KABARBURSA.COM - Industri keuangan syariah global terus menunjukkan pertumbuhan yang stabil dalam satu dekade terakhir. Namun, di Indonesia, sektor ini masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam optimalisasi zakat dan wakaf.
Para ekonom menilai perlu ada strategi lebih progresif untuk memanfaatkan potensi besar yang ada. Wakil Kepala Center of Sharia Economic Development (CSED) INDEF Handi Risza, menyoroti pesatnya pertumbuhan keuangan syariah global.
Menurut dia, permintaan tinggi dari konsumen Muslim, terutama di sektor makanan halal yang mencapai USD1.400 miliar atau 65 persen dari total transaksi Muslim, menjadi salah satu faktor pendorong utama.
"Total aset keuangan syariah global meningkat pesat, mencapai USD4,5 triliun pada 2022 dengan proyeksi pertumbuhan hingga USD7,53 triliun pada 2028," kata Handi dalam keterangannya kepada Kabarbursa.com, Senin 24 Maret 2025.
Perbankan syariah mendominasi industri ini dengan porsi 72 persen dari total aset, sementara sukuk mencatat pertumbuhan signifikan sebesar 11 persen pada tahun 2022. Handi menilai, Indonesia memiliki peluang besar untuk menarik investor Muslim internasional, khususnya dari kawasan Timur Tengah, melalui Danantara.
"Salah satu langkah yang dapat diambil oleh Danantara adalah terlibat dalam penerbitan sukuk yang dapat masuk ke dalam market share keuangan syariah global," ujarnya.
Menurutnya ada beberapa sektor ekonomi syariah potensial yang bisa didanai oleh Danantara, seperti halal food yang diproyeksikan mencapai USD1,89 triliun pada 2027, modest fashion sebesar USD318 miliar, serta media dan rekreasi dengan potensi USD247 miliar.
Pengelolaan Zakat dan Wakaf belum Maksimal
Sementara itu, Kepala CSED INDEF Nur Hidayah, menyoroti tantangan dalam pengelolaan zakat dan wakaf di Indonesia. Menurutnya, meski mengalami peningkatan, potensi zakat dan wakaf belum dimanfaatkan secara maksimal.
"Zakat dan wakaf terus meningkat, namun belum mencapai potensi maksimalnya. Sementara itu, kemiskinan masih tinggi dengan ratio mencapai 0,979," ujar Nur.
Ia lalu membandingkan pengelolaan filantropi Islam di Indonesia dengan negara lain, seperti Malaysia, yang mewajibkan zakat dan memberikan insentif pajak. Selanjutnya adalah Uni Emirat Arab (UEA) yang memanfaatkannya untuk sektor pendidikan dan kesehatan.
"Zakat memiliki dampak ekonomi yang besar jika dikelola secara efektif. Zakat fitrah berperan dalam menekan inflasi secara makro, sedangkan zakat maal berdampak produktif dalam jangka panjang," tambahnya.
Namun, ada beberapa tantangan yang masih menghambat optimalisasi zakat dan wakaf di Indonesia, di antaranya rendahnya literasi keuangan syariah, sistem pengelolaan yang masih tradisional, minimnya insentif fiskal bagi muzakki, serta kurangnya pemanfaatan teknologi dalam distribusi dana.
Untuk mengatasi hal ini, Nur menekankan pentingnya transformasi digital dalam pengelolaan zakat dan wakaf.
"Transformasi digital melalui blockchain dan smart contracts diperlukan guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas," jelasnya.
Selain itu, ia merekomendasikan integrasi filantropi dengan investasi serta pemberian insentif pajak bagi muzakki dan investor wakaf. Beberapa kebijakan yang bisa diterapkan mencakup penguatan regulasi zakat dengan memperjelas status Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), optimalisasi pengumpulan zakat melalui digitalisasi, serta penerapan NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat).
"Transparansi dan akuntabilitas perlu diperkuat dengan audit yang lebih ketat dan sinergi zakat dengan program sosial," tambahnya.
Selain itu menurutnya, edukasi dan sosialisasi yang masif serta integrasi zakat dalam kurikulum pendidikan juga menjadi langkah penting agar kesadaran masyarakat terhadap ekonomi syariah semakin meningkat.
Peran Strategis Indonesia
Indonesia semakin menegaskan posisinya sebagai pemain kunci dalam industri halal global, berkat besarnya populasi Muslim dan daya konsumsi yang luar biasa. Dalam sebuah acara, CEO B-Universe Rio Abdurachman, menyoroti peran strategis tersebut, di mana Indonesia kini menduduki peringkat ketiga dalam Indikator Ekonomi Islam Global (GIEI), mengungguli Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain.
Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, mencapai 241,7 juta jiwa, Indonesia memiliki permintaan yang signifikan terhadap produk halal. Konsumsi produk halal global pada tahun 2024 diproyeksikan mencapai USD2,4 triliun, dengan pengeluaran Muslim untuk barang-barang halal diperkirakan melampaui USD3 triliun.
Di tingkat domestik, konsumsi produk halal di Indonesia diproyeksikan mencapai USD281,6 miliar, dengan industri halal berkontribusi sebesar Rp11.700 triliun atau sekitar 48,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2025.
Rio menekankan bahwa gaya hidup halal kini bukan sekadar pilihan, melainkan telah menjadi standar baru bagi ekonomi global. Hal ini menunjukkan potensi besar bagi Indonesia untuk tidak hanya menjadi pasar konsumsi, tetapi juga pemimpin dalam industri halal global.
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi, menegaskan bahwa Indonesia harus berperan lebih dari sekadar pasar konsumen. Menurutnya, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama yang mampu memberikan manfaat bagi bangsa, masyarakat, dan perekonomian nasional.
Data menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua secara global dalam industri makanan halal, ketiga dalam mode Muslim, kelima dalam industri farmasi dan kosmetik halal, keenam dalam media dan rekreasi, serta ketujuh dalam sektor keuangan Islam.
Selain itu, Indonesia juga menempati peringkat tertinggi dalam Global Muslim Travel Index 2024 sebagai destinasi wisata ramah Muslim terbaik. Keunggulan ini semakin memperkokoh posisi Indonesia di tingkat internasional sebagai pemimpin dalam industri halal.
Dengan berbagai pencapaian tersebut, Indonesia memiliki potensi besar untuk tidak hanya berpartisipasi dalam pasar halal global, tetapi juga memainkan peran aktif dalam membentuk masa depan ekonomi halal dunia. Ke depan, sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci dalam memperkuat ekosistem halal di Indonesia, menjadikannya pusat industri halal yang inovatif dan kompetitif di tingkat global.(*)