KABARBURSA.COM - Perang harga mobil listrik di China berdampak negatif bagi bisnis para produsen otomotif.
Tingginya tensi persaingan pasar otomotif China dalam perang mobil listrik, memunculkan fenomena baru yakni mobil bekas nol kilometer alias tanpa jarak tempuh.
Mobil bekas nol kilometer ini sejatinya merupakan kendaraan baru yang belum pernah digunakan atau dimiliki seseorang.
Mobil bekas rasa baru tersebut kerap ditawarkan dengan diskon besar-besaran, sehingga unitnya ramai diincar konsumen di China.
Mobil Bekas Rasa Baru: Strategi Diskon Agresif
Mobil bekas tanpa jarak tempuh lahir akibat tekanan persaingan antar dealer kendaraan, serta dorongan dari produsen mobil yang memberi insentif bagi pihak dealer untuk segera mendaftarkan kendaraan dalam catatan 'sudah terjual'.
Padahal mobil baru yang difiktifkan penjualannya ini tidak pernah benar-benar diboyong konsumen. Hasilnya, mobil dengan jarak tempuh nol kilometer ini dilempar ke pasar mobil bekas dengan harga yang miring layaknya unit seken.
Ketua Great Wall Motor, Wei Jianjun, menyampaikan kekhawatirannya akan praktek mobil bekas tanpa jarak tempuh tersebut.
"Dalam beberapa tahun terakhir, ada produk yang harganya anjlok dari 220.000 yuan menjadi hanya 120.000 yuan (Rp520 jutaan jadi Rp273 jutaan). Industri seperti apa yang bisa memangkas harga sedalam itu tanpa mengorbankan kualitas?," ujarnya dikutip dari Car News China, Jumat 20 Juni 2025.
Menurut Wei, tren mobil bekas rasa baru ini justru meruntuhkan perkembangan merek otomotif China di pasar global.
Berdasarkan data di lapangan, sebagian besar mobil bekas tanpa jarak tempuh ini hanya berpindah status administratif, tanpa benar-benar berpindah tangan dari sisi pemakaian.
Seorang sumber internal industri di China lalu menyebutkan bahwa beberapa pihak brand kendaraan sengaja mengemas ribuan unit model lama agar cepat keluar dari gudang.
Salah satu contohnya adalah merek patungan J Car yang melego 3.000 unit mobil berumur dua tahun. Sekitar dua pertiganya dijual di dalam negeri, dan sisanya diekspor ke Asia Tengah dan Timur Tengah demi memanfaatkan celah regulasi bahwa mobil bekas tidak terikat standar emisi Euro seperti mobil baru.
Trik ini memungkinkan pabrikan kendaraan menstabilkan keuangan dalam arus kas dan membayar gaji karyawan. Namun, dari sisi konsumen, muncul banyak pertanyaan tentang transparansi dan hak mereka sebagai pembeli.

Konsumen Dapat Diskon, tapi Kehilangan Hak Layanan Purnajual
Salah satu contoh paling mencolok terjadi pada model Nio ET5T 2024. Mobil listrik ini dijual sebagai mobil baru dengan harga resmi 298.000 yuan (sekitar Rp680 jutaan). Tapi ketika statusnya berubah menjadi mobil bekas tanpa jarak tempuh, harganya anjlok menjadi hanya 185.800 yuan (Rp424 jutaan).
Meski tampak menggiurkan, konsumen yang membeli unitnya harus rela kehilangan sebagian hak seperti garansi unit yang seharusnya enam tahun menjadi tiga tahun, dan dari sepuluh tahun menjadi delapan tahun untuk garansi baterai.
Kondisi serupa juga terlihat di outlet mobil bekas Shanghai Used Car Trading Centre, di mana hampir 10 persen dari unit yang dijual di sana masuk kategori mobil bekas rasa baru.
Unit tersebut berasal dari stok dealer, kendaraan hasil uji coba, hingga mobil milik influencer. Besar diskonnya pun bervariasi, dari 20.000 yuan (Rp45 jutaan) untuk Xiaomi SU7, hingga 100.000 yuan (Rp228 jutaan) untuk model dari merek lain seperti IM LS7.
Ilusi Tingginya Angka Penjualan di China
Fenomena ini menciptakan ilusi bahwa industri otomotif China sedang melonjak, padahal banyak unit yang tidak benar-benar laku secara riil. Kondisi ini bisa menyesatkan konsumen dan membuat mereka mengambil keputusan pembelian yang kurang rasional.
Tak hanya itu, harga mobil yang terus tertekan mempercepat depresiasi aset, membuat nilai jual kembali kendaraan semakin rendah.
Sepanjang 2024 saja, lebih dari 200 model mobil mengalami koreksi harga, dan pada empat bulan pertama tahun ini ada lebih dari 60 model yang mengikuti tren serupa. Bahkan, pada Mei 2025, beberapa model kendaraan mencatat penurunan harga lebih dari 50.000 yuan (sekitar Rp114 jutaan).
Menurut Cui Dongshu, Sekjen Asosiasi Mobil Penumpang China, stok mobil nasional telah menyentuh 3,5 juta unit per April 2025 dan diperkirakan terus bertambah selama musim penjualan lesu di Mei hingga Juli.
Melihat fenomena tersebut, Kementerian Perdagangan China lewat Departemen Promosi Konsumsi mulai menggelar rapat dengan para pelaku industri untuk membahas regulasi dari timbulnya praktik mobil bekas tanpa jarak tempuh. Tujuannya, demi mencegah manipulasi data penjualan dan menjaga kesehatan pasar otomotif China.
Selain itu, para pakar juga menyarankan sejumlah langkah konkret seperti pengetatan regulasi pendaftaran dan peredaran mobil bekas, penerapan sistem pelacakan siklus hidup kendaraan, hingga standarisasi praktik dealer agar tidak menyalahgunakan status kendaraan.
Dari sisi konsumen, pakar menyarankan agar para pembeli disarankan tetap kritis dan jangan hanya melihat harga dalam pembelian kendaraan.
Ada baiknya konsumen China juga turut memperhatikan garansi, legalitas, dan layanan purnajual yang jauh lebih penting dalam kepemilikan kendaraan secara jangka panjang. (*)