KABARBURSA.COM – Pengamat pasar mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi menilai, industri otomotif di Indonesia, khususnya kendaraan listrik, mulai menunjukkan hasil yang signifikan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Peningkatan penjualan ini justru terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi. Ibrahim memprediksi, peningkatan penjualan akan terus berlangsung seiring dengan masuknya investasi pabrik otomotif di sejumlah wilayah.
Salah satu pabrikan otomotif yang berinvestasi di Indonesia adalah BYD. Merek kendaraan asal China dan menjadi market leader mobil listrik di Tanah Air ini sedang membangun pabrik di Subang, Jawa Barat.
Artinya pasar kendaraan roda empat lambat laun mulai mengarah ke mobil elektrifikasi, termasuk BEV (Battery Electric Vehicle). Ibrahim juga menyoroti, tren pembelian maupun penjualan mobil listrik masih bergantung pada insentif.
"Ini karena insentif, contoh mobil listrik harga Rp1 miliar pajaknya cuma Rp140 ribuan, itu sudah cukup luar biasa. Beda dengan mobil konvensional dengan harga semisal Rp1 miliar, pajaknya bisa belasan juta. Ini yang membuat masyarakat kelas menengah dan atas berminat membeli mobil listrik," ujarnya kepada KabarBursa.com dalam webinar bertajuk "Ekosistem EV Indonesia, INDY, TOBA, SSIA, Cuan Mana?" di Youtube Kabar Bursa, belum lama ini.
Ia juga menuturkan, insentif mampu mendorong daya beli mobil listrik yang memiliki kelebihan dari sisi efisiensi energi hingga biaya operasional pemiliknya.
"Jadi penjualan EV dilatar belakangi insentif dulu, baru kebutuhan. Ditambah pemakaian mobil listrik lebih murah, konsumen tidak perlu isi BBM. Misal pakai BBM nonsubsidi semisal Pertamax Turbo, jelas harganya lebih mahal dibandingkan EV. Karena cas baterai di pom bensin biayanya lebih ekonomis," tutup Ibrahim.
Ancaman dari Pencabutan Subsidi EV
Rencana penghentian insentif mobil listrik pada 2026 mencuat seiring ambisi pemerintah menggarap proyek mobil nasional. Padahal, insentif untuk kendaraan listrik berbasis baterai selama ini dinilai berperan dalam mendorong minat konsumen untuk beralih dari kendaraan konvensional.
Sejak diberlakukan, insentif Electric Vehicle (EV) tercatat berkontribusi terhadap pertumbuhan penjualan mobil listrik dari tahun ke tahun. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan, penjualan mobil listrik secara wholesales pada 2023 mencapai 17.051 unit. Angka tersebut meningkat signifikan pada 2024 menjadi 43.188 unit.
Tren pertumbuhan berlanjut pada 2025. Hingga periode Januari–November 2025, penjualan mobil listrik telah mencapai 82.525 unit, jauh melampaui capaian tahun-tahun sebelumnya.
Pada tahun ini, konsumen menikmati sejumlah insentif mobil listrik, mulai dari pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), potongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, hingga bea masuk nol persen bagi mobil listrik impor berstatus Completely Build Up (CBU).
Dengan skema tersebut, harga mobil listrik relatif lebih terjangkau. Namun, tanpa insentif, harga kendaraan listrik berpotensi mengalami kenaikan pada 2026.
Ibrahim Assuaibi menilai, insentif EV masih memiliki peran penting dalam menjaga daya beli masyarakat sekaligus menopang industri otomotif nasional.
“Pemerintahan Prabowo-Gibran lewat Menkeu baru Purbaya, akan menyetop insentif mobil listrik. Ini akan berpengaruh terhadap penjualan mobil listrik. Karena saat insentif dihilangkan, kemudian pajak mobil listrik bisa hampir sama dengan mobil BBM,” ujarnya.
Ia menambahkan, rencana penghapusan insentif perlu menjadi perhatian konsumen karena berpotensi memengaruhi tren pembelian kendaraan listrik ke depan.
“Ada kemungkinan besar mobil listrik bisa ditinggalkan. Tapi ini kan masih wacana. Semoga saja ini tidak jadi, karena saat ini perekonomian Indonesia masih belum stabil. Lalu insentif ini tujuannya agar masyarakat beralih ke EV,” katanya.(*)