KABARBURSA.COM - Ekonom Senior Institut for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini mengusulkan pembentukan Center for Syariah Economic Development sebagai langkah strategis untuk mendorong pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Menurut Didik, pentingnya pusat pengembangan ini untuk mengakomodasi berbagai riset lanjutan, pelatihan, serta sertifikasi profesional yang berkaitan dengan ekonomi syariah.
"Jadi Center for Syariah Economic Development itu, isinya pengembangan studi, training, dan sebagainya,” kata Didik dalam diskusi publik bertajuk "Prospek Kebijakan Pengembangan Ekonomi Syariah di Era Prabowo" yang digelar secara daring pada Jumat, 30 Agustus 2024.
Didik menjelaskan inisiasi ini akan melibatkan kolaborasi lintas lembaga, termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) dan berbagai pemangku kepentingan lainnya.
"Kerja sama ini diharapkan bisa membawa hasil yang konkret dalam 10 tahun ke depan,” katanya.
Pusat pengembangan ini nantinya akan fokus pada beberapa area utama, di antaranya riset-riset ekonomi syariah yang bersifat normatif, sertifikasi halal untuk berbagai produk dan jasa, dan advokasi kebijakan yang mendorong praktik ekonomi syariah di Indonesia.
"Kita juga ingin terlibat dalam advokasi yang lebih luas, termasuk melalui media, untuk mendorong kesadaran dan penerimaan publik terhadap ekonomi syariah," jelas Didik.
Di kesempatan yang sama, Guru Besar UIN Jakarta Prof. Nur Hidayah menekankan meski Indonesia telah menunjukkan peningkatan dalam beberapa sektor ekonomi syariah di tingkat global, masih ada tantangan yang harus dihadapi.
"Secara global, ekonomi syariah terus berkembang pesat di berbagai sektor seperti makanan halal, fashion modest, kosmetik halal, serta keuangan syariah. Indonesia sendiri menunjukkan peningkatan di beberapa sektor, namun ada juga yang mengalami penurunan," jelasnya.
Prof. Hidayah menyoroti beberapa capaian Indonesia di kancah internasional, seperti menduduki peringkat pertama di Global Muslim Travel Index 2023 bersama Malaysia, dan peringkat ketiga di Global Islamic Economic Indicator.
Namun, ia juga mencatat adanya penurunan peringkat Indonesia di sektor keuangan syariah, dari posisi kedua pada 2021 menjadi peringkat ketiga pada 2023 dalam Islamic Finance Development Indicator.
"Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kita telah mengalami kemajuan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, termasuk penyelesaian beberapa program dalam Master Program Ekonomi dan Keuangan Syariah seperti pembentukan Nasional Halal Fund dan International Islamic Financial Service Board," kata Prof. Hidayah.
Acara yang berlangsung selama dua jam ini juga menghadirkan sejumlah pembicara lainnya, seperti Prof. Nur Hidayah dari UIN Jakarta, Dr. Handi Risza dari Universitas Paramadina, dan Dr. Hakam Naja, anggota DPR RI periode 2014-2019.
Mereka semua sepakat bahwa pengembangan ekonomi syariah harus didukung dengan riset yang kuat dan kerjasama yang erat antara akademisi, praktisi, dan pemerintah.
Utamakan Keberkahan
Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Prof Yasir Nasution, sebelumnya menegaskan esensi dari ekonomi syariah bukan hanya soal keuntungan finansial, melainkan juga kemampuan usaha untuk mendatangkan keberkahan. Hal ini disampaikan Prof. Yasir dalam acara ‘Sosialisasi Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI di Hotel Grand Mercure, Medan, Selasa, 27 Agustus 2024.
"Keberkahan adalah ketika yang sedikit terasa cukup, yang sempit terasa luas, dan yang sulit menjadi mudah," ujar Prof. Yasir. Menurutnya, keberkahan adalah nilai utama yang harus dicapai dalam setiap kegiatan ekonomi syariah.
Dalam pemaparannya, Prof. Yasir juga mengulas sejarah panjang ekonomi syariah di Indonesia, yang bermula pada masa Presiden Soeharto, saat Direktur Jenderal Moneter Kementerian Keuangan kala itu, Karnain Purwaka Atmaja, mengusulkan pendirian perbankan syariah. Inisiatif ini kemudian melahirkan Bank Muamalat pada November 1991.
Namun, Prof. Yasir menyebut, meski Bank Muamalat telah didirikan, sebagian besar masyarakat Muslim masih terperangkap dalam paradigma perbankan konvensional yang hanya berorientasi pada keuntungan. Ia mengingatkan, ekonomi Islam mengajarkan umat untuk lebih bijak dalam memilih, memastikan setiap transaksi halal dan bertujuan untuk mendapatkan keberkahan.
Prof. Yasir juga menyerukan generasi muda untuk turut bertanggung jawab mengembangkan ekonomi syariah dengan menekankan pentingnya keberkahan dalam setiap program yang dilaksanakan. "Kebutuhan akan SDM yang unggul dapat dijawab dengan baik oleh DSN-MUI Perwakilan Sumut," tambah Ketua Bidang Perbankan BPH DSN MUI, Kanny.
Perputaran Ekonomi Industri Halal Capai Rp36 Triliun
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari, sebelumnya mengungkapkan nilai ekonomi di sektor industri halal mencapai Rp36 triliun pada 2023.
"Populasi Muslim dunia membelanjakan sekitar Rp36 triliun untuk produk-produk industri halal, seperti makanan halal, modest fashion, media dan rekreasi, pariwisata ramah Muslim, farmasi, dan kosmetik," kata Friderica, yang akrab disapa Kiki, dalam webinar nasional ISEI bertajuk ‘Urgensi Produk Halal untuk Ekonomi Indonesia Berkelanjutan’ di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2024.
Ia menjelaskan, pertumbuhan industri halal yang terus meningkat dipengaruhi oleh sisi permintaan dan suplai. Dari sisi permintaan, salah satu faktor utamanya adalah populasi milenial dan Gen Z, yang mana 27,8 persen di antaranya merupakan Muslim dan menjadi konsumen terbesar di sektor ini.
Selain itu, Kiki menilai daya beli masyarakat Muslim berada di atas rata-rata global.
"Kesadaran masyarakat yang semakin tinggi untuk menerapkan gaya hidup sesuai prinsip agama, ditambah dengan peningkatan daya beli, mendorong konsumsi produk halal. Perkembangan teknologi digital juga mempermudah akses informasi dan pasar," jelasnya.
Dari sisi suplai, Kiki memaparkan kebijakan pemerintah yang mendorong pertumbuhan ekonomi syariah turut berkontribusi signifikan terhadap perkembangan industri halal. Pengembangan ekonomi syariah bahkan telah menjadi bagian dari strategi nasional di berbagai negara.
Kiki juga mengatakan keterlibatan merek global seperti Unilever dan Nestle dalam memenuhi kebutuhan produk halal memberikan dampak positif. Namun, ia juga menyoroti beberapa tantangan yang masih dihadapi industri halal di Indonesia.
"Tantangan pertama adalah rendahnya pemahaman akan pentingnya gaya hidup halal berdasarkan nilai dan prinsip syariah. Selain itu, kegiatan sosialisasi, edukasi, dan promosi mengenai gaya hidup halal belum optimal, serta masih ada kesenjangan dalam penyaluran pembiayaan oleh lembaga keuangan syariah kepada pelaku usaha industri halal," kata Kiki. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.