KABARBURSA.COM - Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menetapkan target penjualan mobil baru di Indonesia selama tahun 2025 sebesar 900 ribu unit.
Target penjualan mobil baru 2025 bakal menghadapi banyak tantangan terutama dari penurunan jumlah kelas menengah, melemahnya daya beli dan ekonomi masyarakat, hingga badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih terjadi.
Dari sisi regulator, penjualan mobil baru juga memiliki tekanan akibat pemberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hingga kebijakan opsen pajak dari pemerintah daerah sampai provinsi.
Sebagai informasi, penjualan mobil baru di pasar domestik juga tak bisa menggapai angka 900 ribu unit pada tahun lalu. Berdasarkan data Gaikindo, penjualan secara wholesales atau distribusi dari pabrik ke dealer selama Januari hingga Desember 2024 hanya meraup 865.723 unit.
Jumlah tersebut turun 13,9 persen ketimbang periode serupa tahun 2023 yang mampu membukukan penjualan sebanyak 1.005.802 unit.
Mengenai target tersebut, Bebin Djuana selaku Pengamat Otomotif menilai bahwa target penjualan mobil baru 900 unit tahun ini akan sulit tercapai. Ia juga mempertanyakan alasan dari target Gaikindo tersebut di tengah kondisi ekonomi yang saat ini kurang stabil.
“Apakah logis sampai akhir tahun bisa mencapai 900rb unit? Jika yakin dengan angka tersebut, indikator apa yang membuatnya bisa tercapai?,” ungkapnya saat dihubungi KabarBursa.com, Kamis, 8 Mei 2025.
Menurut Bebin, penjualan mobil dalam industri otomotif nasional tahun ini juga akan tetap sulit meskipun targetnya di bawah angka 900 ribu unit.
Ia juga menilai, sektor otomotif roda empat masih punya peluang dengan pertumbuhan pasar kendaraan elektrifikasi, baik mobil listrik maupun hybrid. Namun, produk elektrifkasi tersebut tidak bisa menjadi pendongkrak penjualan mobil baru tahun ini.
“Dalam kondisi sulit dan tidak menentu seperti saat ini, 800 ribu unit pun sulit dicapai, kecuali untuk produk BEV (mobil listrik berbasis baterai) dan hybrid yang bisa berkontribusi untuk segmen menengah atas,” sebutnya.
“Ditambah lagi dukungan pemerintah dalam pembebasan pajak barang mewah (PPnBM) dan PPN diturunkan di bawah 10 persen (untuk BEV dan mobil hybrid). Tapi masalahnya industri ini mau diselamatkan atau dibiarkan?” lanjutnya.
Penjualan Mobil Tumbuh pada Maret 2025
Diketahui, pasar mobil listrik nasional tengah bertumbuh. Menurut data Gaikindo, sepanjang kuartal satu atau Januari hingga Maret 2025, penjualan mobil listrik di Indonesia tercatat sudah sebanyak 16.459 unit.
Sementara pada periode yang sama, mobil hybrid membukukan penjualan sebanyak 13.993 unit. Meski demikian, kontribusi mobil listrik dan hybrid masih tergolong minim dalam penjualan kendaraan roda empat dalam negeri.
Sebab pada periode kuartal satu 2025, angka penjualan mobil baru (wholesales) di Tanah Air berjumlah 205.160 unit. Jumlah tersebut juga turun dari kuartal satu 2024 yang mampu meraup 215.250 unit atau terkoreksi sebesar 4,7 persen.
Berdasarkan kondisi tersebut, Bebin menyarankan sejumlah langkah untuk menaikkan performa penjualan mobil baru.
“Turunkan PPN utk semua jenis kendaraan, misalnya hybrid 7 persen, dan 8 persen untuk mobil bermesin konvensional. Selain itu, pajak barang mewah untuk mobil hybrid dan berbahan bakar fosil bisa diturunkan lagi walaupun tidak serendah BEV,” ujarnya.
Sejauh ini, pemerintah telah memberikan insentif berupa PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 10 persen bagi produk mobil listrik rakitan lokal atau Completely Knocked Down (CKD).
Ada juga skema Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) DTP sebesar 3 persen bagi mobil hybrid rakitan dalam negeri. Serta PPnBM DTP 100 persen bagi mobil listrik yang diproduksi di Indonesia. Selain itu terdapat pembebasan bea masuk bagi mobil listrik impor atau berstatus CBU (Completely Build Up).
Efek Berantai Turunnya Penjualan Mobil Baru
Penjualan kendaraan roda empat pada Maret 2025 tercatat sebanyak 70.892 unit, turun sebesar 5,1 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.
Pada Februari 2025, penjualan mobil baru dapat mencapai 72.336 unit. Artinya ada penurunan 2 persen pada Maret tahun ini.
Penjualan mobil baru secara wholesales menurut data GAIKINDO tersebut, menunjukkan turunnya permintaan pasar di tengah kondisi ekonomi dalam negeri yang kurang stabil yang mempengaruhi daya beli konsumen.
Kemudian, bila menengok capaian retail sales (penjualan dari dealer ke konsumen) dari data GAIKINDO, penjualan mobil baru per Maret 2025, terdapat sebanyak 76.582 unit yang terjual atau menurun 6,8 persen dibanding Maret tahun lalu yang meraih penjualan 82.170 unit.
Pengamat Otomotif, Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, turunnya jumlah penjualan mobil baru bakal berdampak besar apabila terjadi terus menerus secara konsisten di waktu mendatang.
“Untuk memahami keseluruhan dampak, sepertinya perlu kajian lanjutan dari laporan industri dan analisis para pemangku kepentingan. Tapi, secara hipotetis, jika penjualan mobil di Indonesia terus menurun, dampaknya akan meluas ke berbagai aspek industri,” ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com belum lama ini.
Dampak dari turunnya produktivitas penjualan kendaraan roda empat bakal berpengaruhke tingkat produksi manufaktur otomotif di dalam negeri. Kondisi ini bakal berbahaya bagi para pelaku industri otomotif hingga para pekerja di bidang tersebut.
“Produsen bisa mengurangi volume produksi atau bahkan menutup lini produksi, yang berujung pada potensi PHK, pengurangan jam kerja, dan perekrutan yang tertahan. Selain itu, investasi jangka panjang juga terancam, termasuk penundaan atau pembatalan ekspansi,” jelas Yannes.
Selain itu, industri pendukung otomotif semisal suku cadang juga jelas bakal terancam apabila penjualan kendaraan terus mengalami penurunan.
“Industri komponen tier 1 sampai 3 akan terdampak langsung karena menurunnya permintaan, memicu tekanan finansial. Jaringan dealer juga menghadapi risiko penurunan profitabilitas hingga konsolidasi,” kata Akademisi dari Institut Teknologi Bandung tersebut.
Efek lainnya, kata dia, performa kredit kendaraan juga ikut menerima dampak negatif dari berkurangnya penjualan kendaraan di dalam negeri.
“Sektor pembiayaan otomotif pun akan semakin rawan dengan meningkatnya NPL (Non Performing Loan) dan pengetatan kredit. Negara juga dapat kehilangan potensi penerimaan pajak seperti PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan pajak kendaraan lainnya,” imbuhnya.
Menurutnya, solusi inti atas ancaman bisnis tersebut yaitu perbaikan ekonomi bagi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. "Situasi di atas sangat kompleks. kuncinya saya baru terpikir satu, yaitu pulihkan pertumbuhan ekonomi riil masyarakat,” ujarnya.
Di samping itu, masyarakat kelas menengah yang menjadi konsumen terbesar di sektor otomotif juga perlu diperhatikan. Sebab angka kelas menengah kini terus menurun jumlahnya.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia tahun 2019 berjumlah 57,33 juta orang. Sedangkan pada 2024 angkanya merosot menjadi 47,85 juta orang.(*)
 
      