KABARBURSA.COM - Ekonom yang pengamat ekonomi syariah dari Universitas Paramadina, Handi Risza, menegaskan bahwa Indonesia harus segera mengoptimalkan potensi lokalnya untuk membangun kemandirian dalam ekonomi dan keuangan syariah.
Handi mengatakan dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia memiliki modal besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan.
“Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, kita memiliki modal yang sangat kuat untuk mengembangkan ekonomi syariah yang benar-benar mandiri. Namun, ini tidak akan terjadi jika kita tidak segera mengoptimalkan potensi lokal yang ada,” ujar Handi dalam diskusi daring INDEF bertema “Prospek Kebijakan Pengembangan Ekonomi Syariah di Era Prabowo”, Jumat, 30 Agustus 2024.
Handi menjelaskan, sektor ekonomi syariah saat ini telah menjadi tren global, tidak lagi terbatas di negara-negara dengan mayoritas Muslim. “Kita melihat bahwa keuangan syariah sudah menjadi tren global, di mana banyak negara non-Muslim seperti Singapura, Hong Kong, dan Cina mulai serius mengembangkan sektor ini. Indonesia harus lebih waspada dan tidak membiarkan negara lain mengambil peran yang seharusnya bisa kita mainkan,” tegasnya.
Menurut Handi, Indonesia seharusnya bisa menjadi role model dalam perkembangan ekonomi syariah global. Ia menyoroti data dari Global Islamic Economy Report yang menunjukkan bahwa sektor ini terus tumbuh secara signifikan, dengan nilai mencapai 2,29 miliar USD pada tahun 2022, tumbuh sekitar 9,5 persen year to year. “Ini menunjukkan bahwa ekonomi syariah bukan sekadar potensi lokal, tapi sudah menjadi potensi global yang harus kita manfaatkan dengan baik,” katanya.
Namun, Handi juga mengkritik pemerintah yang terlihat setengah hati dalam mendorong pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia. Ia mencontohkan bagaimana pemerintah gencar menerbitkan sukuk, namun tidak disertai dengan dorongan yang sama kuatnya untuk pengembangan perbankan syariah. Padahal, kata dia, Indonesia sudah punya merger tiga bank syariah, tapi upaya untuk mendorong pertumbuhan sektor ini masih belum optimal.
“Seharusnya kebijakan penerbitan sukuk juga diikuti dengan penguatan lembaga keuangan syariah agar bisa tumbuh lebih cepat,” jelas Handi.
Lebih lanjut, ia menyoroti aset keuangan syariah Indonesia pada tahun 2023 sudah mencapai Rp2.582 triliun, dengan market share yang mencapai 10,95 persen dari total industri keuangan. Meski begitu, market share perbankan syariah masih tertahan di angka 7 persen. “Ini masih jauh dari optimal. Kita harus mendorong market share perbankan syariah setidaknya mencapai 15 persen agar sektor ini bisa benar-benar mandiri,” ujarnya.
Handi juga menekankan pentingnya membangun ekosistem ekonomi syariah yang terintegrasi. Ia menyarankan pembentukan kawasan ekonomi khusus yang mencakup berbagai elemen penting seperti perbankan syariah, asuransi syariah, industri halal, dan UMKM. “Bayangkan jika kita punya kawasan ekonomi khusus di mana semua elemen ini bisa berkembang bersama-sama, itu akan menjadi dorongan besar bagi pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia,” katanya.
Selain itu, Handi menekankan perlunya Indonesia mengambil peran lebih besar dalam industri halal global. Ia menyayangkan bahwa negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura sudah mulai membangun infrastruktur untuk menarik wisatawan Muslim, sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim belum sepenuhnya memanfaatkan potensi ini.
“Kita tidak bisa hanya menjadi penonton. Indonesia harus menjadi pemain utama dalam industri halal, termasuk pariwisata halal,” tegasnya.
Handi pun menyerukan agar pemerintah baru yang akan datang memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan ekonomi syariah. “Ekonomi dan keuangan syariah harus menjadi bagian tak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka menengah dan panjang. Pemerintah juga harus memperbaiki regulasi untuk mempercepat pertumbuhan sektor ini, mungkin melalui omnibus law yang khusus mengatur ekonomi syariah,” tutup Handi.
Potensi Ekonomi Syariah Belum Dioptimalkan
Anggota DPR RI periode 2014-2019 yang juga peneliti Institut for Development of Economics and Finance (INDEF), Hakam Naja, sebelumnya menyoroti ketidakoptimalan Indonesia dalam memanfaatkan potensi ekonomi syariah yang dimilikinya. Dia mengungkapkan meski Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, banyak keuntungan dari sektor ekonomi syariah justru dinikmati oleh negara lain.
“Indonesia memiliki sekitar 241 ribu jamaah haji setiap tahunnya dengan dana yang dikelola mencapai Rp20 triliun. Namun, yang menikmati keuntungan dari sektor ini lebih banyak negara seperti Thailand, Vietnam, dan India. Sementara Indonesia tertinggal dalam pemanfaatan potensi tersebut,” ujar Hakam dalam diskusi daring INDEF bertema “Prospek Kebijakan Pengembangan Ekonomi Syariah di Era Prabowo”, Jumat, 30 Agustus 2024.
Hakam menekankan sektor ekonomi syariah di Indonesia belum mampu bersaing secara global, meskipun negara ini memiliki potensi besar. "Kita baru bicara haji, belum lagi potensi dari sektor makanan halal dan industri halal lainnya. Sayangnya, potensi besar ini belum dimanfaatkan dengan maksimal," katanya.
Indonesia, dengan jumlah penduduk Muslim yang terbesar di dunia, seharusnya mampu menjadi pemain utama dalam ekonomi syariah global. Namun, kenyataannya, Indonesia hanya menempati posisi kelima dalam ekspor makanan halal dunia, tertinggal jauh dari negara-negara seperti Brazil dan Amerika Serikat yang berada di peringkat atas.
“Dengan populasi sebesar 241 juta jiwa, kita seharusnya bisa lebih mengoptimalkan potensi ini, tidak hanya untuk kepentingan umat Islam, tapi juga untuk seluruh masyarakat Indonesia,” kata Hakam.(*)