KABARBURSA.COM - Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Nandi Julyanto, menilai dampak perang dagang global, khususnya antara Amerika Serikat dan China, memberi tekanan besar terhadap rantai pasok industri kendaraan listrik, termasuk di Indonesia.
Dalam konteks baterai untuk mobil listrik, ia menegaskan bahwa mustahil bagi satu negara, termasuk Indonesia, untuk membangun industrinya secara mandiri tanpa dukungan global.
“Pasti harus bekerja sama dengan negara-negara lain, terutama China. Itu yang kita bisa lihat,” kata Nandi dalam acara acara Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA), Rabu, 14 Mei 2025.
Ia mengakui, pihaknya juga sudah menjalin kerja sama dengan perusahaan asal China untuk menyiapkan kebutuhan baterai kendaraan listrik. Kerja sama ini dinilai krusial mengingat keterbatasan bahan baku utama seperti lithium dan grafit yang hanya tersedia di sejumlah negara saja.
“Lithium juga sangat terbatas secara sumber daya, hanya beberapa negara yang punya. Jadi kalau raw material-nya dikunci memang menjadi problem,” ujarnya.
Menurut Nandi, ada banyak potensi bahan baku di dunia, termasuk di Indonesia, yang bisa dimanfaatkan. Namun, ia mengingatkan bahwa pemanfaatannya harus tetap memperhitungkan nilai keekonomian agar bisa bersaing di pasar global.
Salah satu pertimbangannya adalah pemilihan jenis baterai. Alih-alih menggunakan Lithium Iron Phosphate (LFP) yang mengandalkan grafit, Toyota lebih memilih baterai berbasis nikel yang lebih sesuai dengan strategi bisnisnya.
“Kalau disampaikan tadi ya, kalau baterai LFP memang grafit banyak ya. Tapi kalau kita, lebih banyak nickel,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Toyota kabarnya sedang mempertimbangkan langkah akuisisi Neta Auto, produsen mobil listrik asal China yang kini nasibnya berada di ambang kebangkrutan.
Kabar rencana Toyota dalam akuisisi Neta Auto diungkapkan oleh Kuai Technology pada 12 Mei 2025. Meski belum ada informasi resmi, langkah akuisisi tersebut bisa menjadi strategi penting bagi Toyota untuk memperkuat bisnisnya di China. Terlebih China sejauh jni menjadi pasar kendaraan listrik terbesar dunia.
Lebih lanjut, Neta Auto yang didirikan pada 2014 oleh Hozon New Energy Auto, sempat menjanjikan masa depan cerah dalam industri kendaraan listrik di pasar domestik China hingga global. Namun, sejak pertengahan 2024, Neta Auto dilanda krisis serius yang mengakibatkan aktivitas produksi terhenti, gelombang PHK terjadi, dan upaya pencarian pendanaan eksternal yang tak kunjung membuahkan hasil.
Selanjutnya pada Februari 2025, Neta mengumumkan kegagalan pendanaan putaran E yang ditargetkan mencapai 4 sampai 4,5 miliar yuan atau sekitar USD552 sampai USD621 juta.
Investor utama Neta Auto yang didukung dana negara BRICS, sempat menjanjikan 3 miliar yuan (USD414 juta), namun persyaratan ketat seperti pengaktifan kembali produksi hingga jaminan investasi tambahan tidak terpenuhi, sehingga kesepakatan bisnis ini pun kandas.
Penjualan Mobil Lesu pada Periode Maret 2025
Seperti diberitakan sebelumnya, Kinerja penjualan mobil baru di Indonesia pada Maret 2025 menunjukkan tren penurunan. Padahal, hanya sebulan sebelumnya, industri otomotif sempat mencatat lonjakan 16,7 persen—setara dengan tambahan 10.363 unit dibandingkan penjualan Januari 2025.
Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memperlihatkan bahwa penjualan mobil secara wholesales—yakni dari pabrik ke dealer—tercatat sebanyak 70.892 unit sepanjang Maret 2025. Angka ini turun 5,1 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, ketika tercatat 74.720 unit mobil baru terjual ke pasar domestik.
Jika dibandingkan dengan Februari 2025, kinerja penjualan Maret juga mengalami koreksi 2 persen. Pada bulan kedua tahun ini, jumlah mobil yang terdistribusi ke konsumen mencapai 72.336 unit.
Sementara dari sisi retail sales—penjualan dari dealer langsung ke pembeli akhir—jumlah yang tercatat pada Maret 2025 mencapai 76.582 unit. Ini menandai penurunan sebesar 6,8 persen dari Maret 2024 yang mencapai 82.170 unit.
Penurunan ini, menurut Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu, mencerminkan tekanan ekonomi yang memengaruhi daya beli masyarakat. Ia menilai bahwa mobil baru bukanlah prioritas dalam kondisi saat ini.
"Tekanan dari pelemahan ekonomi makro tampaknya semakin menguat di pasar otomotif. Penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan tren deflasi menunjukkan kehati-hatian konsumen dalam belanja. Mobil, sebagai kebutuhan tersier berbiaya tinggi, akhirnya bukan jadi prioritas dalam situasi ini," ujarnya kepada KabarBursa.com, Kamis, 17 April 2025.
Yannes menambahkan bahwa dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, masyarakat cenderung menahan konsumsi dan memilih fokus pada kebutuhan pokok atau menabung.
Ia menjelaskan bahwa penurunan kinerja penjualan tidak hanya disebabkan oleh daya beli yang menurun, tetapi juga oleh sejumlah faktor lain seperti gejolak ekonomi dan fluktuasi nilai tukar.
"Penurunan penjualan mobil pada Maret 2025 juga dipengaruhi oleh kombinasi faktor lain seperti daya beli yang melemah akibat deflasi, maraknya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), perlambatan ekonomi, pelemahan rupiah yang membuat harga cenderung naik, suku bunga yang relatif tinggi, dan penyusutan kelas menengah sebagai kelompok terbesar konsumen mobil baru Indonesia," jelas Akademisi dari Institut Teknologi Bandung itu.
Bulan Maret yang bertepatan dengan Ramadan hingga masa mudik Lebaran pun gagal menjadi pendorong penjualan kendaraan roda empat, seperti yang sering terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Menurut Yannes, banyak konsumen telah lebih dulu membeli kendaraan sebelum memasuki bulan puasa, memanfaatkan pameran otomotif yang digelar pada akhir tahun lalu hingga awal 2025.
"Jumlah pemudik tahun ini turun 24,34 persen. Hal itu jelas mencerminkan sudah terjadi tekanan konsumsi menjelang Lebaran. Selain itu, antusiasme pasar yang masih memiliki tabungan untuk membeli mobil baru, telah terserap di berbagai pameran otomotif besar seperti GIIAS, IMX, dan IIMS yang digelar sejak akhir 2024 hingga sebulan sebelum lebaran," ucapnya.
Ia menutup dengan menyoroti sikap wait and see dari segmen konsumen terbesar di pasar otomotif nasional.
"Jadi tampaknya, kelompok terbesar konsumen di middle income class yang tersisa kini menunggu kepastian ekonomi sebelum membuat keputusan besar seperti membeli mobil baru," lanjutnya.(*)