Logo
>

Krisis Listrik Eropa: Butuh Triliunan untuk Hindari Blackout

Para analis dan pemangku kepentingan sepakat bahwa modernisasi jaringan listrik Eropa bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan yang mendesak.

Ditulis oleh Yunila Wati
Krisis Listrik Eropa: Butuh Triliunan untuk Hindari Blackout
Ilustrasi. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA.COM - Eropa saat ini sedang menghadapi krisis infrastruktur energi yang makin nyata di tengah transisi besar menuju energi hijau. 

Hal ini ditandai dengan sejumlah peristiwa pemadaman listrik besar-besaran yang melanda Spanyol dan Portugal pada pekan lalu. Hal itu menjadi alarm keras bagi masa depan ketahanan energi Benua Biru. 

Meskipun penyebab pastinya masih dalam investigasi, para analis dan pemangku kepentingan sepakat bahwa modernisasi jaringan listrik Eropa bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan yang mendesak.

Sebagian besar jaringan listrik Eropa dirancang dan dibangun pada abad ke-20. Lebih dari setengah salurannya bahkan sudah berusia di atas 40 tahun. Sementara itu, lonjakan permintaan listrik dari kendaraan listrik, pusat data, serta dorongan ambisius pengembangan energi surya dan angin, memaksa sistem kelistrikan bekerja lebih keras dari sebelumnya. 

Di sinilah masalahnya, infrastruktur di Eropa tidak ikut berlari sekencang ambisinya.

Walau investasi global untuk energi terbarukan telah hampir naik sebanyak dua kali lipat sejak 2010, ironisnya, investasi untuk jaringan listrik stagnan di kisaran USD300 miliar per tahun. 

Padahal, menurut International Energy Agency (IEA), Eropa membutuhkan lebih dari USD600 miliar per tahun sebelum 2030 untuk mengejar ketertinggalan—dan hingga USD2,3 triliun sebelum 2050.

Spanyol menjadi contoh nyata bagaimana ketidakseimbangan ini bisa menimbulkan risiko nyata. Negeri Matador itu telah mempercepat transisi energinya sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, yang kemudian memicu lonjakan harga minyak dan gas. 

Seperti ini Contoh Kasusnya

Pada tahun 2024, 56 persen energi listrik Spanyol berasal dari sumber terbarukan. Angka ini cukup mengesankan, namun sekaligus penuh tantangan. Sementara Grid tidak dirancang untuk mengakomodasi fluktuasi besar dari pembangkit energi surya dan angin yang sifatnya tidak stabil.

Masalah besar lainnya adalah konektivitas antarnegara. Spanyol dan Portugal, misalnya, hanya memiliki koneksi sebesar 5 persen ke luar Semenanjung Iberia. Ini yang membuat kedua negara rentan karena tidak bisa menerima pasokan dari jaringan negara tetangga ketika terjadi krisis. 

Itulah mengapa Komisi Eropa menargetkan agar semua negara anggota memiliki interkoneksi listrik minimal 15 persen pada 2030. Tapi, jalan menuju target ini masih panjang dan mahal.

Modernisasi grid juga membutuhkan digitalisasi dan perlindungan terhadap serangan siber. Tanpa sistem perlindungan digital yang canggih membuat jaringan listrik bisa rentan disusupi. 

Di sisi lain, dibutuhkan sistem cadangan atau back-up power agar frekuensi grid tetap stabil pada 50 Hertz. Tanpa cadangan memadai, fluktuasi kecil saja bisa membuat sistem runtuh dan berujung blackout.

Portugal, misalnya, hanya memiliki dua pembangkit cadangan: satu berbasis gas dan satu hidro. Untuk ini, Perdana Menteri Luis Montenegro sudah menyuarakan kekhawatiran bahwa negara perlu lebih banyak sistem back-up. 

Sementara itu, Spanyol tengah menghadapi tantangan tambahan karena akan menutup seluruh reaktor nuklirnya pada 2035—yang saat ini berperan besar dalam menjaga stabilitas pasokan dasar.

Upaya Memperbesar Penyimpanan Energi

Beberapa negara mencoba memperkuat pertahanan mereka dengan teknologi penyimpanan energi. Salah satunya Inggris, yang telah mengalami blackout besar pada 2019 akibat sambaran petir dan gangguan lainnya. Inggris kini memiliki kapasitas penyimpanan baterai sebesar 5 gigawatt. 

Namun di tingkat Eropa, total kapasitas baterai baru mencapai 10,8 GW dan diperkirakan hanya akan tumbuh menjadi 50 GW pada 2030—jauh dari kebutuhan 200 GW. Begitu menurut European Association for Storage of Energy.

Upaya lainnya datang dari Irlandia, di mana Siemens Energy membangun flywheel terbesar di dunia—alat penyimpan energi berbasis rotasi—untuk membantu stabilisasi grid secara instan.

Kisah ini menyadarkan kita bahwa transisi energi hijau tidak hanya soal membangun ladang angin atau panel surya, tetapi juga membutuhkan pondasi infrastruktur yang kokoh, modern, dan terhubung. 

Jika tidak segera ditangani, blackout seperti yang terjadi di Spanyol dan Portugal bisa menjadi semakin sering terjadi dan semakin luas dampaknya.

Dalam perlombaan menuju masa depan bebas emisi karbon, Eropa tak hanya butuh energi bersih—tetapi juga jaringan yang pintar, tahan uji, dan siap menghadapi tantangan zaman digital. 

Dan untuk itu, investasi triliunan dolar bukanlah angka mengada-ada, melainkan tiket masuk ke era energi yang benar-benar berkelanjutan.

Indonesia dan Smart Grid

Di Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempercepat pengembangan smart grid sebagai langkah strategis mendukung transisi energi serta pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) demi mencapai target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission/NZE).

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu menjelaskan bahwa smart grid telah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 berdasarkan Undang-Undang No. 59 Tahun 2024. Seperti dalam keterangannya di Jakarta, Minggu 29 Desember 2024.

"Pengembangan smart grid dirancang melalui empat tahapan, yaitu Penguatan Transformasi pada 2025-2029, Akselerasi Transformasi 2030-2034, Ekspansi Global di 2035-2039, hingga Perwujudan Indonesia Emas pada 2040-2045," ujar Jisman dalam acara Workshop on International Knowledge and Experience Sharing for Distribution Smart Grid and Operations.

Menurutnya, smart grid menjadi elemen kunci untuk mewujudkan pembangunan sektor energi yang berkelanjutan dan efisien. "Teknologi ini mengintegrasikan sistem kelistrikan dengan teknologi informasi dan komunikasi, yang tidak hanya meningkatkan efisiensi distribusi, tetapi juga memperkuat ketahanan energi nasional," jelasnya.

Di kesempatan yang sama, Koordinator Pengaturan Operasi Usaha Ketenagalistrikan, Wahid Pinto Nugroho, menegaskan bahwa pengembangan smart grid telah dimulai di wilayah Jawa-Bali sejak 2020. "Implementasi bertahap di wilayah lain di luar Jawa-Bali juga dilakukan untuk mendorong peningkatan porsi EBT," kata Wahid.

Sementara itu, Executive Vice President Perencanaan Strategis Distribusi PT PLN (Persero), Adams Yogasara, mengungkapkan bahwa pengembangan smart grid telah diintegrasikan ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. 

"Prinsip pengembangan ini adalah mengintegrasikan energi terbarukan ke dalam sistem kelistrikan sebagai bagian dari langkah menuju NZE pada 2060," ucap Adams.

Di tengah era transisi energi, kebutuhan akan listrik yang andal, efisien, dan ramah lingkungan kian mendesak. Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong fleksibilitas dan adaptivitas sistem kelistrikan.

"Teknologi smart grid menjadi solusi utama dalam menjawab tantangan ini. Dengan kemampuan memantau, mengendalikan, dan mengoptimalkan operasi jaringan listrik secara real-time, smart grid tak hanya menjaga stabilitas sistem, tetapi juga memungkinkan integrasi energi terbarukan dalam skala besar," pungkas Jisman.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79