KABARBURSA.COM - Anggota DPR RI periode 2014-2019 yang juga peneliti Institut for Development of Economics and Finance (INDEF), Hakam Naja, menyoroti ketidakoptimalan Indonesia dalam memanfaatkan potensi ekonomi syariah yang dimilikinya. Dia mengungkapkan meski Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, banyak keuntungan dari sektor ekonomi syariah justru dinikmati oleh negara lain.
“Indonesia memiliki sekitar 241 ribu jamaah haji setiap tahunnya dengan dana yang dikelola mencapai Rp20 triliun. Namun, yang menikmati keuntungan dari sektor ini lebih banyak negara seperti Thailand, Vietnam, dan India. Sementara Indonesia tertinggal dalam pemanfaatan potensi tersebut,” ujar Hakam dalam diskusi daring INDEF bertema “Prospek Kebijakan Pengembangan Ekonomi Syariah di Era Prabowo”, Jumat, 30 Agustus 2024.
Hakam menekankan sektor ekonomi syariah di Indonesia belum mampu bersaing secara global, meskipun negara ini memiliki potensi besar. "Kita baru bicara haji, belum lagi potensi dari sektor makanan halal dan industri halal lainnya. Sayangnya, potensi besar ini belum dimanfaatkan dengan maksimal," katanya.
Indonesia, dengan jumlah penduduk Muslim yang terbesar di dunia, seharusnya mampu menjadi pemain utama dalam ekonomi syariah global. Namun, kenyataannya, Indonesia hanya menempati posisi kelima dalam ekspor makanan halal dunia, tertinggal jauh dari negara-negara seperti Brazil dan Amerika Serikat yang berada di peringkat atas.
“Dengan populasi sebesar 241 juta jiwa, kita seharusnya bisa lebih mengoptimalkan potensi ini, tidak hanya untuk kepentingan umat Islam, tapi juga untuk seluruh masyarakat Indonesia,” tegas Hakam.
Lebih lanjut, Hakam membandingkan kondisi di Indonesia dengan Malaysia, yang telah berhasil menjadikan ekonomi syariah sebagai salah satu pilar utama dalam sistem perekonomiannya. “Di Malaysia, perbankan syariah sudah menyumbang 40 persen dari total sektor perbankan, sementara di Indonesia, kontribusi perbankan syariah hanya sebesar 7 persen,” kata Hakam.
Ia juga menyoroti pentingnya dukungan dari pemerintah dalam membangun ekosistem yang mendukung pertumbuhan ekonomi syariah. Hakam mengatakan pemerintah perlu mendorong seluruh komponen industri halal, mulai dari petani, peternak, nelayan, hingga lembaga keuangan syariah untuk dimanfaatkan membangun ekosistem ekonomi syariah.
Hakam menyatakan optimisme dengan pemerintahan yang baru nanti, Indonesia bisa memperkuat posisinya di kancah ekonomi syariah global. “Pemerintah harus serius, tidak hanya sekadar membentuk lembaga, tapi juga memberikan tanggung jawab yang jelas dan mendorong pertumbuhan ekonomi syariah yang lebih progresif,” ujar Hakam.
Ia pun menyerukan perlunya dorongan lebih besar dari pemerintah untuk mengembangkan ekonomi syariah, yang tidak hanya menguntungkan umat Islam, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. “Kita tidak bisa membiarkan negara lain seperti Brazil dan Amerika Serikat terus mendominasi pasar makanan halal dunia. Indonesia harus segera beranjak dari posisi kelima ke posisi yang lebih tinggi,” katanya.
Pembentukan Pusat Pengembangan Ekonomi Syariah di Era Prabowo
Ekonom Senior, Didik J. Rachbini, sebelumnya mengusulkan pembentukan Center for Syariah Economic Development sebagai langkah strategis untuk mendorong pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Didik menegaskan pentingnya pusat pengembangan ini untuk mengakomodasi berbagai riset lanjutan, pelatihan, serta sertifikasi profesional yang berkaitan dengan ekonomi syariah. “Jadi Center for Syariah Economic Development itu (isinya) pengembangan studi, training, dan sebagainya,” ujar Didik dalam acara tersebut.
Didik menjelaskan inisiasi ini akan melibatkan kolaborasi lintas lembaga, termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. “Kerjasama ini diharapkan bisa membawa hasil yang konkret dalam 10 tahun ke depan,” katanya.
Pusat pengembangan ini nantinya akan fokus pada beberapa area utama, di antaranya riset-riset ekonomi syariah yang bersifat normatif, sertifikasi halal untuk berbagai produk dan jasa, serta advokasi kebijakan yang mendorong praktik ekonomi syariah di Indonesia. “Kita juga ingin terlibat dalam advokasi yang lebih luas, termasuk melalui media, untuk mendorong kesadaran dan penerimaan publik terhadap ekonomi syariah,” jelas Didik.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar UIN Jakarta, Prof. Nur Hidayah, menekankan meski Indonesia telah menunjukkan peningkatan dalam beberapa sektor ekonomi syariah di tingkat global, masih ada tantangan yang harus dihadapi. “Secara global, ekonomi syariah terus berkembang pesat di berbagai sektor seperti makanan halal, fashion modest, kosmetik halal, serta keuangan syariah. Indonesia sendiri menunjukkan peningkatan di beberapa sektor, namun ada juga yang mengalami penurunan,” jelasnya.
Prof. Hidayah menyoroti beberapa capaian Indonesia di kancah internasional, seperti menduduki peringkat pertama di Global Muslim Travel Index 2023 bersama Malaysia, dan peringkat ketiga di Global Islamic Economic Indicator. Namun, ia juga mencatat adanya penurunan peringkat Indonesia di sektor keuangan syariah, dari posisi kedua pada 2021 menjadi peringkat ketiga pada 2023 dalam Islamic Finance Development Indicator.
“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kita telah mengalami kemajuan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, termasuk penyelesaian beberapa program dalam Master Program Ekonomi dan Keuangan Syariah seperti pembentukan Nasional Halal Fund dan International Islamic Financial Service Board,” kata Prof. Hidayah.
Acara yang berlangsung selama dua jam ini juga menghadirkan sejumlah pembicara lainnya, seperti Prof. Nur Hidayah dari UIN Jakarta, Dr. Handi Risza dari Universitas Paramadina, dan Dr. Hakam Naja, anggota DPR RI periode 2014-2019. Mereka semua sepakat bahwa pengembangan ekonomi syariah harus didukung dengan riset yang kuat dan kerjasama yang erat antara akademisi, praktisi, dan pemerintah.(*)