bulan pertama tahun 2024, penjualan mobil bisa menembus angka 563.000 unit. Sementara pada delapan bulan pertama tahun 2025 merosot menjadi 500.952 unit atau turn 11 persen year-on-year.
“Terlepas dari kenaikan penjualan bulanan jadi 66.478 unit akibat genjotan pameran otomotif seperti GIIAS 2025 yang akan diteruskan ke beberapa kota. Jadi bia kita lihat bahwa pasar otomotif Indonesia pada Agustus 2025 menunjukkan kelesuan berkelanjutan, meskipun ada tanda pemulihan temporer (retail naik 5,1 persen MoM) akibat dorongan GIIAS 2025,” ujarnya.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pasar otomotif nasional hingga Agustus 2025 masih didominasi merek asal Jepang, meskipun penjualannya tidak seragam di setiap brand, sementara Korea Selatan dan Eropa tertinggal jauh.
Data Gaikindo mencatat, Toyota tetap memimpin pasar dengan penjualan ritel 20.733 unit, naik tipis 2,7 persen dibanding Juli 2025 (20.185 unit). Namun, jika dibandingkan Agustus 2024 (25.624 unit), penjualannya turun 19,1 persen. Secara kumulatif Januari–Agustus 2025, Toyota menjual 167.811 unit, atau melemah 12,6 persen year-on-year (YoY).
Daihatsu membukukan 11.008 unit, turun 1,9 persen secara bulanan dan merosot 22,1 persen dibanding Agustus tahun lalu. Total kumulatifnya tercatat 88.944 unit, anjlok 24,2 persen YoY.
Berbeda dengan itu, Honda justru naik 6,3 persen menjadi 5.317 unit pada Agustus, tetapi dibandingkan periode yang sama tahun lalu turun tajam 37,6 persen. Sepanjang Januari–Agustus, Honda hanya mengumpulkan 49.513 unit, terkoreksi 27,1 persen YoY.
Suzuki menutup Agustus dengan 5.700 unit, meningkat 3,6 persen dari Juli dan masih lebih tinggi 5,5 persen dibanding Agustus 2024. Meski begitu, secara kumulatif penjualannya turun 14,9 persen YoY menjadi 38.973 unit.
Dari Korea Selatan, Hyundai (HMID) mencatat 1.409 unit pada Agustus, hampir stagnan (+0,5 persen) dari bulan sebelumnya, tetapi menurun 9,4 persen dibanding Agustus 2024. Secara total Januari–Agustus, penjualannya mencapai 14.394 unit, turun 9,8 persen YoY.
Sementara itu, merek asal Eropa seperti Audi, BMW, Mercedes-Benz, Volkswagen, dan Volvo tetap beroperasi dengan volume terbatas. Sebagai contoh, BMW hanya mencatat 226 unit sepanjang delapan bulan pertama 2025.
Peugeot bahkan tidak melaporkan penjualan pada Agustus. Secara keseluruhan, pangsa pasar merek Eropa tercatat di bawah 1 persen, jauh tertinggal dibandingkan Jepang maupun Korea.(*)