KABARBURSA.COM – Pasar otomotif Rusia yang selama dua tahun terakhir jadi “ladang emas” bagi produsen mobil Tiongkok, kini berubah drastis.
Meredupnya Rusia sebagai negara tujuan ekspor mobil China lantaran berbagai faktor, mulai dari kombinasi pengetatan kebijakan, bea masuk yang meroket, hingga melemahnya daya beli masyarakat. Beberapa faktor itu kemudian membuat ekspor mobil dari China ke Rusia anjlok.
Menurut data terbaru Asosiasi Mobil Penumpang Tiongkok (CPCA), sepanjang Januari hingga September 2025, China hanya mampu mengekspor 357.700 kendaraan utuh ke Rusia, turun 58 persen secara year-on-year (YoY).
Melansir CarNewsChina, penurunan ekspor mobil China ini sekaligus menandai berakhirnya dominasi Rusia sebagai pasar ekspor terbesar industri otomotif Negeri Tirai Bambu tersebut.
Sebagai gantinya, Meksiko kini naik menjadi negara ekspor utama mobil China dengan 410.700 unit, dan disusul Uni Emirat Arab (UEA) dengan 367.800 unit.
Sebelumnya, saat perang Rusia–Ukraina pecah pada 2022, merek otomotif Tiongkok mulanya tidak punya posisi kuat di Rusia. Pada 2021, penjualan mobil-mobil China hanya sebanyak 115.700 unit, atau memegang 7 persen pangsa pasar.
Namun, pasca sanksi Barat yang memaksa produsen Eropa, Amerika, Jepang, dan Korea hengkang dari Rusia, pasar otomotif negara tersebut seketika kosong dan langsung diambil alih merek-merek otomotif Tiongkok.
Situasi itu membuat lonjakan tinggi terhadap permintaan mobil China di Rusia. Sebagai catatan, sepanjang tahun 2022 terdapat 163.000 unit yang terjual. Setahun kemudian atau 2023, mobil China laris manis dengan penjualan 950.000 unit. Artinya naik hampir 5 kali lipat dibanding tahun 2022.
Lalu pada 2024, penjualan mobil China di Rusia tembus 1 juta unit, tepatnya 1,158 juta unit. Akhirnya, pangsa pasar mobil Tiongkok di Rusia bahkan dapat menembus 50 persen pada 2023.
Tetapi tren ekspansi agresif itu berhenti mendadak pada 2025. Kebijakan Rusia berbalik menghantam mobil China. Masalah mulai muncul ketika Rusia menaikkan biaya daur ulang kendaraan hingga 70 sampai 85 persen pada Oktober 2024. Kenaikan tersebut memangkas habis margin keuntungan produsen dan importir.
Contohnya, biaya daur ulang mobil bekas berkapasitas mesin 2 sampai 3 liter atau 2.000 sampai 3.000 cc, berusia di atas tiga tahun melonjak dari 1,3 juta rubel menjadi 2,37 juta rubel (sekitar Rp269 jutaan ke Rp491,3 jutaan).
Tidak cukup sampai di situ, pada Januari 2025 Rusia kembali menaikkan tarif impor sebesar 20 hingga 38 persen yang memperberat struktur pajak kendaraan impor.
Gabungan beban pajak ini menjadikan mobil impor, termasuk mobil China kehilangan nilai lebih, khususnya harga yang menjadi daya tarik utama dari produk China.
Kemudian sejak 2022, banyak produsen Tiongkok memanfaatkan jalur ekspor tidak langsung melalui Kazakhstan dan negara ketiga lainnya untuk menuju Rusia. Mobil-mobil yang harusnya berstatus baru itu, justru masuk Rusia sebagai mobil bekas nol kilometer untuk menghindari bea impor.
Tapi pada April 2024, Rusia menutup celah tersebut. Kendaraan dari wilayah Uni Ekonomi Eurasia wajib membayar selisih pajak sebelum digunakan.
Akibatnya, penutupan jalur ini berdampak ganda yakni harga mobil Tiongkok menjadi tidak kompetitif, layanan purnajual kemdaraan berantakan karena banyak mobil tidak memiliki garansi resmi, dan reputasi merek Tiongkok ikut tergerus.(*)