KABARBURSA.COM - Berdasarkan data Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI), hingga September 2024 terdapat 333 sukuk yang telah menerbitkan melalui skema securities crowdfunding Syariah SCF dengan total pembiayaan mencapai Rp656 miliar.
Hal itu disampaikan oleh Co-founder dan CEO SHAFIQ Kevin Syahrizal dalam simposium keuangan dan ekonomi syariah bertajuk Penguatan Inklusi Keuangan Syariah Menuju Indonesia Emas, di Jakarta, Kamis, 26 September 2024.
Oleh karena itu, pihaknya mengaku masih butuh asosiasi yang menaungi kegiatan SCF. Dengan usia yang relatif muda maka pihak yang membutuhkan pendanaan sifatnya masih retail dan jumlahnya mencapai 180.000 usaha yang berinvestasi melalui platform SCF.
Kevin mengaku bangga karena menurutnya jika dibandingkan dengan perusahaan konvensional yang trennya terus menurun setiap taun, pembiayaan syariah justru terus meningkat.
“Kalau kita bandingkan, mungkin saat ini market syariah di angka 40 persen dari industri SCF itu sendiri. Hal ini menurut kami sangat-sangat baik untuk level kita yang masih di angka umur 4 tahun. Di mana ternyata para pemodal ataupun para pelaku usaha itu sangat tertarik sebenarnya dengan instrumen syariah,” ujarnya.
Artinya literasi atau edukasi terkait instrumen syariah cukup berkembang di Indonesia, terutama di bidang crowdfounding.
Ia menegaskan bahwa SCF bukan sebagai penyelenggara yang memiliki dana, tapi sebagai middleman atau berada di tengah antara pelaku usaha sebagai penerbit dan pemodal sebagai pemilik dana.
“Para pelaku usaha yang membutuhkan pendanaan, dia bisa mengajukan pendanaan melalui kita dan ditawarkan oleh kepada para pemodal atau investor. Jadi dana bukan dari syafiq, dana langsung dari para investor. Jadi investor betul-betul membeli instrumen efek ini langsung kepada para pelaku usaha,” jelasnya.
Usaha yang mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini mampu mengupayakan dana dengan besaran maksimum Rp10 miliar dan memiliki semangat membantu pelaku usaha atau UKM.
Perbedaan dengan Bursa Saham
Kevin menuturkan bahwa perbedaan antara SCF dengan saham bursa adalah dari sisi skema dan prosedur pendanaannya. Jika ingin mendapat dana di bursa, waktu yang dibutuhkan cukup panjang, yakni 6 bulan sampai 1 tahun.
“Di SCF sendiri, di platform SCF mungkin kurang dari 1 bulan pun sudah bisa mendapatkan pendanaan melalui platform SCF,” ujarnya.
Pembeda dengan bursa saham adalah dapat jual dan beli setiap hari dan waktunya relatif singkat. Sementara di SCF ada waktu tersendiri sesuai dengan regulasi pemerintah.
“Kalau kita punya saham baru bisa kita jual itu setelah setahun pendanaan berjalan. Itu yang membedakan karena memang arah yang diusung oleh semangat regulator adalah untuk membedakan dengan yang ada di bursa,” ujarnya.
Kevin menyebut ada beberapa keuntungan yang akan berkontribusi di SCF. Bagi penerbit (pihak yang butuh dana) akan mendapat dana untuk permodalan sesuai dengan prinsip syariah. Keuntungan berikutnya adalah tidak ada kewajiban agunan dan skema pembagian deviden atau bagi hasil lebih fleksibel.
Sementara pihak pemodal akan mendapat keuntungan berupa kesempatan berinvestasi di efek syariah dan besaran investasinya juga terjangkau. Selain itu portofolio investasinya tercatat oleh pihak KSEI dan memiliki platform yang dapat diakses di mana saja dan kapan saja.
“Selama usaha baik walaupun tanpa jaminan itu dimungkinkan untuk bisa mendapatkan pendanaan dan skemanya yang fleksibel bergantung kesepakatan antara pelaku usaha dengan si investor, bisa bulanan, tiga bulanan atau di ujung” ujarnya.
Artinya untuk cash flow bagi pelaku usaha sendiri itu jadi lebih ringan karena tidak perlu mengumpulkan dana atau menyiapkan dana tiap bulannya.
Kevin mencontohkan, jika ingin berinvestasi di rumah makan padang, maka calon pemodal butuh dana beberapa miliar atau ratusan juta. Sementara di SCF, setiap orang dapat berinvestasi meski hanya dengan uang satu juta dan semuanya dimudahkan atau cukup menggunakan handphone.
Kemudian perbedaan yang dapat dirasakan oleh pemodal dengan berinvestasi di SCF adalah dapat berinvestasi di sektor riil atau dengan kata lain, investornya tahu ke mana modal mereka dibelanjakan.
“Misalnya kita investasi ke rumah makan, betul-betul nanti kita tahu rumah makannya di mana. Kita bisa lihat langsung, kita bisa makan di tempat itu, kita tahu apa yang kita investasikan,” jelasnya.
Menurutnya, terkadang investor ingin tahu seperti apa wujud dari investasinya dan hal ini hanya dimungkinkan di sistem syariah.
“Kita butuh yang namanya kolaborasi. Kita berkolaborasi dengan berbagai pihak yang harapannya tentu untuk memajukan industri ekonomi di Indonesia,” ujarnya. (*)