KABARBURSA.COM – Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) melaporkan capaian nilai manfaat tertinggi sejak lembaga ini berdiri, namun kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan komposisi investasi yang belum sepenuhnya dipahami publik memunculkan pertanyaan, yaitu apakah pengelolaan dana haji sudah transparan dan selaras dengan prinsip fidusia.
Merujuk data laporan keuangan, pada akhir 2024, total aset konsolidasian BPKH mencapai Rp221,04 triliun, naik tipis dibanding 2023 yang sebesar Rp220,76 triliun. Dari jumlah ini, porsi terbesar sebanyak Rp157,52 triliun (71,3 persen) ditempatkan pada investasi surat berharga syariah, termasuk sukuk negara, sukuk korporasi, dan instrumen pasar uang syariah.
Penempatan di bank syariah mencapai Rp33,76 triliun (15,3 persen), sementara pembiayaan berbasis bagi hasil sebesar Rp10,83 triliun dan piutang pembiayaan Rp4,07 triliun. Porsi investasi langsung dan emas tercatat cuma 0,4 persen, sisanya berupa aset tetap dan akun akrual.
Susunan portofolio tersebut menunjukkan kecenderungan konservatif, dengan fokus utama pada instrumen berisiko rendah dan likuid, yakni porsi dominan surat berharga syariah lebih dari 70 persen dari total aset. Ini menandakan orientasi jangka menengah dan preferensi pada aset dengan dukungan pemerintah, seperti Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Surat berharga syariah pemerintah memberikan imbal hasil rerata 6,5-7 persen per tahun, jauh lebih stabil dibandingkan aset ekuitas atau proyek langsung sekitar 0,4 sampai 0,6 persen.
Namun, langkah aman ini punya konsekuensi. Penurunan kas dan giro di Bank Indonesia (BI) dari Rp5,01 triliun (2023) menjadi Rp2,81 triliun (2024) menandakan pergeseran dari dana menganggur menuju instrumen produktif berisiko rendah seperti sukuk negara.
Artinya, ruang fleksibilitas jangka pendek untuk menjaga stabilitas nilai manfaat semakin terbatas. Padahal, hasil investasi inilah yang digunakan untuk menutup selisih biaya haji setiap tahun.
Nilai Manfaat Naik, tapi tak Mengejar Biaya
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2025, pemerintah menetapkan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp89,4 juta per jemaah, naik dari rerata Rp84,4 juta (2024) dan Rp69 juta (2023). Dalam tiga tahun terakhir, biaya haji meningkat sekitar 30 persen.
Skema pembiayaan 2025 dibagi menjadi dua. Sebesar 62 persen berupa Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung langsung oleh jemaah, setara Rp55,43 juta dan 38 persen dari nilai manfaat hasil investasi dana haji yang mencapai Rp6,83 triliun. Komposisi ini menunjukkan beban jemaah makin besar, sementara nilai manfaat justru menurun dari 50 persen pada 2023 menjadi di bawah 40 persen pada 2025.
Dalam keterangannya, BPKH telah melakukan distribusi tahap pertama tahun 2025 sebesar Rp2,1 triliun kepada 5,4 juta jemaah tunggu. Rinciannya, Rp1,9 triliun untuk jemaah haji reguler dengan rerata nilai manfaat Rp366,2 ribu, sedangkan USD9,2 juta untuk jemaah haji khusus senilai USD72 per jemaah.
Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah mengklaim bahwa nilai manfaat ini adalah bentuk konkret dari optimalisasi pengelolaan dana haji yang aman dan produktif. “Kami terus berupaya agar dana kelolaan jemaah haji dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan,” ujar Fadlul pada 8 September 2025 lalu.
Selain itu, tren tersebut memperlihatkan bahwa meski nilai manfaat tumbuh moderat, kenaikan tersebut belum sepenuhnya menahan beban BPIH yang terus naik. Pertumbuhan moderat yang dimaksud adalah Rp5,64 triliun pada semester I 2024 menajdi Rp8,1 triliun per Agustus 2025.
Dalam keterangan terpisah, Kementerian Agama (Kemenag) mengklaim bahwa pembagian beban tersebut disusun berdasarkan prinsip keberlanjutan. “Porsi nilai manfaat digunakan agar biaya haji tidak sepenuhnya dibebankan kepada jamaah, tetapi tetap menjaga keberlangsungan dana pokok haji untuk generasi berikutnya,” ujar Hilman Latief, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, dalam keterangannya pada Februari 2025.
Namun, data menunjukkan pertumbuhan nilai manfaat belum cukup untuk menahan laju kenaikan biaya haji. Nilai manfaat tumbuh dari Rp5,64 triliun pada semester I 2024 menjadi Rp8,1 triliun per Agustus 2025, tetapi kenaikan tersebut tidak sebanding dengan beban operasional yang terus meningkat di Arab Saudi, termasuk biaya akomodasi, katering, dan transportasi.
Dana Umat Belum Dikelola Baik oleh BPKH?
Di atas kertas, kinerja investasi BPKH tampak mengesankan. Tapi di balik laporan yang tebal dan bahasa keuangan yang kompleks, muncul satu pertanyaan mendasar: apakah dana umat benar-benar dikelola dengan prinsip amanah dan transparansi penuh, atau sekadar efisien di atas kertas?
Menurut laporan keuangan 2024, kas dan setara kas BPKH hanya Rp1,55 triliun, dengan giro dan penempatan di BI Rp2,81 triliun. Jumlah itu bahkan kurang dari dua persen dari total aset kelolaan senilai Rp221 triliun. Artinya, lebih dari tiga perempat dana haji (sekitar Rp130,88 triliun) diparkir dalam instrumen investasi jangka menengah dan panjang.
Dari jumlah itu, lebih dari 70 persen tertanam di surat berharga syariah pemerintah, seperti SBSN dan SDHI.
Konsentrasi besar pada instrumen ini membuat dana haji praktis bergantung pada imbal hasil 6,5–7 persen per tahun, angka yang nyaris identik dengan kupon sukuk ritel seperti SR022 (6,45–6,55 persen) atau Sukuk Tabungan ST014 (6,5–6,6 persen).
Dengan asumsi inflasi domestik di kisaran 3 persen dan kenaikan biaya haji di atas 10 persen per tahun, margin manfaat riil bagi jemaah jelas semakin menipis. Risiko kehilangan nilai bukan di neraca BPKH, melainkan di dompet jamaah.
Ironisnya, dengan orientasi investasi yang diklaim aman, BPKH justru mencatat realisasi hasil investasi 2024 sebesar Rp11,5 triliun, atau lebih rendah Rp704 miliar dari target. Padahal dana kelolaan terus tumbuh. Artinya, efisiensi portofolio tidak otomatis sejalan dengan kinerja aktual. Dana besar, tapi daya hasilnya stagnan.
Dari sisi jemaah, hasilnya terasa langsung: kontribusi nilai manfaat terhadap BPIH terus menurun, dari 50 persen pada 2023 menjadi hanya 38 persen pada 2025. Dengan kata lain, semakin besar dana umat yang dikelola, semakin kecil porsi bantuan yang kembali ke jemaah. (*)